Awalan
Kebijakan budaya mulai diperhitungkan dalam ranah akademis global sekira dua dekade terakhir. Meskipun demikian, perdebatan tentang penting atau tidaknya ia masuk dalam kajian akademis masih berlangsung hingga saat ini.
Sebagian pihak yang mendukung mengatakan bahwa kebijakan budaya menjadi pintu masuk untuk memformulasi perkembangan budaya yang memberikan keberdayaan para pelaku dan memperkuat identitas.
Sebagian pihak yang menolak mengatakan bahwa kajian terhadap kebijakan budaya tidak akan berimplikasi banyak pada dimensi aksiologis karena rezim negara sebenarnya tidak pernah serius untuk memikirkan nasib budaya karena mereka sudah terlalu asyik dengan masukan-masukan dari para pemikir tukang.
Namun, apa yang harus ditekankan adalah dalam kondisi negara masih memegang peran penting dalam menentukan setiap kebijakan, kehadiran intelektual dalam kebijakan budaya menjadi penting ketimbang membiarkan kebudayaan masyarakat berkembang tak tentu arah.
Kebijakan Budaya dalam Perspektif Kritis Cultural Studies
Kajian budaya (cultural studies) merupakan sebuah ranah akademis multidisiplin yang mengupas persoalan-persoalan budaya, baik dalam bentuk budaya media, seni pertunjukan, seni lukis, sastra, dan kebiasaan sehari-hari, dengan perspektif kritis yang menekankan kepada berlangsungnya negosiasi kuasa dan kemungkinan munculnya resistensi.
Dalam perkembangan mutakhir, kajian budaya di Eropa, Australia, Amerika, dan negara-negara maju Asia, mulai menimbang pentingnya kajian terhadap kebijakan budaya yang diambil oleh pemerintah, khususnya dalam konteks industri budaya.
Tony Bennet, salah satu pakar yang menginisiasi kajian kebijakan budaya, memosisikan kepemerintahan sebagai faktor penting dalam mengkonstruksi atau men-subjektifikasi kehidupan sosial dan kultural.
Tata kelola kepemerintahan, memodifikasi pemikiran Foucauldian, yang terdiri dari institusi, prosedur, analisis dan refleksi, kalkulasi dan taktik yang memungkinkan berlangsungnya kekuasaan dengan target warga masyarakat dengan aktivitas-aktivitas yang disesuaikan dengan kebutuhan publik (Bennet, 2007).
Kepemerintahan yang baik, idealnya, akan menghasilkan kebijakan yang bisa mendorong subjektifikasi, pembentukan subjek masyarakat yang berada dalam pengaruh kebijakan tersebut. Di sinilah dibutuhkan peran penting dari wacana dan praktik diskursifnya, berupa institusi, aparat, mekanisme, penyebarluasan, dan lain-lain.
Kerangka tersebut memosisikan kebijakan budaya sebagai sebuah konsep yang dibuat berdasarkan analisis dan refleksi mendalam terhadap kebutuhan masyarakat dalam bidang budaya sehingga bisa dipahami dan diikuti oleh mereka.
Di sinilah dibutuhkan keberadaan agen (aparat negara, seniman, pendidik, maupun budayawan) untuk mengkonstruksi kebijakan yang bisa menjadi “kebenaran” yang dijalankan oleh para pelaku di masyarakat serta peran intelektual untuk mengkritisi dan memberikan masukan terkait kebijakan yang telah atau akan dibuat.
McGuigan (1996, 2003, 2004) menegaskan bahwa kebijakan budaya memang memunculkan konsep pengaturan dan pengendalian, namun maknanya tidak harus hanya dibatasi pada tindakan-tindakan operasional dan administratif oleh aparat pemerintah semata.
Kalau seperti itu hanya akan terjebak ke dalam kerja-kerja teknis, tanpa menimbang bagaimana efek politik, ekonomi, dan sosial sebuah kebijakan yang dibuat oleh aparat pemerintah.
Kebijakan budaya yang baik adalah yang mampu mengkombinasikan bermacam aspek, seperti pertumbuhan teknologi, kemampuan manajerial pemerintah, serta bagaimana kuasa dari kebijakan menyebar secara diskursif (bukannya koersif) kepada para aktor kultural dan masyarakat secara luas di tengah-tengah perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang tengah terjadi.
Perhatian-perhatian mendetil pada pengaruh kebijakan budaya, seperti terhadap aspek ekonomi, sosial, politik, serta kehidupan komunitas dan publik secara luas menjadi penting untuk dianalisis dalam kajian terhadapnya.
Menurut Cunningham (2003) hal tersebut menjadikan kajian budaya bukan semata-mata sebagai pisau untuk membedah ketidakberesan serta wacana untuk melawan ketidakadilan kultural dalam masyarakat.
Lebih dari itu, kajian budaya berorientasi kebijakan akan menjadikan intelektual terlibat secara diskursif dan praksis ke dalam kerja-kerja kebudayaan yang terfokus pada wilayah-wilayah lokal tanpa terjebak ke dalam slogan-slogan universal yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan pemerintah dan masyarakat setempat.
Dengan demikian, kajian kebijakan budaya memiliki agenda kritis berkaitan dengan beberapa tujuan yang sebenarnya saling bertentangan. Pertama, tujuan pemerintah, yang secara umum mendambakan efisiensi, keadilan, kesempurnaan dan keunggulan.
Artinya, seringkali aparat negara menganggap bahwa kebijakan mereka sudah sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan di mana semua pihak bisa terlibat dan merasakan kesejahteraan. Padahal hal itu perlu diuji lagi.
Kedua, tujuan reformis, yang melibatkan kerja dalam pengetahuan administratif tetapi dengan tujuan mengefektifkan perubahan. Terdapat agen-agen yang sengaja melibatkan diri mereka dalam kerja-kerja administratif dengan tujuan untuk mengarahkan dan memungkinkan terjadinya perubahan secara efektif dalam hal kebudayaan.
Ketiga, tujuan antagonistik, yang melibatkan kritik dan oposisi, baik yang bersifat umum maupun secara khusus terkait kebijakan yang dibuat. Keempat, tujuan diagnostik, di mana kebijakan muncul sebagai politik wacana dalam bentuk penjelasan deskriptif.
Kebijakan Budaya yang Memberdayakan
Membuat kebijakan budaya bukanlah persoalan sepele. Kita tentu masih ingat bagaimana rezim Orde Baru yang mengkampanyekan secara massif budaya nasional gagal dalam memformulasi sebuah kebijakan yang strategis-operasional di tengah-tengah masyarakat. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari tindakan-tindakan top-down yang dilakukan aparat negara Orde Baru.
Pasca Reformasi 1998 rezim negara tidak beranjak dari konsep romantik budaya nasional sebagai nilai luhur dan jatidiri bangsa; sebuah konsep yang abstrak dan tidak operasional di tengah-tengah ekobomi-politik neoliberal yang diterapkan secara nasional maupun regional.
Di negara-negara maju, sebelum sebuah kebijakan budaya diterapkan, aparat negara di tingkat pusat maupun regional/federal selalu melakukan kerjasama strategis dalam hal kebijakan di mana pemerintah pusat biasanya akan memformulasi desain secara nasional sedangkan pemerintah regional menyediakan infrastruktur, perencanaan, dan kegiatan.
Tabret (2014), misalnya, menjelaskan bahwa di Australia, pemerintah pusat dan federal bekerjasama untuk selalu merevisi dan mereformulasi desain kebijakan yang sesuai dengan perkembangan zaman, termasuk melalui riset bersama untuk menentukan indikator-indikator kultural yang melibatkan para akademisi, peneliti, seniman, satrawan.
Indikator-indikator tersebut di antaranya meliputi kontribusi budaya terhadap aspek ekonomi dan kohesi sosial serta apa-apa saja yang menarik dan bisa dikembangkan dari sebuah negara bagian.
Maka, ketika pada tahun 2013, pemerintah Australia membuat kebijakan Creative Australia, segenap elemen, khususnya para pelaku kultural dan masyarakat bisa merasakan implikasi ekonomi dan kultural dari kebijakan tersebut, meskipun beberapa persoalan ideologis antara kalangan pribumi dan pendatang masih saja muncul (Caust, 2015).
Kebijakan Creative Australia berisi modernisasi pendanaan, memperkuat ekspresi kreatif dan peran seniman, dan pendanaan terhadap program budaya pribumi yang bisa memperkuat kehidupan ekonomi dan sosial para pelaku dan masyarakat.
Hal serupa juga dilakukan pemerintah Selandia Baru yang memformulasi indikator kultural untuk mengembangkan potensi budaya tradisional (Maori) dan budaya Eropa dalam kerangka penguatan identitas multikultural dan industri kreatif (Bev Hong, 2014).
Revisi dan reformulasi indikator kultural yang perlu dikembangkan dan diberdayakan dalam aspek identitas dan ekonomi kreatif mempermudah pemerintah, pelaku, dan masyarakat di Selandia Baru untuk bersama-sama mendiskusikan sebuah formula kebijakan budaya yang bisa bermanfaat bagi semua pihak terkait.
Ukuran-ukuran yang memudahkan para birokrat dan pelaku dalam memahami pengembangan budaya akan mendorong lahirnya mekanisme kontrol dan kerjasama yang saling menguntungkan. Bahkan, keputusan untuk memberikan pendanaan bukanlah semata-mata menggelontorkan uang kepada para pelaku seni di Selandia Baru tanpa paramater analisis yang jelas.
Sebaliknya, parameter-parameter terkait manajemen dan evalusi terhadap program pendanaan bagi kegiatan dan produk seni tertentu mutlak dibutuhkan agar tidak sekedar menjadi program pepesan kosong (Hazledine, 2011; Bertelli, Connolly, Mason, & Conover, 2014).
Menariknya, sampai urusan untuk mengetahui pemahaman warga negara terkait makna budaya di era kontemporer, beberapa negara dengan penduduk terbatas seperti Skotlandia melakukan konsultasi nasional kepada warganya (Bonnar, 2104).
Hal ini menjadi penting karena negara berusaha menghindari kebijakan yang tidak berdampak apa-apa bagi penguatan dan pemberdayaan potensi kultural oleh para pelaku di tingkat praksis.
Sementara, di negara-negara besar seperti Inggris dan Kanada, revisi kebijakan lebih diarankan pada nilai dari praktik dan produk budaya yang dilihat dari fakta kontribusi ekonominya bagi pendapatan negara dan kesejahteraan pelaku dan anggota masyarakat (McCaughey, Duxbury, & Meisner, 2014; Crossick & Kaszynska, 2014).
Dengan demikian, seperti pengalaman negara bagian Ontario di Kanada, ketika perencanaan dan kebijakan budaya dikonseptualisasikan dengan benar dan tepat berbasis penelitian dan pertimbangan yang lebih matang yang melibatkan para peneliti, pelaku, dan birokrat, maka hasil dan capaian yang dicapai tentu bisa benar-benar bermanfaat bagi komunitas dan juga negara (Kovacs, 2010).
Selain itu, pembentukan komite yang secara khusus memantau dan mengevaluasi kebijakan budaya termasuk pengaruhnya terhadap anggota masyarakat di tingkat lokal dan para pelaku di tingkat komunitas menjadi penting dilakukan agar bisa memastikan secara terukur bahwa sebuah kebijakan sudah berimplikasi positif atau belum (van den Hoogen, 2014).
Apakah Indonesia sudah seperti negara-negara maju tersebut? Tentu, kita membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk bisa seperti mereka. Marilah, kita menengok negara tetangga di kawasan Asia sebagai pembanding.
Semua orang seolah tidak percaya bahwa budaya pop Korea mampu merambah dan menjadi idola di planet bumi. Bagaimana bisa negara tersebut menjadi kekuatan kultural yang diperhitungkan di ranah regional dan internasional?
Jawabannya sederhana. Karena mereka mampu mendesain kebijakan budaya yang sesuai dengan perkembangan kultural serta mampu memberikan jaminan kepada para pelaku kultural.
Menurut Kwon & Kim (2014) sejak era 1990-an pemerintah Korea Selatan melakukan pergeseran paradigma dari kontrol ketat negara menuju industri budaya berorientasi pasar.
Pada akhir 1990-an, selepas krisis ekonomi, pemerintah Korea Selatan meluncurkan kebijakan Korean Wave di mana mereka mendorong tumbuh-kembangnya industri budaya seperti film, televisi, game, dan lain-lain yang selain berorientasi ekonomi juga berorientasi penguatan identitas Korea di tengah-tengah lalu-lintas budaya global yang semakin modern.
Dengan keberhasilan menata dan memformulasi kebijakan budaya yang memungkinkan para pelaku/kreator dan komunitas mereka memproduksi beragam karya, Korean Wave, baik dalam hal musik, film, maupun drama televisi, mampu menjangkau pasar Asia dan global dewasa ini (Park & Shin, 2004; Cho, 2011).
Salah satu karakteristik industri budaya Korea, baik dalam hal musik, film, maupun televisi adalah hibriditas kultural yang memadukan aspek-aspek budaya Barat dan Asia dalam balutan teknologi digital terkini sehingga bisa diterima di tingkat Asia maupun global (Shin, 2009; Lee, 2009; Shim, 2006).
Berkaca pada kajian-kajian di atas, kita bisa melihat bahwa sebagian besar kebijakan budaya di negara-negara maju memang lebih diorientasikan kepada industri budaya/industri kreatif yang beorientasi pada penguatan kreativitas untuk tujuan ekonomi.
Urgensi dan Tantangan bagi Indonesia
Dalam kasus Indonesia, kita tentu tidak bisa serta-merta memformulasi kebijakan yang semata-mata berorientasi pada akumulasi modal, karena masih banyak daerah yang memiliki potensi budaya lokal berorientasi komunal, seperti seni pertunjukan, kerajinan, ritual, dan lain-lain, yang tidak semua bisa dibawa masuk ke dalam model industri kreatif berorientasi modal.
Itulah mengapa perlu dilakukan kajian mendalam yang memperhatikan secara komprehensif bermacam potensi kultural dan permasalahan yang dihadapi oleh aparat pemerintah di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan para pelaku di level komunitas.
Dalam hal kebijakan budaya, sejak Orde Baru sampai sekarang, bisa dikatakan bahwa negara belum memiliki kejelasan blue print arah yang dikehendaki untuk bisa memperkuat dan memberdayakan potensi budaya bangsa dan budaya daerah.
Bisa dikatakan pertumbuhan industri kreatif berjalan dalam arahan pemodal swasta yang mengedepankan mekanisme pasar dan formula populer. Pertumbuhan dunia digital dengan beragam media sosial dan hiburannya juga menumbuhkan ragam kreativitas di tingkat pusat maupun daerah. Namun, para pelaku tersebut tumbuh dalam prinsip apropriasi terhadap trend global.
Rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo memang sudah berusaha menata kebijakan budaya seperti membuat UU Pemajuan Kebudayaan, menyiapkan dana abadi kebudayaan, menata ekosistem ekonomi kreatif dan digital, dan beberapa upaya lainnya. Namun, semua itu masih membutuhkan kerangka operasional agar bisa menyentuh dan memberdayakan lebih banyak pelaku.
Sementara, para pelaku budaya lokal yang bersentuhan langsung dengan aktivitas penguatan identitas dan budaya bangsa, dari ritual, kesenian rakyat, kerajinan, dan lain-lain, masih belum bisa berdaya secara maksimal dalam secara ekonomi.
Selain itu, para pelaku juga mengalami masalah regenerasi akibat masih kuatnya stigmatisasi terhadap kesenian rakyat serta ketidakhadiran negara dalam program penguatan.
Belum lagi ketidakjelasan hubungan antara pemerintah kabupaten dengan provinsi dan pusat dalam hal kebijakan budaya. Akibatnya, potensi melimpah dalam hal budaya lokal kurang bisa dikembangkan secara maksimal.
Oleh sebab itu, perlu kiranya pemerintah pusat bekerjasama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk memformulasi kebijakan yang benar-benar diorientasikan untuk keberdayaan para pelakunya dan masyarakat. Para pelaku perlu menjadi orientasi dalam kebijakan karena tanpa mereka, ekspresi budaya bangsa dan budaya lokal akan semakin hilang dari ruang kultural.
Padahal kalau dikelola dengan kebijakan yang jelas para pelaku bisa memaksimalkan potensi budaya, tidak hanya untuk memperkuat identitas mereka dan bangsa, tetapi juga bisa untuk mencegah tumbuh-kembang sektor ekonomi.
Pemerintah tidak perlu alergi untuk menggandeng akademisi, peneliti, pelaku budaya, LSM, dan pihak swasta untuk memformulasi kebijakan budaya yang benar-benar menjadi formula nasional serta membawa dampak konstruktif, kreatif, dan positif untuk penguatan budaya bangsa dan terus meningkatkan keuntungan ekonomi yang membawa kesejahteraan bagi pelaku dan masyarakat.
Bacaan
Bennet, Tony. 2007. Critical Trajectories: Culture, Society, Intellectuals. Sydney: Blackwell Publishing.
Bertelli, Anthony M., Jennifer M. Connolly, Dyana P. Mason & Lilian C. Conover. 2014. Politics, management, and the allocation of arts funding: evidence from public support for the arts in the UK. International Journal of Cultural Policy, 20(3): 341-359.
Bonnar, Anne. 2014. What does culture mean to you? The practice and process of consultation on cultural policy in Scotland since devolution. Cultural Trends, 23(3): 136-147.
Caust, Josephine. 2015. Cultural wars in an Australian context: challenges in developing a national cultural policy. International Journal of Cultural Policy, 21(2): 168-182.
Cho, Younghan. 2011. Desperately Seeking East Asia Amidst the Popularity of South Korean Pop Culture in Asia. Cultural Studies, 25(3): 383-404.
Crossick, Geoffrey & Patrycja Kaszynska. 2014. Under construction: Towards a framework for cultural value. Cultural Trends, 23(2): 120-131.
Cunningham, Stuart. 2003. Cultural Studies from the Viewpoint of Cultural Policy. Dalam Justin Lewis dan Toby Miller (ed). Critical Cultural Policy Studies: Reader. Oxford: Blackwell Publishing.
Hazledine, Tim. 2014. Arts funding in New Zealand: a proposal for reform. Cultural Trends, 20(1): 65-84.
Hong, Bev. 2014. National cultural indicators in New Zealand. Cultural Trends, 23(2): 93-108.
Kovacs, Jason F. 2010. Cultural plan implementation and outcomes in Ontario Canada. Cultural Trends, 19(3): 209-224.
Kwon, Seung-Ho & Joseph Kim. 2014. The cultural industry policies of the Korean government and the Korean Wave. International Journal of Cultural Policy, 20(4): 422-439.
Lee, Jung‐yup. 2009. Contesting the digital economy and culture: digital technologies and the transformation of popular music in Korea. Inter-Asia Cultural Studies, 10(4): 489-506.
McCaughey, Claire, Nancy Duxbury & Adam Meisner. 2014. Measuring cultural value in Canada: From national commissions to a culture satellite account. Cultural Trends, 23(2): 109-119.
McGuigan, Jim. 2004. Rethinking Cultural Policy. London: Sage Publications.
McGuigan, Jim. 2003. Cultural Policy Studies. Dalam Justin Lewis dan Toby Miller (ed). Critical Cultural Policy Studies: Reader. Oxford: Blackwell Publishing.
McGuigan, Jim. 1996. Culture and Public Sphere. London: Routledge.
Park, Sangyoub & Eui Hang Shin. 2004. Source Patterns of Market Polarization and Market Matching in the Korean Film Industry. Journal of East Asian Studies, 4(2): 285-300.
Shim, Doobo. 2006. Hybridity and the rise of Korean popular culture in Asia. Media, Culture & Society, 28(1): 25-44.
Shin, Hyunjoon. 2009. Have you ever seen the Rain? And who’ll stop the Rain?: the globalizing project of Korean pop (K‐pop). Inter-Asia Cultural Studies, 10(4): 507-523.
Tabrett, Leigh. 2014. The development of cultural indicators for Australia – policy-making in a federal system of government. Cultural Trends, 23(2): 82-92
van den Hoogen, Quirijn Lennert. 2014. New local cultural policy evaluation methods in the Netherlands: status and perspectives. International Journal of Cultural Policy, 20(5): 613-636.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H