Meninggalkan Yarmouk
Dalam situasi normal, rasa-rasanya, tidak ada manusia yang mau meninggalkan tempat kelahirannya. Peristiwa sehari-hari bersama keluarga, tetangga, dan komunitas membentuk ikatan kultural yang ikut mempengaruhi gerak kehidupan dan visi masa depan seorang individu.Â
Namun, ketika perang dikobarkan oleh manusia-manusia haus kekuasaan berdalih agama memporak-porandakan struktur batin, impian, dan harapan manusia, bertahan memang menjadi pilihan yang prosentasenya semakin kecil.Â
Sementara, mengungsi ke negara yang relatif aman dari perang menjadi pilihan eksistensial yang harus dipilih dan diperjuangkan, meskipun tidak mudah dan seringkali harus bertaruh nyawa. Kondisi itulah yang dialami warga Syiria, Afghanistan, Yaman, Lebanon, Palestina, dan negara-negara lain yang dilanda perang berkepanjangan.
Pilihan sulit itu pula yang harus diambil oleh Aeham Ahmad dan keluarganya. Sebagai warga Yarmouk Syiria keturunan Palestina, awalnya mereka hidup dalam suasana damai; kota bergerak dinamis mengikuti pertumbuhan warganya. Semua berubah ketika pemberontak mulai melawan rezim Asa’ad.Â
Perang memporak-porandakan bangunan fisik dan tubuh sosial, melenyapkan harapan untuk berkehidupan yang layak. Hasrat untuk berkuasa atau mempertahankan kuasa telah menegasikan perintah kitab suci untuk memelihara kehidupan buat umat manusia. Awalnya, Aeham dan keluarganya masih berusaha bertahan sembari berharap perang akan segera redah.Â
Ia menggunakan piano kesayangannya untuk bernyanyi, mengharap para pengungsi tidak jadi meninggalkan Yarmouk dan Syiria, memanggil para pengungsi untuk kembali. Piano menjadi ‘alat ideologis’ untuk mengumpulkan ingatan warga akan Yarmouk dan segenap ceritanya.Â
Sayangnya, mereka tidak pernah kembali karena trauma akan kematian yang menimpa keluarga, kerabat, dan kawan. Dihancurkannya piano Aeham menjadi titik akhir kesabarannya sebagai warga Yarmouk.
Sebagai film dokumenter yang mengambil alur flash back, The Pianist of Yarmouk menarasikan betapa perjalanan menuju Jerman bukanlah perjalanan mudah. Dibayang-bayangi kengerian dan tragedi yang menyebabkan banyak pengungsi meninggal atau terluka, Aeham memulai perjalanan panjang yang benar-benar menguji nalurinya sebagai manusia.Â
Apalagi ia harus berpisah dari istri dan kedua buah hatinya. Memang, Aeham tidak menjadi pelaku langsung dalam proses pengungsian, karena film ini dibuat ketika dia sudah berada di Jerman. Namun, itu semua tidak mengurangi wacana yang disampaikan karena ia adalah ‘otoritas film’ yang memilliki cerita dengan segala seluk-beluknya.Â