Menjalani hidup sebagai wong (orang) Tengger bukanlah persoalan mudah. Dari dongeng asal-muasal, kehadiran kolonial, hingga rezim pasca Reformasi, wong Tengger mengalami banyak permasalahan eksistensial, khususnya terkait bagaimana menegaskan identitas religi mereka.Â
Masing-masing zaman menghadirkan tantangan dan ancaman yang mengharuskan komunitas ini harus terus bersiasat dan bernegosiasi untuk sekadar mempertahankan eksistensi mereka.Â
Kepatuhan mereka terhadap penguasa tidaklah cukup untuk meyakinkan kekuatan politis dan religi di luar komunitas mereka untuk sekedar membiarkan wong Tengger hidup dengan damai.Â
Ingar-bingar pembangunan nasional dan pariwisata di zaman pasca kemerdekaan hingga saat ini juga harus disiasati dengan kehendak untuk terus menggelar ritual warisan leluhur.Â
Semua faktor eksternal, tak pelak lagi, menjadikan komunitas Tengger yang hidup di Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang terus memaknai identitas mereka agar tidak sepenuhnya tergerus oleh kekuatan luar dan perubahan zaman.Â
Mengukuhkan Identitas Religi dari Zaman Kerajaan hingga Kolonial
Terlepas benar atau tidaknya, cerita lisan tentang perjuangan Rara Anteng dan Jaka Seger sebagai moyang masyarakat Tengger merupakan konstruksi mitologis yang masih diceritakan hingga saat ini.Â
Keteguhan hati dan kekuatan fisik kedua insan tersebut di alam mitos menjadi inspirasi bagi masyarakat Tengger untuk memperjuangkan hidup di negeri 'di atas awan.'Â
Cerita Rara Anteng dan Jaka Seger sebagai asal-muasal wong Tengger memang bukan kenyataan historis. Namun, dari cerita lisan kita bisa mendapatkan gambaran bagaimana sebuah komunitas mengkomunikasikan kedirian, kebudayaan, dan religi mereka dalam menghadapi kekuatan supranatural yang tidak bisa diraba, tetapi bisa dirasakan kehadirannya.Â
Melalui cerita lisan pula, komunitas mengkonstruksi nilai dan keyakinan religi dalam menghadapi permasalahan-permasalahan geografis, alam, maupun sosial.Â
Representasi perjuangan dan negosiasi untuk membentuk komunitas di lereng Bromo dalam cerita Rara Anteng dan Joko Seger merupakan usaha pendahulu Tengger untuk mengkomunikasikan kepada generasi penerus tentang identitas komunal mereka yang mempertemukan keharusan untuk meyakini kekuatan adikodrati dan perjuangan manusia.
Rara Anteng dan Jaka Seger dalam cerita lisan ditafsir sebagai perpaduan ideal antara keturunan ningrat keraton dan keturunan pandita yang diberi tugas khusus untuk mendiami wilayah Bromo. Namun, saya memiliki pendapat lain terkait tafsir terhadap kedua tokoh mitologis tersebut bedasarkan sikap hidup dan kekuatan religi masyarakat Tengger.Â
Menurut saya, Rara Anteng merupakan representasi "keteguhan dan kekuatan batiniah/spiritual" dari manusia awal yang hidup di lereng Gunung Bromo dalam mengabdi kepada kekuatan Dewata serta memperjuangan cita-cita untuk membangun komunitas di tengah-tengah sulitnya hidup. Istilah "anteng" bermakna tenang secara batiniah.
Sementara, Jaka Seger merepresentasikan kekuatan fisik yang harus dimiliki oleh manusia awal agar bisa survive di tengah-tengah dinginnya hawa gunung, bencana alam, dan sulitnya medan di wilayah Bromo, baik untuk tempat tinggal maupun lahan pertanian. "Seger" bermakna sehat jasmani dan secara fisik bagus.
Keinginan untuk bisa membangun komunitas masa depan tersebut diimplementasikan dalam pertapaan Rara Anteng dan Jaka Seger di kawasan segara wedhi, lautan pasir Bromo, ketika mereka belum juga dikaruniai anak.Â
Pertapaan merupakan wujud bhakti dan doa manusia dalam keheningan mutlak di tengah-tengah kesulitan, ancaman, dan godaan yang dihadirkan alam Bromo. Keikutsertaan Rara Anteng untuk bertapa merupakan simbol betapa kekuatan batin harus dipenuhi dan diperjuangkan sehingga bisa menyatu dalam kekuatan fisik dalam menghadapi semua tantangan.Â
Kemenyatuan antara kekuatan spiritual dan kesungguhan berusaha itulah yang menjadikan Hong Pukulun, Tuhan Penguasa Semesta, mengabulkan doa mereka berdua dengan perjanjian bahwa anak terakhir akan dikorbankan ke kawah Gunung Bromo.
Ketika kedua insan tersebut dikaruniai 25 anak, mereka masih harus berjuang untuk melawan kehendak Dewata yang ingin mengambil anak terakhir mereka, Raden Kusumo.Â
Di tengah gemuruh Bromo yang ditandai dengan pijar lahar serta semburan debu karena meletus, Rara Anteng dan Jaka Seger berusaha melindungi 25 anak mereka.Â
Namun, sekuat apapun usaha Rara Anteng dan Jaka Seger untuk mempertahankan Kusumo, mereka tidak bisa mengelak dari perjanjian suci dengan Dewata. Mengetahui perjanjian orang tua mereka dengan Dewata, Kusumo akhirnya menceburkan diri ke kawah Bromo sebagai bentuk pengorbanan agar keluarganya selamat dari amukan bencana alam.Â
Artinya, sejak awal kelahirannya, komunitas Tengger sudah harus bernegosiasi dengan kekuatan supranatural yang mengendalikan kehidupan manusia. Negosiasi dan siasat terhadap kekuatan supranatural itulah yang melahirkan bermacam ritual dalam kehidupan keluarga maupun komunal masyarakat Tengger, seperti Kasada, Unan-unan, Entas-entas, dan lain-lain.
Kalau kita bandingkan dengan pendapat para akademisi yang mengatakan bahwa para penghuni awal kawasan Bromo yang kemudian dikenal dengan sebutan Tengger ini adalah para pandita yang diberi tugas khusus oleh pihak Kerajaan, sejak zaman Mataram Jawa Timur di bawah Mpu Sindok dan berlanjut hingga zaman Singasari dan Majapahit, maka cerita lisan tentang Rara Anteng dan Joko Seger bisa dikatakan memiliki kesamaan tematik dan wacana.Â
Sejak zaman Mpu Sindok, wilayah ini merupakan kawasan swatantra yang dihuni oleh hulun hyang, para pandita yang mengabdikan hidupnya untuk memuja Dewata, khususnya Sang Hyang Swayambhuwa (Dewa Brahma). Peran ini terus dilaksanakan sampai zaman Singasari dan Majapahit.Â
Konsekuensinya, komunitas yang tinggal di daerah suci/keramat (hila-hila) ini dibebaskan dari pajak, kawasan perdikan, karena status khususnya itu. Para pandita itu tentu harus bersiasat dan berjuang hidup di tengah-tengah liarnya alam Bromo, sehingga mereka bisa menjalankan tugas suci tersebut.Â
Tidak mengherankan kalau kemudian cerita Rara Anteng dan Jaka Seger dihadirkan sebagai penggambaran sulitnya perjuangan untuk menjalankan tugas agama dari kerajaan.Â
Cerita itu pula yang menjadi dasar bagi wong Tengger untuk menemukan identitas awal mereka serta membangun ikatan sak-keturunan (satu keturunan) yang mengikat mereka dalam konsep hubungan antarmanusia tanpa menimbang status ekonomi dan sosial.
Keyakinan sebagai keturunan Rara Anteng dan Jaka Seger merupakan ikatan pertama yang mempertemukan wong Tengger dalam konsep sak keturunan, satu keturunan. Artinya, mereka membangun kesadaran eksistensial terkait asal-usul yang sama meskipun berada di wilayah geografis yang berbeda.Â
Gunung Bromo menjadi pengikat geo-kultural yang mempertemukan orientasi religi Tengger sejak zaman Rara Anteng dan Jaka Seger. Konsep sak keturunan juga mengembangkan ajaran solidaritas sekaligus menjadi pendorong komunitas Tengger untuk menjalani ritual, baik yang bersifat privat/keluarga maupun komunal.Â
Setiap tahun, misalnya, mereka menggelar Yadnya Kasada sebagai bentuk penghormatan terhadap pengorbanan Raden Kusumo dan wujud pengorbanan mereka terhadap kekuatan adikodrati di kawah Bromo. Menjaga hubungan harmonis dengan Sang Pencipta, merupakan keyakinan sekaligus identitas religi masyarakat Tengger.Â
Semua mantra ritual dalam tradisi Tengger, pertama-tama, ditujukan untuk mendapatkan perlindungan dari Hong Pukulun, Sang Maha Kuasa, yang mengendalikan kehidupan dan kehendak manusia di muka bumi.
Keyakinan religi kedua adalah membina hubungan harmonis dengan sesama makluk Tuhan di muka bumi. Makluk Tuhan ini adalah makluk hidup yang diciptakan Hong Pukulun untuk melengkapi kehidupan di muka bumi, seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, makluk ghaib, dan manusia.Â
Keyakinan inilah yang menjadikan manusia Tengger memperlakukan semua makhluk secara terhormat. Tidak hanya hewan dan tumbuhan, bahkan makhluk ghaib pun mereka hormati. Sampai-sampai para penunggu pedhanyangan di masing-masing desa diberikan sesaji dalam ritual keluarga maupun komunal.Â
Sikap menghormati sesama manusia juga diwujudkan dalam kearifan-kearifan lokal Tengger yang mengutamakan keharmonisan hubungan sosial tanpa kelas; bahwa setiap manusia memiliki kedudukan yang sama.Â
Kenyataan sosial ini pula yang menjadikan mereka tidak memiliki sistem kasta, berbeda dengan ajaran Hindu dari India yang menerapkan sistem pembedaan kelas sosial.
Membina hubungan harmonis dengan alam menjadi keyakinan religi ketiga. Tidak mengherankan kalau wong Tengger selalu melakukan ritual Unan-unan, semacam bersih desa agar alam tempat mereka tinggal memberikan rezeki dan terhindar dari bencana.Â
Dalam ritual ini mereka selalu mendoakan kebaikan dari panca mahabuta, yakni bumi/pertiwi, banyu (air), geni (api), angin, dan akoso (atmosfer semesta).Â
Termasuk juga Kasada yang menunjukan penghormatan mereka terhadap Gunung Bromo yang diyakini menjadi tempat bersemayamnya para dewata yang berasal dari nenek moyang mereka. Apalagi Bromo juga bisa memberikan kemurkaan (meletus sekaligus kesejahteraan (abu vulkanik pasca letusan yang menyuburkan).
Terhadap pohon cemara besar yang menjadi tempat pedhanyangan desa, mereka juga tidak mau merusak karena di situlah diyakini bersemayam arwah leluhur yang ikut menjaga dan mengawasi kehidupan sehari-hari wong Tengger.Â
Ketiga keyakinan religi tersebut, apabila ditelisik lagi merupakan karakteristik dari ajaran Syiwa dan Sugata atau Syiwa-Sugata yang diyakini oleh para dhukun pandita sebagai agama awal wong Tengger. Perpaduan antara ajaran Hindu dan Buddha dengan keyakinan lokal ini merupakan ciri khas dari zaman Singasari sampai Majapahit.Â
Dalam setiap mantra ritual, perpaduan antara ajaran Hindu dan Buddha selalu ada dan dibacakan para dhukun pandita. Artinya, sejak awal, masyarakat Tengger memiliki kecerdasan untuk membaca dan mensinkretiskan dua agama besar, Hindu dan Buddha, untuk dijadikan identitas religi mereka dalam kehidupan.Â
Itulah mengapa, sampai sebelum Orde Baru, warga Tengger tidak pernah mengidentifikasi diri mereka sebagai pemeluk Hindu ataupun Buddha, tetapi mereka memiliki karakteristik religi: memberi penghormatan kepada para Dewata, mencintai sesama dan semua makhluk, serta memuliahkan Gunung Bromo. .
Keyakinan terhadap nilai-nilai religi tersebut menjadikan manusia dan masyarakat Tengger figur-figur istimewa. Masyarakat Tengger menjalani kehidupan mereka dengan prinsip-prinsip yang mengedepankan keharmonisan dengan alam dan nilai-niali unggul sebagai manusia seperti jujur, rajin, tertib dan teratur, damai, serta riang-gembira.Â
Mereka juga tidak mengenal candu dan judi. Selain itu, wong Tengger tidak menyukai perzinahan, perselingkuhan, pencurian, dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya. Orang boleh saja berpendapat bahwa keteguhan prinsip tersebut tidak bisa dipisahkan dari posisi geografis mereka yang hidup di wilayah pegunungan sehingga jarang berinteraksi dengan masyarakat luar.Â
Menurut saya, kualitas pribadi yang dihasilkan dari keturunan pandita dengan beragam habitus religi-lah yang menjadikan manusia Tengger pribadi-pribadi unggul yang taat dalam beribadah dan kuat dalam bekerja.
Perihal kesakralan dan pemujaan terhadap Gunung Bromo diyakini sudah berlangsung sejak zaman Mataram Mataram Jawa Timur. Posisi sakral tersebut diperkuat di zaman Singasari dan Majapahit, sehingga para pandhita, sebagaimana kami jelaskan secara singkat sebelumnya, mendapatkan tugas khusus untuk menjaga dan menghormati Bromo.Â
Kabar tentang Bromo dan komunitas Tengger rupa-rupanya tidak pernah pudar, meskipun Majapahit sudah hancur. Di masa kolonial Bromo dan keunikan religi masyarakat Tengger menjadi objek foto para fotografer dan pelancong serta objek kajian para peneliti, selain menjadi tempat wisata.Â
Bahkan, Raja Siam (Thailand), Cholalongkorn, pernah berziarah ke Bromo pada masa kolonial Belanda. Kenyataan tersebut mempertegas bahwa selain memiliki keunikan alam, kawasan Tengger juga memiliki daya spiritual yang sudah tersiar ke mana-mana.Tentu saja, kedatangan Raja Siam ke Gunung Bromo bukan sekadar untuk berwisata.Â
Bisa diduga, ia sebagai raja mendapatkan informasi penting terkait gunung ini dalam kosmologi Majapahit. Sebagaimana kita ketahui, meskipun Siam tidak pernah dijajah Majapahit, tetapi kerajaan ini juga menjalin komunikasi, sehingga sangat mungkin terdapat literatur atau informasi tentang kawasan Bromo dan masyarakat Tengger yang sampai ke kalangan istana.Â
Terlepas dari benar atau salahnya dugaan tersebut, Raja Cholalongkorn mungkin memiliki perhatian atau tujuan khusus ketika berziarah ke Bromo. Dan, pastinya, itu berkaitan dengan keyakinan religinya sebagai pemeluk Buddha.
Kedatangan manusia-manusia Eropa, pada akhirnya, memang menjadikan kehidupan warga Tengger berubah karena sebagian besar kawasan subur di lereng bawah Bromo yang yang semula mereka diami dikonversi menjadi area perkebunan kopi, kakao, dan cengkeh.Â
Pembukaan lahan ini diikuti pula dengan migrasi yang dilakukan oleh pihak VOC dengan mendatangkan para pekerja dari Madura dan orang-orang Jawa yang mayoritas beragam Islam. Sebagian mereka mendiami lereng bawah bagian Barat, Timur, Selatan, dan Utara.Â
Kedatangan para pekerja perkebunan ini sedikit banyak menghadirkan permasalahan sosio-kultural bagi masyarakat Tengger karena keyakinan religi yang berbeda. Sebagian besar wong Tengger memilih untuk pindah ke lereng atas dan sebagian kecil bertahan dengan melakukan adaptasi terhadap masyarakat dan budaya baru.Â
Kawasan Nongkojajar di Singosari Malang perlahan-lahan berubah menjadi komunitas Jawa dan sebagian warga Tengger yang bertahan akhirnya beradaptasi dengan budaya Jawa.Â
Sementara, kawasan Puspo di Pasuruan dan Sukapura di Probolinggo dihuni mayoritas Madura-Muslim. Demikian pula di kawasan Senduro Lumajang yang mayoritas penduduknya adalah Madura dan Jawa.
Pilihan sebagian besar wong Tengger untuk menyusul saudara-saudara sak-keturunan mereka yang menetap di lereng atas Bromo merupakan pilihan strategis dalam menghadapi pengaruh masyarakat dan budaya baru yang berbeda dengan budaya mereka.Â
Kita bisa memahami bahwa wong Tengger pra-kolonial dan pra-kedatangan buruh Madura dan Jawa adalah komunitas yang sudah memiliki keyakinan religi yang mapan dan kuat serta sama sekali berbeda dengan religi yang dibawa para pendatang.Â
Keyakinan terhadap posisi mereka sebagai penjaga hila-hila yang harus menjalankan peribadatan tertentu menjadikan mereka merasa takut terkena kutukan, sebagaimana dititahkan para raja, sejak Singasari sampai dengan Majapahit. Kekuatan terhadap keyakinan ini menjadi salah satu faktor untuk pindah ke lereng atas.Â
Dengan berpindah ke atas, mereka tidak akan terusik atau dijadikan sasaran konversi oleh para pendatang maupun warga Eropa, sehingga masih bisa menjalankan peribadatan sesuai dengan ajaran leluhur.Â
Selain itu, makna solidaritas dan rasa memiliki mereka akan berubah ketika bertahan di lereng bawah dengan membaur bersama warga pendatang karena akan memunculkan sistem dan praktik sosial yang berbeda. Dhukun pandita atau Sang Makedur, misalnya, akan kehilangan posisi religi-nya karena dalam agama Islam tidak mengenal tokoh agama ini, tetapi kyai.Â
Ritual-ritual dan mantra-mantra juga akan mengalami perubahan. Maka, pilihan untuk pindah merupakan pilihan eksistensial untuk terus mengembangkan dan memperkuat ikatan solidaritas komunal berbasis identitas religi dan budaya warisan leluhur Tengger. Inilah babak awal politik identitas yang mereka mainkan di masa kolonial.Â
Mengkonversi Agama sebagai Siasat di Masa Orde Baru
Sayangnya, keyakinan religi Syiwa-Sugata sebagai identitas religi masyarakat Tengger tidak cukup ampuh untuk menjadikan mereka aman dari kuasa rezim negara Orde Baru yang mengharuskan setiap warga negara memeluk salah satu dari agama yang diakui, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.Â
Syiwa-Sugata, bagi rezim negara, bukanlah agama resmi, sehingga warga Tengger diharuskan untuk memeluk salah satu dari kelima agama tersebut. Tentu saja, ini merupakan ancaman terhadap eksistensi Tengger, apalagi dasar peraturan tersebut adalah untuk membersihkan sisa-sisa komunis dari bumi Indonesia.Â
Ketika sebuah komunitas etnis tidak memeluk salah satu dari agama resmi, maka mereka akan dicap tidak beragama alias komunis. Labelisasi komunis tentu akan memunculkan trauma mendalam karena tragedi berdarah yang juga dialami oleh sebagian warga Tengger yang dituduh menjadi anggota atau simpatisan PKI.Â
Trauma terhadap tragedi berdarah 1965, di mana banyak warga Tengger yang dibunuh oleh laskar-sipil atas arahan pihak militer, menjadikan mereka harus memilih salah satu dari agama resmi yang diwajibkan dan diakui oleh rezim Orde Baru.
Pada awalnya, mereka mendapati agama Buddha dekat dengan keyakinan leluhur mereka. Namun demikian, bukan berarti mereka langsung menyepakatinya. Sebagian masyarakat Tengger menerima agama Buddha. Dalam perjalanannya, para dhukun pandita mempelajari agama Hindu Dharma dari Bali dan dianggap sesuai dengan ajaran leluhur.
Maka, pertengahan era 1970-an, atas campur tangan rezim negara dan pertemuan para dhukun pandita, disepakati bahwa masyarakat Tengger memeluk agama Hindu. Hal itu didasarkan pada kemiripan ritual dan mantra-mantra yang dibaca para dhukun. Dipelukknya agama Hindu bukan berarti melepaskan orang Tengger dari keyakinan dan praktik agama leluhur mereka.Â
Mereka tetap menggelar ritual Kasada, Entas-entas, Unan-unan dan yang lain. Masyarakat Tengger juga tidak melakukan ngaben sebagaimana dilakukan pemeluk Hindu di Bali. Orang meninggal tetap dikubur tetapi dengan kepala menghadap ke arah Bromo, tempat purifikasi arwah dari dosa-dosa di dunia sebelum diangkat ke Gunung Semeru dan Nirwana.
Meskipun demikian, tidak semua masyarakat Tengger bersepakat terhadap pilihan religi baru tersebut. Dhukun dan masyarakat Tengger Ngadas Malang memilih memeluk Buddha Jawa Sanyata yang secara resmi berafiliasi ke Buddha.Â
Meskipun demikian, ajaran Buddah Jawa Sanyata tidak sama persis dengan ajaran Buddha. Ajaran ini berasal dari agama Jawa Sanyata yang bercirikan percampuran Syiwa-Sugata dan keyakinan lokal Jawa masa lalu.Â
Menariknya, baru pada era 1990-an sesepuh Buddha Jawa Sanyata mempelajari secara serius Sidharta Gautama atau disebut Sri Raja Mahadewa Buddha . Ajaran Buddha Jawa Sanyata menyebut Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai Sang Hyang Wenang Ing Jagad. Warga juga menghormati dan meyakini Eyang Ibu Bumi sebagai sosok yang mengalirkan kesuburan pada bumi (Destinasian).Â
Menariknya lagi, sebagaimana banyak diyakini orang Jawa, Ki Semar, pemimpin Punakawan dalam cerita pewayangan Jawa juga memiliki tempat terhormat dalam keyakinan dan praktik religi Buddha Jawa Sanyata (Kompasiana/Mbah Ukik).Â
Ki Semar bersama Sri Raja Mahadewa Buddha merupakan figur yang menyebarkan ajaran welas-asih dan pembawa wahyu Tuhan.Â
Sekali lagi, pilihan ini merupakan ‘pilihan politis’, dalam artian mereka memilih untuk menjadi Hindu ataupun Buddha didasarkan atas pertimbangan untuk keselamatan generasi berikutnya, karena ketika memilih untuk tidak memilih agama tersebut, sangat mungkin mereka akan mendapatkan hukuman dari rezim represif, dipenjara ataupun dibunuh laskar sipil dengan dukungan militer.Â
Ketika hal itu terjadi, generasi penerus Tengger akan semakin sedikit dan lambat-laun akan mengalami kepunahan. Tentu, hal itu sangat dihindari oleh sesepuh Tengger, sehingga mereka harus bersiasat dengan memilih agama yang disahkan pemerintah.
Mengkonversi keyakinan religi mereka menjadi Hindu Dharma sebagaimana yang dipraktikkan oleh masyarakat Bali merupakan ujian berat terhadap identitas religi dan budaya Tengger.Â
Bagaimana tidak, para dhukun pandita yang biasanya membaca mantra-mantra ritual harus belajar juga ayat-ayat dalam kitab Weda serta mengajarkan pemahaman mereka masyarakat.Â
Demikian pula, tambahan ritual yang harus disesuaikan dengan ajaran Hindu, seperti peribadatan di Pura atau di Wihara bagi pemeluk Buddha. Mereka harus berbagi tempat suci, tidak hanya di Pedhanyangan tetapi juga di Pura.
Namun demikian, mereka memiliki kesadaran komunal yang terus dibangun oleh para dhukun bahwa pilihan mengkonversi agama bukanlah semata-mata kekalahan oleh agama mayoritas, tetapi sebuah siasat eksistensial untuk tetap meng-ada dan menjadi Tengger di tengah-tengah praktik kekuasaan yang represif dan siap membunuh siapa saja yang dianggap melakukan perlawanan.Â
Untungnya, terdapat beberapa aspek ritual dan keyakinan religi yang sama antara ‘agama Tengger’ dan Hindu atau Buddha, sehingga masyarakat bisa beradaptasi, meskipun dilandasi keterpaksaan.
Setelah mereka memeluk agama Hindu, beberapa penyesuaian peribadatan dilakukan dengan memasukkan beberapa doa dan ritual seperti pemeluk Hindu di Bali. Namun, sekali lagi, orang Tengger tidak mau sepenuhnya memeluk Hindu sesuai dengan tradisi orang Bali. Mereka tetap mempertahankan ritual dan mantra warisan Syiwa-Sugata yang sudah bercampur dengan adat mereka.Â
Artinya, penerimaan terhadap agama mayoritas orang Bali ini bukanlah penerimaan sepenuhnya, tetapi penerimaan yang bersifat lentur dengan tetap menakomodasi kebiasaan-kebiasan religi lokal. Tentu saja, bukan persoalan mudah bagi masyarakat Tengger untuk mempraktikkan ritual dan doa serta membaca kitab yang diberikan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia.Â
Namun, seiring berjalannya waktu, proses konversi tersebut bisa diterima, walaupun sebagian besar ritual dan mantra Tengger tetap dijalankan.
Seiring kembalinya beberapa generasi muda Tengger dari menempuh pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Hindu Dharma di Bali, pada era 1990-an sampai dengan 2000-an muncul gerakan untuk melakukan purifikasi ajaran Hindu di wilayah ini. Namun, gerakan tersebut bisa diredam oleh para dhukun pandita yang tetap ingin mempertahankan sistem dan keyakinan religi warisan para leluhur.Â
Mereka meyakini bahwa ketika ajaran leluhur ditinggalkan, maka masyarakat Tengger akan mendapatkan musibah, karena wilayah Bromo merupakan tanah hila-hila, tanah suci/keramat, yang berbeda dengan wilayah Bali. Itulah mengapa sampai sekarang tidak ada tradisi ngaben di masyarakat Tengger.Â
Artinya, secara resmi mayoritas Tengger memang beragama Hindu dan sebagian kecil Buddha, tetapi keyakinan dan praktik religi mereka tetaplah memiliki perbedaan dengan agama yang diyakini dan dijalankan masyarakat Bali. Pada saat inilah, kita bisa melihat bahwa masyarakat Tengger mulai mengalami ketidaktunggalan identitas religi karena masuknya agama resmi.Â
Siasat dalam beragama tersebut memberikan keuntungan bagi warga Tengger karena mereka tetap bisa menegosiasikan dan menjalankan keyakinan dan ajaran leluhur di tengah-tengah pengaruh agama Hindu dan Buddha. Bisa dikatakan, mereka tidak menghilangkan ajaran leluhur, tetapi menambahkan ajaran Hindu dan Buddha ke dalam religi mereka.Â
Hal berbeda memang dialami warga Tengger yang memeluk agama mayoritas seperti Islam. Karena keyakinan dan tata ibadah yang berbeda, banyak warga Tengger yang meninggalkan ajaran leluhur. Namun, mereka tetap menjalin hubungan silaturahmi dengan warga Tengger yang mayoritas beragam Hindu dan Buddha.Â
Sampai dengan hari ini, masyarakat Tengger melalui arahan para dhukun pandita terus berjuang untuk menjalankan ajaran leluhur di tengah-tengah modernitas dan pertumbuhan pariwisata.Â
Peningkatan jumlah warga Tengger yang mengkonversi agama mereka ke dalam agama-agama mayoritas, juga menjadi perhatian para pemangku adat dan religi. Mereka mengajarkan tata cara hidup, ritual, dan keyakinan warisan leluhur sejak anak-anak usia dini melalui pelibatan secara langsung dalam aktivitas kultural dan religi.Â
Meskipun demikian, para dhukun pandita juga tidak pernah melarang warga Tengger memeluk agama selain Hindu dan Buddha Jawa Sanyata, karena beragama adalah hak setiap manusia. Mereka juga tetap terbuka terhadap warga Tengger yang kembali memeluk Hindhu dan Buddha Jawa Sanyata setelah sebelumnya memeluk agama lainnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H