Tanggung jawab ini pula yang menjadikan dhukun pandita menempati posisi istimewa dalam budaya dan masyarakat Tengger.
Disaksikan Koordinator Dhukun Pandita dan para dhukun lain serta ribuan warga masyarakat se-kawasan Tengger, si calon dhukun harus melafalkan mantra Kasada dengan jelas. Setelah ia selesai melafalkan mantra, Koordinator Dhukun Pandita bertanya kepada para dhukun dan warga apakah si calon lulus.Â
Kalau sudah dianggap hafal, maka seluruh hadirin akan menjawab "lulus". Kalau belum dianggap hafal dengan lancar, mereka akan menjawab "tidak lulus".Â
Ritual Mulunen menjadi semacam uji kelayakan atau fit and proper test bagi calon dhukun pandita. Bagi mereka yang belum lulus, sangat jarang yang mau mengulangi pada Mulunen tahun berikutnya karena rasa malu.Â
Namun, bagi mereka yang kuat secara mental, biasanya akan ikut pada Mulunen pada tahun berikutnya. Ritual ini menegaskan keterbukaan dan kejujuran warga Tengger dalam memandang sesuatu yang sakral.
Salah satu syarat tidak resmi untuk menjadi dhukun pandita yang dianggap keramat oleh masyarakat adalah calon dhukun tidak boleh menyombongkan diri sebelum ritual Mulunen. Sutomo menceritakan:
"Waktu Bapak (Pak Suja'i) masih hidup dan memangku jabatan koordinator dhukun, ada seorang dari Senduro Lumajang, bernama Pak Sarjo yang akan mencalonkan diri menjadi dhukun. Dia itu masih orang dinas. Waktu di rumah, sama Bapak disuruh berlatih, tapi dia bilang, 'Tenang saja Pak, gampang. Saya sudah hafal semua.'
Waktu di tes di rumah Bapak memang lancar, hafal semua mantra Kasada. Nah, waktu di Mulunen di pura lautan pasir, dia hanya bisa bersemedi tanpa bisa ngomong apa-apa...hanya Hong...Hong...hanya itu.Â
Pernah juga ada calon dhukun dari Sedaeng, Tosari, Pasuruan. Dia sebenarnya wong sepuh (tokoh masyarakat), jadi sudah biasa dengan mantra-mantra Tengger, namanya, Pak Marji'i. Yang pertama tidak bisa. Terus dikasih kesempatan kedua, lumayan, meskipun masih putus-putus.Â
Nah, yang ketiga malah ndak bisa sama sekali. Sampai dia menampar kedua pipinya sendiri berkali-kali. Akhirnya, kedua orang itu tidak pernah lagi mencalonkan diri sebagai dhukun. Malu...malu banget. Ya, itulah, mungkin bumi Tengger ini tidak bisa menerima calon pemimpin yang sebelumnya sudah mempunyai sifat sombong."
Peristiwa-peristiwa di atas menegaskan nalar kosmologis lokal yang meyakini kesucian dan kekuatan dhukun pandita, sehingga mereka tidak diperbolehkan bersikap sombong.Â
Wilayah di kawasan Bromo memang sudah menjadi sangat profan saat ini sebagai akibat dibangunnya banyak hotel dengan bermacam aktivitas di dalamnya yang tidak bisa lagi dikontrol oleh otoritas religi maupun pemimpin desa.Â
Sebagian besar warga juga sudah terbiasa dengan transaksi pariwisata di mana mereka juga mendapatkan keuntungan finansial, meskipun tidak sebesar para pemilik hotel yang sebagian besar para pendatang dari luar komunitas Tengger.Â
Namun, keyakinan masyarakat tentang kesucian wilayah Bromo menjadikan mereka yakin bahwa hal-hal tidak baik yang dilakukan calon dhukun, seperti sikap sombong, akan mendapatkan 'hukuman langsung,' sehingga mereka tidak bisa menjadi dhukun pandita.