Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dhukun Pandita, Mengawal Budaya Tengger dalam Arus Modernitas

20 Desember 2022   15:27 Diperbarui: 23 Desember 2022   04:25 884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dhukun Pandita Sutomo bersama Koordinator Dhukun Pandita se-Kawasan Tengger Mujono (alm) memimpin malam resepsi Kasada 2012 di Balai Desa Ngadisari, Probolinggo.| Dokumentasi penulis

Memasuki Dunia Dhukun Tengger

Mendengar kata dhukun atau dukun, bisa jadi banyak di antara kita yang mengasosiasikan dengan tokoh atau individu yang memiliki kesaktian dan bisa membantu untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu.

Dalam sistem sosial dan budaya Tengger, dhukun pandita merupakan otoritas adat yang memimpin ritual keagamaan dan menanamkan keyakinan tradisi ke dalam masyarakat Tengger, nglokapla sraya. 

Sebelum membahas lebih jauh lagi tentang dhukun pandita, perlu saya jelaskan secara singkat bahwa istilah tersebut digunakan untuk mengganti istilah dhukun yang pada masa-masa sebelumnya biasa dipakai. 

Pada masa kepemimpinan Mujono sebagai Koodinator Dhukun se wilayah Tengger (meninggal tahun 2014), istilah dhukun diganti dengan dhukun pandita. 

Alasannya, dalam sistem religi Tengger, terdapat dua istilah lagi yang menggunakan kata dhukun, yakni dhukun cilik dan pandita dhukun. 

Dhukun cilik adalah tokoh yang memiliki kemampuan untuk mengobati penyakit-penyakit ringan, seperti panas atau sakit-sakit lain yang disebabkan oleh kekuatan ghaib. Mereka juga bisa memberikan mantra penglarisan untuk usaha dan mantra agar seseorang segera mendapatkan jodoh. 

Sementara, pandita dhukun adalah level tertinggi dalam jagat perdhukunan Tengger. Posisi pandita dhukun hampir sama dengan para pertapa suci. Level ini sangat sulit dicapai karena banyak dhukun pandita yang masih terikat kehidupan dunia. 

Tidak semua warga Tengger bisa menjadi dhukun pandita. Terdapat beberapa persyaratan yang harus mereka penuhi. 

Pertama, mampu menghafal mantra perdukunan Tengger yang dihimpun dalam kitab Sang Hyang Aji Parikrama yang mencakup semua mantra terkait ritual kecil maupun besar di wilayah Tengger. 

Kedua, minimal berusia 25 tahun dan sudah menikah. Syarat sudah menikah bersifat mutlak karena istrinya akan menjadi pedandan, perempuan yang membantu untuk menyiapkan sesajen selama pelaksanaan ritual. 

Selain itu, lelaki yang sudah menikah diyakini sudah mempunyai kematangan pikiran dan batin, sehingga dalam menjalankan kerja-kerja ritual si dhukun akan bisa tenang dan terarah. 

Ketiga, disetujui secara tertulis oleh dhukun lama yang sudah merasa tidak mampu lagi mengemban amanat karena faktor usia dan fisik. Ia juga harus mendapatkan izin tertulis dari Kepala Desa. Syarat ini menegaskan aspek legal-formal yang biasa digunakan dalam birokrasi modern. 

Para dhukun pandita juga mementingkan persyarakat legal-formal berupa surat tertulis karena mereka sudah terbiasa dengan aturan modern seperti ketika mereka berhadapan dengan rezim negara di tingkat regional maupun nasional. 

Keempat, lulus upacara Mulunen, yakni calon dukun di-uji untuk menghafalkan mantra Kasada waktu upacara di Pura Poten di lautan pasir sebelum labuhan,melemparkan persembahanke kawah Bromo.

Keharusan untuk bisa melafalkan mantra-mantra Tengger menuntut seorang calon dhukun pandita untuk mau belajar dan berlatih dengan keras. Karena apabila mereka tidak mampu melafalkannya dengan benar, tanpa bantuan teks, rasa malu akan terbawa seumur hidup. 

Berbincang dengan Sutomo, Dhukun Pandita Ngadisari di pawon (dapur) rumahnya.| Dokumentasi penulis
Berbincang dengan Sutomo, Dhukun Pandita Ngadisari di pawon (dapur) rumahnya.| Dokumentasi penulis
Sutomo, dhukun pandita Ngadisari dan Koordinator Dhukun Pandita se-Kawasan Tengger (menggantikan Mujono yang meninggal) menuturkan pengalamannya sebagai berikut.

"... setelah Bapak meninggal [Pak Suja'i, Dhukun Pandita Ngadisari sebelumnya, pen] warga menyampaikan aspirasi, mereka meminta saya untuk menjadi dhukun. Lalu, Pak Kades dan istrinya, bertamu ke rumah saya dan menyampaikan aspirasi warga. 

Terus saya bermusyawarah dengan keluarga, terutama istri, karena dia juga harus siap untuk membantu kerja-kerja dhukun. Akhirnya, keluarga saya menyetujui. Setelah mendapat persetujuan, saya belajar ke Pak Mujono di Ngadas, karena dia dulu juga belajar ke Bapak. 

Saya memang belajar secara cepat karena waktu itu sudah bulan Kawolu, sementara bulan Kasada saya sudah harus diwisuda. Tidak lama setelah itu kan ada ritual Karo, di mana dhukun pandita harus keliling ke setiap rumah, mendoakan penghuninya...

Maka, saya memang belajar secara cepat. Untuk menguji konsentrasi, saya menghafal mantra di depan televisi. Biar banyak gangguan, biar konsentrasinya semakin teruji. 

Pada bulan Kapitu saya menjalankan puasa patigeni. Di awali tidak makan, tidak minum pada hari pertama, lalu puasa mutih, dan pada hari terakhir tidak makan tidak minum sehari semalam lagi. 

Saya tidak hanya diam diri di rumah selama nglakoni, kadang saya pergi ke poten, punden, maupun pedhanyangan. Bahkan, saya sering juga menghadiri undangan. Jadi, ya, saya hanya membawa kue aron [kue kas Tengger yang terbuat dari jagung, pen] untuk makan.

Karena waktu menghadiri undangan, pasti makanan yang disediakan enak-enak. Setelah sebulan menjalankan puasa mutih, saya baru makan enak, maksudnya yang terasa asin, gurih, manis, pedas, dan asam."

Tahapan-tahapan yang dilakoni oleh Sutomo menunjukkan bahwa tidak ada pengistimewaan kepada dirinya selaku calon dhukun, meskipun (alm) Pak Sudja'i adalah mantan Koordinator Dhukun se-kawasan Tengger dan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Probolinggo. 

Ia harus tetap mau belajar dengan keras, tekun, dan telaten, baik secara mandiri maupun dengan meminta bimbingan dari para dhukun sepuh. Laku sakral seperti puasa mutih (hanya makan makanan dan minuman berwarna putih, tanpa rasa manis, tanpa rasa asin) dan patigeni (tidak makan dan tidak minum selama sehari semalam) juga harus dijalani. 

Menariknya, untuk melatih dan menguji konsentrasinya, ia menghafalkan mantra di depan televisi. Hal ini juga bisa dipahami bahwa ia sengaja menghadirkan godaan duniawi untuk memperkuat pemahamannya terhadap sesuatu yang sakral. 

Semua tindakan tersebut menegaskan bahwa untuk menjadi dhukun pandita membutuhkan keseriusan laku batin dan laku fisik karena tanggung jawab yang disandang harus mampu menjembatani kehidupan manusia dan kekuatan adikodrati. 

Tanggung jawab ini pula yang menjadikan dhukun pandita menempati posisi istimewa dalam budaya dan masyarakat Tengger.

Disaksikan Koordinator Dhukun Pandita dan para dhukun lain serta ribuan warga masyarakat se-kawasan Tengger, si calon dhukun harus melafalkan mantra Kasada dengan jelas. Setelah ia selesai melafalkan mantra, Koordinator Dhukun Pandita bertanya kepada para dhukun dan warga apakah si calon lulus. 

Kalau sudah dianggap hafal, maka seluruh hadirin akan menjawab "lulus". Kalau belum dianggap hafal dengan lancar, mereka akan menjawab "tidak lulus". 

Koordinator Dhukun Pandita se-Kawasan Tengger, Mujono (alm), memimpin ritual Mulunen pada Kasada 2012.| Dokumentasi penulis
Koordinator Dhukun Pandita se-Kawasan Tengger, Mujono (alm), memimpin ritual Mulunen pada Kasada 2012.| Dokumentasi penulis

Ritual Mulunen menjadi semacam uji kelayakan atau fit and proper test bagi calon dhukun pandita. Bagi mereka yang belum lulus, sangat jarang yang mau mengulangi pada Mulunen tahun berikutnya karena rasa malu. 

Namun, bagi mereka yang kuat secara mental, biasanya akan ikut pada Mulunen pada tahun berikutnya. Ritual ini menegaskan keterbukaan dan kejujuran warga Tengger dalam memandang sesuatu yang sakral.

Salah satu syarat tidak resmi untuk menjadi dhukun pandita yang dianggap keramat oleh masyarakat adalah calon dhukun tidak boleh menyombongkan diri sebelum ritual Mulunen. Sutomo menceritakan:

"Waktu Bapak (Pak Suja'i) masih hidup dan memangku jabatan koordinator dhukun, ada seorang dari Senduro Lumajang, bernama Pak Sarjo yang akan mencalonkan diri menjadi dhukun. Dia itu masih orang dinas. Waktu di rumah, sama Bapak disuruh berlatih, tapi dia bilang, 'Tenang saja Pak, gampang. Saya sudah hafal semua.'

Waktu di tes di rumah Bapak memang lancar, hafal semua mantra Kasada. Nah, waktu di Mulunen di pura lautan pasir, dia hanya bisa bersemedi tanpa bisa ngomong apa-apa...hanya Hong...Hong...hanya itu. 

Pernah juga ada calon dhukun dari Sedaeng, Tosari, Pasuruan. Dia sebenarnya wong sepuh (tokoh masyarakat)jadi sudah biasa dengan mantra-mantra Tengger, namanya, Pak Marji'i. Yang pertama tidak bisa. Terus dikasih kesempatan kedua, lumayan, meskipun masih putus-putus. 

Nah, yang ketiga malah ndak bisa sama sekali. Sampai dia menampar kedua pipinya sendiri berkali-kali. Akhirnya, kedua orang itu tidak pernah lagi mencalonkan diri sebagai dhukun. Malu...malu banget. Ya, itulah, mungkin bumi Tengger ini tidak bisa menerima calon pemimpin yang sebelumnya sudah mempunyai sifat sombong."

Peristiwa-peristiwa di atas menegaskan nalar kosmologis lokal yang meyakini kesucian dan kekuatan dhukun pandita, sehingga mereka tidak diperbolehkan bersikap sombong. 

Wilayah di kawasan Bromo memang sudah menjadi sangat profan saat ini sebagai akibat dibangunnya banyak hotel dengan bermacam aktivitas di dalamnya yang tidak bisa lagi dikontrol oleh otoritas religi maupun pemimpin desa. 

Sebagian besar warga juga sudah terbiasa dengan transaksi pariwisata di mana mereka juga mendapatkan keuntungan finansial, meskipun tidak sebesar para pemilik hotel yang sebagian besar para pendatang dari luar komunitas Tengger. 

Namun, keyakinan masyarakat tentang kesucian wilayah Bromo menjadikan mereka yakin bahwa hal-hal tidak baik yang dilakukan calon dhukun, seperti sikap sombong, akan mendapatkan 'hukuman langsung,' sehingga mereka tidak bisa menjadi dhukun pandita.

Sementara, untuk naik ke jenjang pandita dhukun, para dhukun pandita harus memenuhi beberapa persyaratan yang lebih rumit. 

Pertama, harus hafal seluruh mantra dan hitungan Tengger. 

Kedua, harus mampu memimpin upacara adat beserta pernik sesajen yang dibutuhkan yang merupakan warisan turun-temurun.

Ketiga, harus sudah berumur 70 tahun ke atas. 

Keempat, tidak lagi memikirkan urusan duniawi, termasuk menanam kentang, kubis, wortel, maupun bawang pre yang bernilai ekonomis tinggi. 

Kelima, harus mampu menjaga tingkah-laku dan omongannya karena bernilai sabda.

Koordinator Dhukun Pandita se-Kawasan Tengger, Mujono (alm), menjelaskan mantra. Dokumentasi penulis
Koordinator Dhukun Pandita se-Kawasan Tengger, Mujono (alm), menjelaskan mantra. Dokumentasi penulis
Apa yang menarik dicermati adalah sampai saat ini, belum ada dhukun pandita yang mampu naik ke jenjang pandita dhukun. Secara terus-terang, Mujono (alm) semasa hidupnya mengatakan menyatakan bahwa beratnya syarat yang harus dijalani, khususnya yang berkaitan dengan kemauan untuk melepaskan pesona duniawi, menjadi penyebab utama kondisi tersebut. 

Memang, para dhukun pandita di kawasan Tengger, baik di wilayah Probolinggo, Pasuruan, Malang maupun Lumajang, masih menggantungkan kehidupan mereka dari pertanian sayur-mayur yang bernilai ekonomis tinggi. 

Dari pertanian itulah, mereka, seperti para warga lainnya bisa menikmati pesona modernitas. Tentu hal ini bukan hanya terjadi pada kehidupan para dhukun pandita di Tengger, tetapi juga terjadi pada kehidupan para elit agama lain. 

Apa yang terpenting adalah bahwa di tengah-tengah modernitas tersebut, para dhukun pandita masih terus menggerakkan ajaran leluhur yang diterima secara turun-temurun.

Terus Bergerak di Tengah-tengah Modernitas

Keberadaan para dhukun pandita di kawasan Tengger berkontribusi penting bagi terjaganya ragam budaya Tengger di tengah-tengah arus besar modernitas. Mereka memimpin ritual-ritual yang diwariskan dari nenek moyang, baik ritual yang berkaitan dengan daur hidup maupun ritual besar seperti Kasada. 

Para dhukun pandita selalu mengajarkan dan mengingatkan kepada warga Tengger tentang bermacam ritual dan sesajen yang dibutuhkan. Mereka melakukan dalam pertemuan-pertemuan dengan warga dan kaum muda di pura desa atau balai desa. 

Tujuan utamanya, selalu mengingatkan warga tentang ajaran leluhur yang harus dijalani agar masyarakat Tengger bisa hidup bahagia dan sejahtera, terhindar dari berbagai macam bencana. 

Untuk menjangkau anak-anak dan remaja, para dhukun pandita bersama para guru di sekolah tingkat dasar dan menengah yang ada di kawasan Tengger untuk menyelenggarakan pembelajaran khusus adat-istiadat. 

Program tersebut bertujuan untuk memperkenalkan budaya Tengger sejak usia dini, sehingga anak-anak dan remaja tetap mau mencintai warisan leluhur mereka. 

Tidak lupa, para dhukun pandita dan aparat pemerintah desa melibatkan anak-anak dan kaum muda untuk terlibat dalam setiap acara adat secara langsung dengan tujuan belajar langsung dari pengalaman. 

Mereka diajak mencari tumbuh-tumbuhan untuk sesajen atau melakukan hal-hal lain agar bisa belajar dan membiasakan diri dengan budaya leluhur.

Usaha bersama tersebut tentu sangat penting di tengah-tengah kebiasaan masyarakat Tengger menikmati budaya modern dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya, kemauan generasi muda untuk terus meyakini dan menjalani budaya leluhur akan menjadi kekuatan regeneratif dalam melanjutkan kehidupan di kawasan Bromo. 

Para dhukun pandita juga memastikan bahwa masyarakat Tengger tidak melupakan tradisi religi leluhur meskipun sejak tahun 1970-an mayoritas mereka memeluk Hindu Dharma. Warga Tengger tidak ingin menjadi Hindu seperti warga Bali, karena mereka memiliki karakteristik tersendiri. 

Warga Tengger, misalnya, tidak di-ngaben ketika meninggal dunia. Mereka dimakamkan seperti warga Muslim, tetapi dengan kepala menghadap ke Gunung Bromo. 

Anak-anak Tengger juga dikhitan. Para dhukun pandita mengajak masyarakat Tengger untuk tetap mempertahankan identitas mereka, meskipun pembelajaran agama Hindu berlangsung massif. 

Para dhukun pandita, atau di masa lalu disebut Sang Makedur, merupakan para penjaga adat leluhur yang meskipun tidak memiliki bayaran tetap atau resmi, mereka selalu berusaha memberikan pelayanan terbaik kepada warga masyarakat meskipun mereka seringkali harus menempuh medan yang tidak mudah.

Hong Ulung Basuki Langgeng

Wawancara

Mujono, Dhukun Pandita Ngadas, Sukapura dan Koordinator Dhukun Pandita se-Kawasan Tengger(alm., meninggal pada tahun 2014), 28 Juli 2011.

Sutomo, Dhukun pandita Ngadisari dan Koordinator Dhukun Pandita se-Kawasan Tengger (menggantikan Mujono), 29 Juli 2011.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun