Kedua, minimal berusia 25 tahun dan sudah menikah. Syarat sudah menikah bersifat mutlak karena istrinya akan menjadi pedandan, perempuan yang membantu untuk menyiapkan sesajen selama pelaksanaan ritual.Â
Selain itu, lelaki yang sudah menikah diyakini sudah mempunyai kematangan pikiran dan batin, sehingga dalam menjalankan kerja-kerja ritual si dhukun akan bisa tenang dan terarah.Â
Ketiga, disetujui secara tertulis oleh dhukun lama yang sudah merasa tidak mampu lagi mengemban amanat karena faktor usia dan fisik. Ia juga harus mendapatkan izin tertulis dari Kepala Desa. Syarat ini menegaskan aspek legal-formal yang biasa digunakan dalam birokrasi modern.Â
Para dhukun pandita juga mementingkan persyarakat legal-formal berupa surat tertulis karena mereka sudah terbiasa dengan aturan modern seperti ketika mereka berhadapan dengan rezim negara di tingkat regional maupun nasional.Â
Keempat, lulus upacara Mulunen, yakni calon dukun di-uji untuk menghafalkan mantra Kasada waktu upacara di Pura Poten di lautan pasir sebelum labuhan,melemparkan persembahanke kawah Bromo.
Keharusan untuk bisa melafalkan mantra-mantra Tengger menuntut seorang calon dhukun pandita untuk mau belajar dan berlatih dengan keras. Karena apabila mereka tidak mampu melafalkannya dengan benar, tanpa bantuan teks, rasa malu akan terbawa seumur hidup.Â
Sutomo, dhukun pandita Ngadisari dan Koordinator Dhukun Pandita se-Kawasan Tengger (menggantikan Mujono yang meninggal) menuturkan pengalamannya sebagai berikut.
"... setelah Bapak meninggal [Pak Suja'i, Dhukun Pandita Ngadisari sebelumnya, pen] warga menyampaikan aspirasi, mereka meminta saya untuk menjadi dhukun. Lalu, Pak Kades dan istrinya, bertamu ke rumah saya dan menyampaikan aspirasi warga.Â
Terus saya bermusyawarah dengan keluarga, terutama istri, karena dia juga harus siap untuk membantu kerja-kerja dhukun. Akhirnya, keluarga saya menyetujui. Setelah mendapat persetujuan, saya belajar ke Pak Mujono di Ngadas, karena dia dulu juga belajar ke Bapak.Â
Saya memang belajar secara cepat karena waktu itu sudah bulan Kawolu, sementara bulan Kasada saya sudah harus diwisuda. Tidak lama setelah itu kan ada ritual Karo, di mana dhukun pandita harus keliling ke setiap rumah, mendoakan penghuninya...
Maka, saya memang belajar secara cepat. Untuk menguji konsentrasi, saya menghafal mantra di depan televisi. Biar banyak gangguan, biar konsentrasinya semakin teruji.Â
Pada bulan Kapitu saya menjalankan puasa patigeni. Di awali tidak makan, tidak minum pada hari pertama, lalu puasa mutih, dan pada hari terakhir tidak makan tidak minum sehari semalam lagi.Â
Saya tidak hanya diam diri di rumah selama nglakoni, kadang saya pergi ke poten, punden, maupun pedhanyangan. Bahkan, saya sering juga menghadiri undangan. Jadi, ya, saya hanya membawa kue aron [kue kas Tengger yang terbuat dari jagung, pen] untuk makan.
Karena waktu menghadiri undangan, pasti makanan yang disediakan enak-enak. Setelah sebulan menjalankan puasa mutih, saya baru makan enak, maksudnya yang terasa asin, gurih, manis, pedas, dan asam."
Tahapan-tahapan yang dilakoni oleh Sutomo menunjukkan bahwa tidak ada pengistimewaan kepada dirinya selaku calon dhukun, meskipun (alm) Pak Sudja'i adalah mantan Koordinator Dhukun se-kawasan Tengger dan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Probolinggo.Â
Ia harus tetap mau belajar dengan keras, tekun, dan telaten, baik secara mandiri maupun dengan meminta bimbingan dari para dhukun sepuh. Laku sakral seperti puasa mutih (hanya makan makanan dan minuman berwarna putih, tanpa rasa manis, tanpa rasa asin) dan patigeni (tidak makan dan tidak minum selama sehari semalam) juga harus dijalani.Â
Menariknya, untuk melatih dan menguji konsentrasinya, ia menghafalkan mantra di depan televisi. Hal ini juga bisa dipahami bahwa ia sengaja menghadirkan godaan duniawi untuk memperkuat pemahamannya terhadap sesuatu yang sakral.Â
Semua tindakan tersebut menegaskan bahwa untuk menjadi dhukun pandita membutuhkan keseriusan laku batin dan laku fisik karena tanggung jawab yang disandang harus mampu menjembatani kehidupan manusia dan kekuatan adikodrati.Â