Keberadaan para dhukun pandita di kawasan Tengger berkontribusi penting bagi terjaganya ragam budaya Tengger di tengah-tengah arus besar modernitas. Mereka memimpin ritual-ritual yang diwariskan dari nenek moyang, baik ritual yang berkaitan dengan daur hidup maupun ritual besar seperti Kasada.Â
Para dhukun pandita selalu mengajarkan dan mengingatkan kepada warga Tengger tentang bermacam ritual dan sesajen yang dibutuhkan. Mereka melakukan dalam pertemuan-pertemuan dengan warga dan kaum muda di pura desa atau balai desa.Â
Tujuan utamanya, selalu mengingatkan warga tentang ajaran leluhur yang harus dijalani agar masyarakat Tengger bisa hidup bahagia dan sejahtera, terhindar dari berbagai macam bencana.Â
Untuk menjangkau anak-anak dan remaja, para dhukun pandita bersama para guru di sekolah tingkat dasar dan menengah yang ada di kawasan Tengger untuk menyelenggarakan pembelajaran khusus adat-istiadat.Â
Program tersebut bertujuan untuk memperkenalkan budaya Tengger sejak usia dini, sehingga anak-anak dan remaja tetap mau mencintai warisan leluhur mereka.Â
Tidak lupa, para dhukun pandita dan aparat pemerintah desa melibatkan anak-anak dan kaum muda untuk terlibat dalam setiap acara adat secara langsung dengan tujuan belajar langsung dari pengalaman.Â
Mereka diajak mencari tumbuh-tumbuhan untuk sesajen atau melakukan hal-hal lain agar bisa belajar dan membiasakan diri dengan budaya leluhur.
Usaha bersama tersebut tentu sangat penting di tengah-tengah kebiasaan masyarakat Tengger menikmati budaya modern dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya, kemauan generasi muda untuk terus meyakini dan menjalani budaya leluhur akan menjadi kekuatan regeneratif dalam melanjutkan kehidupan di kawasan Bromo.Â
Para dhukun pandita juga memastikan bahwa masyarakat Tengger tidak melupakan tradisi religi leluhur meskipun sejak tahun 1970-an mayoritas mereka memeluk Hindu Dharma. Warga Tengger tidak ingin menjadi Hindu seperti warga Bali, karena mereka memiliki karakteristik tersendiri.Â
Warga Tengger, misalnya, tidak di-ngaben ketika meninggal dunia. Mereka dimakamkan seperti warga Muslim, tetapi dengan kepala menghadap ke Gunung Bromo.Â
Anak-anak Tengger juga dikhitan. Para dhukun pandita mengajak masyarakat Tengger untuk tetap mempertahankan identitas mereka, meskipun pembelajaran agama Hindu berlangsung massif.Â