Dengan demikian, kajian kebijakan budaya memiliki agenda kritis berkaitan dengan beberapa tujuan yang sebenarnya saling bertentangan. Pertama, tujuan pemerintah, yang secara umum mendambakan efisiensi, keadilan, kesempurnaan dan keunggulan.Â
Artinya, seringkali aparat negara menganggap bahwa kebijakan mereka sudah sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan di mana semua pihak bisa terlibat dan merasakan kesejahteraan. Padahal hal itu perlu diuji lagi.Â
Kedua, tujuan reformis, yang melibatkan kerja dalam pengetahuan administratif tetapi dengan tujuan mengefektifkan perubahan. Terdapat agen-agen yang sengaja melibatkan diri mereka dalam kerja-kerja administratif dengan tujuan untuk mengarahkan dan memungkinkan terjadinya perubahan secara efektif dalam hal kebudayaan.Â
Ketiga, tujuan antagonistik, yang melibatkan kritik dan oposisi, baik yang bersifat umum maupun secara khusus terkait kebijakan yang dibuat. Keempat, tujuan diagnostik, di mana kebijakan muncul sebagai politik wacana dalam bentuk penjelasan deskriptif. Â
Kebijakan Budaya yang Memberdayakan
Membuat kebijakan budaya bukanlah persoalan sepele. Kita tentu masih ingat bagaimana rezim Orde Baru yang mengkampanyekan secara massif budaya nasional gagal dalam memformulasi sebuah kebijakan yang strategis-operasional di tengah-tengah masyarakat. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari tindakan-tindakan top-down yang dilakukan aparat negara Orde Baru.Â
Pasca Reformasi 1998 rezim negara tidak beranjak dari konsep romantik budaya nasional sebagai nilai luhur dan jatidiri bangsa; sebuah konsep yang abstrak dan tidak operasional di tengah-tengah ekobomi-politik neoliberal yang diterapkan secara nasional maupun regional.
Di negara-negara maju, sebelum sebuah kebijakan budaya diterapkan, aparat negara di tingkat pusat maupun regional/federal selalu melakukan kerjasama strategis dalam hal kebijakan di mana pemerintah pusat biasanya akan memformulasi desain secara nasional sedangkan pemerintah regional menyediakan infrastruktur, perencanaan, dan kegiatan.Â
Tabret (2014), misalnya, menjelaskan bahwa di Australia, pemerintah pusat dan federal bekerjasama untuk selalu merevisi dan mereformulasi desain kebijakan yang sesuai dengan perkembangan zaman, termasuk melalui riset bersama untuk menentukan indikator-indikator kultural yang melibatkan para akademisi, peneliti, seniman, satrawan.Â
Indikator-indikator tersebut di antaranya meliputi kontribusi budaya terhadap aspek ekonomi dan kohesi sosial serta apa-apa saja yang menarik dan bisa dikembangkan dari sebuah negara bagian.Â
Maka, ketika pada tahun 2013, pemerintah Australia membuat kebijakan Creative Australia, Â segenap elemen, khususnya para pelaku kultural dan masyarakat bisa merasakan implikasi ekonomi dan kultural dari kebijakan tersebut, meskipun beberapa persoalan ideologis antara kalangan pribumi dan pendatang masih saja muncul (Caust, 2015).Â