Sementara, untuk naik ke jenjang pandita dhukun, para dhukun pandita harus memenuhi beberapa persyaratan yang lebih rumit.Â
Pertama, harus hafal seluruh mantra dan hitungan Tengger.Â
Kedua, harus mampu memimpin upacara adat beserta pernik sesajen yang dibutuhkan yang merupakan warisan turun-temurun.
Ketiga, harus sudah berumur 70 tahun ke atas.Â
Keempat, tidak lagi memikirkan urusan duniawi, termasuk menanam kentang, kubis, wortel, maupun bawang pre yang bernilai ekonomis tinggi.Â
Kelima, harus mampu menjaga tingkah-laku dan omongannya karena bernilai sabda.
Apa yang menarik dicermati adalah sampai saat ini, belum ada dhukun pandita yang mampu naik ke jenjang pandita dhukun. Secara terus-terang, Mujono (alm) semasa hidupnya mengatakan menyatakan bahwa beratnya syarat yang harus dijalani, khususnya yang berkaitan dengan kemauan untuk melepaskan pesona duniawi, menjadi penyebab utama kondisi tersebut.Â
Memang, para dhukun pandita di kawasan Tengger, baik di wilayah Probolinggo, Pasuruan, Malang maupun Lumajang, masih menggantungkan kehidupan mereka dari pertanian sayur-mayur yang bernilai ekonomis tinggi.Â
Dari pertanian itulah, mereka, seperti para warga lainnya bisa menikmati pesona modernitas. Tentu hal ini bukan hanya terjadi pada kehidupan para dhukun pandita di Tengger, tetapi juga terjadi pada kehidupan para elit agama lain.Â
Apa yang terpenting adalah bahwa di tengah-tengah modernitas tersebut, para dhukun pandita masih terus menggerakkan ajaran leluhur yang diterima secara turun-temurun.
Terus Bergerak di Tengah-tengah Modernitas