Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kisah Pabrik Gula Gunungsari Kencong yang Menunggu Lenyap

28 September 2022   00:08 Diperbarui: 5 April 2024   05:21 3961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu bangunan PG Gunungsari yang masih tampak strukturnya. Dokumentasi pribadi penulis

MENUJU PEDALAMAN TIMUR JAWA

Adalah ambisi besar untuk meniru keberhasilan pabrik gula di Kuba yang mendorong Handels Vereeniging Amsterdam (HVA) membangun kompleks pabrik gula modern di pedalaman Jatiroro, Lumajang, Jawa Timur, pada awal abad ke-20. 

PG Jatiroto sekira tahun 1925. Dokumentasi Wikimedia Commons.
PG Jatiroto sekira tahun 1925. Dokumentasi Wikimedia Commons.

Menurut catatan Knight (2013), keberhasilan pabrik gula di Kuba dalam membuka kawasan pertanian untuk industri yang jauh dari pemukiman penduduk menarik perhatian HVA untuk melakukan hal yang sama di ujung timur Jawa. 

Depo lokomotif di PG Jatiroto sekira tahun 1915. Dokumentasi Wikimedia Commons
Depo lokomotif di PG Jatiroto sekira tahun 1915. Dokumentasi Wikimedia Commons
Tentu bukan pekerjaan mudah untuk membangun kompleks industri gula jauh dari kota Surabaya. Namun, kalkulasi keuntungan yang akan diperoleh dari membuka pabrik gula di wilayah pedalaman mendorong para eksekutif HVA mewujudkan keinginan berani tersebut.

Rumah Administratur PG Gunungsari tahun 1927. Dokumentasi Wikimedia Commons
Rumah Administratur PG Gunungsari tahun 1927. Dokumentasi Wikimedia Commons

Menjauh dari pemukiman penduduk berarti membangun pemukiman baru yang tidak harus beradaptasi atau memerhatikan kepentingan warga yang sudah bermukim lama. Selain itu model tersebut bisa disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan gula, baik dalam hal tata kelola industrial, manajemen staf dan buruh, maupun model pertaniannya agar bisa mendapatkan hasil maksimal.

Tempat baterei ketel PG Gunungsari tahun 1927. Dokumentasi Wikimedia Commons
Tempat baterei ketel PG Gunungsari tahun 1927. Dokumentasi Wikimedia Commons

Dengan dukungan dana besar perbankan, HVA mampu menghadirkan peralatan modern untuk memenuhi kebutuhan produksi gula dalam skala massif guna memenuhi kebutuhna pasar internasional. Selain itu, Pabrik Gula (PG) Jatiroto juga dilengkapi sarana kesehatan dan hiburan untuk para administratur, pegawai, dan pekerja pribumi. 

PG Gunungsari di era kolonial. Dokumentasi Digital Collections Leiden University Libraries
PG Gunungsari di era kolonial. Dokumentasi Digital Collections Leiden University Libraries
Salah satu upaya untuk memperbesar kapasitas produksi adalah membangun tiga pabrik gula penunjang yang berada di timur dan selatan PG Jatirotoyakni PG Gunungsari di Kencong, PG Semboro, dan PG Bedadoeng di Balung. PG Semboro dan PG Gunungsari dibangun pada tahun 1925 dan mulai beroperasi pada tahun 1928. Keduanya sangat mirip sehingga sering disebut "pabrik kembar."

Bagian depan PG Gunungsari pada tahun 1927. Dokumentasi Wikimedia Commons.
Bagian depan PG Gunungsari pada tahun 1927. Dokumentasi Wikimedia Commons.
Sayangnya, akibat krisis ekonomi dunia dan kebijakan ekobomi otoriter pemerintah Belanda sebagai respons terhadap perang di wilayah Hindia-Belanda, pada era 1930-an menyebabkan hancurnya industri gula. Penyusutan lahan tanam tebu dilakukan untuk melakukan penyelamatan. 

Pembangunan stasiun ketel PG Gunungsari tahun 1926. Dokumentasi Wikimedia Commons
Pembangunan stasiun ketel PG Gunungsari tahun 1926. Dokumentasi Wikimedia Commons

PG Gunungsari termasuk yang terdampak secara serius dari kondisi tersebut. Lahannya menyusut menjadi 31 hektar dan hasil panennya digiling di PG Semboro yang masih beroperasi di tengah krisis (Nurcahyo, 2011). Ketika Jepang menduduki Jember, PG Gunungsari dan PG Bedadung tidak lagi bisa beroperasi karena banyak peralatan yang rusak akibat perang (Prakosajaya et al, 2020). 

GEDUNG DAN RERUNTUHAN YANG MENUNGGU LENYAP

Semua kemegahan PG Gunungsari yang hanya beroperasi singkat tersebut, sepertinya akan segera lenyap dari bumi Kencong, Jember. Mengapa? Bekas pabriknya sudah tidak terawat lagi. Mungkin karena sudah tidak dapat beroperasi lagi, maka tidak ada upaya khusus untuk menjaga dan merawatnya sebagai warisan kolonial Belanda. 

Tembok salah satu gudang di PG Gunungsari melapuk. Dokumentasi pribadi penulis
Tembok salah satu gudang di PG Gunungsari melapuk. Dokumentasi pribadi penulis
Perang di zaman Jepang dikatakan menjadi salah penyebab rusaknya area pabrik. Walaupun demikian, tentu tidak semua rusak dan sejatinya masih bisa diperbaiki kalau memang ada niat dan kebijakan yang terarah. Memang bukan untuk kepentingan produksi, tetapi setidaknya bisa digunakan untuk kepentingan lain.

Kalau dijaga dan dirawat secara serius, kawasan pabrik, perkantoran, dan perumahan PG Gunungsari bisa menjadi cagar budaya yang selain bisa dikembangkan untuk wisata edukasi, juga bisa dipromosikan ke Belanda dan Eropa agar keturunan dari pemilik HVA dan staf yang pernah bekerja di sana bisa menengok tempat para leluhur mereka di Hindia Belanda.

Tembok yang 'kehilangan' gudang. Dokumentasi pribadi penulis
Tembok yang 'kehilangan' gudang. Dokumentasi pribadi penulis

Saya membayangkan, seandainya pabrik PG Gunungsari masih terawat dengan baik, para pelajar dan mahasiswa bisa diajak berkeliling untuk menelusuri satu demi satu gedung pabrik dan pemukiman yang pembangunannya menelan biaya sebesar 15.000.000 gulden tersebut . 

Salah satu gudang yang masih relatif bagus, meskipun lapisan dindingnya sudah mulai mengelupas. Dokumentasi pribadi penulis
Salah satu gudang yang masih relatif bagus, meskipun lapisan dindingnya sudah mulai mengelupas. Dokumentasi pribadi penulis

Mereka bisa diajak menelusuri sisi demi sisi yang akan membawa imajinasi ke dalam peristiwa di masa kolonial ketika para tuan Eropa berjas putih memerintahkan buruh pribumi untuk melakukan penggilingan tebu. Termasuk, bagaimana mesin-mesin canggih dan pembangkit listrik untuk keperluan produksi.

Dari dalam salah satu gudang yang 'kehilangan' atap dan bagian lainnya. Dokumentasi pribadi penulis
Dari dalam salah satu gudang yang 'kehilangan' atap dan bagian lainnya. Dokumentasi pribadi penulis
Sayangnya, itu semua tidak terwujud. Tragisnya, kawasan bekas pabrik PG Gunungsari digunakan untuk menimbun "blothong" alias limbah sisa hasil proses produksi gula dari PG Semboro yang sama-sama berada dalam otoritas PTPN XI. Ini tentu sangat menyedihkan. 

Banyak negara di dunia berusaha untuk melindungi gedung-gedung tua peninggalan masa lalu sebagai bukti perkembangan sejarah, budaya, dan peradaban masyarakat. Namun, di Jember, pabrik yang pernah begitu dibanggakan pada masa kolonial sebagai penanda modernitas ujung timur atau pedalaman Jawa, harus dijadikan tempat penimbunan limbah. 

Pilar-pilar yang tersisa dari tempat penampungan ampas. Dokumentasi pribadi penulis
Pilar-pilar yang tersisa dari tempat penampungan ampas. Dokumentasi pribadi penulis

Bisa dikatakan bangunan utama pabrik yang dulu digunakan untuk menghasilkan gula telah hancur. Ditambah lagi, beberapa area di bagian selatan pabrik telah digunakan untuk mendirikan pasar baru Kencong karena pasar yang lama terbakar. Situs warisan kolonial pun beralih fungsi tanpa memperhatikan sejarah panjangnya.

Salah satu gudang yang masih tampak utuh. Dokumentasi pribadi pennulis
Salah satu gudang yang masih tampak utuh. Dokumentasi pribadi pennulis
Untungnya, beberapa struktur penyangga pabrik masih terlihat, seperti gudang, tempat pembuangan ampas tebu, bak pendinginan air, bekas kantor pabrik gula, dan beberapa struktur menyerupai bunker (Prakosajaya et al, 2020). Setidaknya, mereka bisa menjadi penanda historis bahwa kemegahan pabrik yang hanya beroperasi beberapa tahun tersebut pernah benar-benar ada.

Meskipun demikian, kalau melihat kondisi struktur yang masih bisa diidentifikasi tersebut, tidak butuh waktu lama untuk menyusul struktur bangunan lain yang sudah terlebih dahulu rata dengan tanah karena tidak ada perawatan sama sekali. Tanaman paku-pakuan dan merambat serta beberapa jenis pohon tumbuh di dinding gudang sehingga mempercepat pelapukannya. 

Bagian dalam salah satu gudang yang ditumbuhi tumpuhan paku dan tanaman merambat. Dokumentasi pribadi penulis
Bagian dalam salah satu gudang yang ditumbuhi tumpuhan paku dan tanaman merambat. Dokumentasi pribadi penulis

Yang relatif masih bagus kondisinya adalah perumahan untuk staf dan fasilitas untuk pertemuan dan pesta. Rumah para staf berarsitektur Eropa sehingga mereka masih bisa merasakan atmosfer tanah kelahiran di wilayah pedalaman yang sangat jauh dari kota, apalagi dari Belanda. 

Gedung pertemuan para staf Eropa di PG Gunungsari. Dokumentasi pribadi penulis
Gedung pertemuan para staf Eropa di PG Gunungsari. Dokumentasi pribadi penulis

Untuk mereka juga disediakan gedung pertemuan untuk menggelar acara pesta, berdansa, dan menikmati musik. Meskipun jauh dari tanah air, para karyawan Eropa masih bisa bertemu dan merayakan kebahagiaan di gedung tersebut. Sampai sekarang kondisi gedung pertemuan itu masih bisa dikatakan bagus dan lumayan terawat. 

Rumah staf Belanda/Eropa di PG Gunungsari. Dokumentasi pribadi penulis
Rumah staf Belanda/Eropa di PG Gunungsari. Dokumentasi pribadi penulis

Kawasan Kamaran, perumahan untuk buruh pribumi, sampai sekarang masih dihuni, terletak di sisi barat pabrik. Di bagian depan dari kamaran terdapat sebuah bioskop untuk para buruh. Sayangnya, gedung bioskop yang dulu menjadi tempat bagi buruh pribumi mendapatkan hiburan, sudah semakin tidak terurus. 

Gedung bioskop di kawasan Kamaran yang atapnya sudah hilang. Dokumentasi pribadi penulis
Gedung bioskop di kawasan Kamaran yang atapnya sudah hilang. Dokumentasi pribadi penulis
Bagian atasnya sudah hilang dengan kondisi gedung memprihatinnkan. Ini tentu menjadi kerugian yang luar biasa. Bagaimanapun juga, gedung bioskop Gunungsari/Kirana merupakan saksi sejarah perkembangan masyarakat Kencong dan sekitarnya menuju modernitas yang dijanjikan oleh HVA. 

Bioskop di Kamaran tampak dari depan. Dokumentasi pribadi penulis
Bioskop di Kamaran tampak dari depan. Dokumentasi pribadi penulis
Para buruh, setelah mendapatkan bayaran bisa menikmati film atau pertunjukan kesenian yang digelar. Dalam momen itulah mereka bisa terhubung dengan pesona modernitas yang juga dirasakan masyarakat kota di Hindia Belanda dan masyarakat di negara-negara lain. 

Dinding yang masih berdiri tetapi sudah mulai melapuk. Dokumentasi pribadi penulis
Dinding yang masih berdiri tetapi sudah mulai melapuk. Dokumentasi pribadi penulis

Sementara, rumah administratur di selatan jalan raya mulai runtuh. Saat ini halaman luas di depannya digunakan untuk parkir truk-truk besar dari luar kota yang para sopir dan kernetnya butuh istirahat. Bangunan bersejarah tempat tinggal Toean Besar Belanda bersama keluarganya pun perlahan akan lenyap dari pandangan masyarakat. 

Rumah administratur PG Gunungsari. Dokumentasi pribadi penulis
Rumah administratur PG Gunungsari. Dokumentasi pribadi penulis

Kehadiran para pengusaha Belanda di Kencong dan sekitarnya merupakan wujud perjuangan liberalisme di tanah jajahan di mana para pemodal swasta, seperti yang bergabung dalam HVA, menuntut kesempatan untuk berinvenstasi dalam perkebunan, pertanian, dan industri yang menghasilkan produk yang laku di pasar internasional. 

Pintu salah satu gudang yang ditumbuhi tanaman merambat. Dokumentasi pribadi penulis
Pintu salah satu gudang yang ditumbuhi tanaman merambat. Dokumentasi pribadi penulis

Ketika menyusuri satu per satu reruntuhan gudang dan gudang yang masih lumayan bentuknya, imajinasi saya meluncur deras kepada kebahagiaan para pengusaha Eropa ketika mengoperasikan PG Gunungsari untuk pertama kali. Pasti mereka membuat kalkulasi keuntungan untuk membayar pinjaman di bank dan membayar staf dan buruh pribumi. 

Bagian depan gudang yang masih ada kerangka bangunannya. Dokumentasi pribadi penulis
Bagian depan gudang yang masih ada kerangka bangunannya. Dokumentasi pribadi penulis
Saya membayangkan bagaimana para buruh pribumi berjibaku dengan tebu yang disiapkan untuk masuk ke mesin penggilingan demi upah untuk survival. Mereka yang berasal dari luar Jember harus meninggalkan orang tua atau keluarga mereka dan hidup di wilayah Kencong. Tentu semua itu membutuhkan perjuangan yang tidak mudah. 

Salah satu bunker di PG Gunungsari. Dokumentasi pribadi penulis
Salah satu bunker di PG Gunungsari. Dokumentasi pribadi penulis

Suara-suara lori yang datang mengangkut berton-ton tebu menuju kawasan pabrik pasti menghadirkan irama tersendiri, menggenapi semua impian dan harapan para pengusaha Eropa untuk mengeruk keuntungan berlimpah serta keinginan para buruh pribumi untuk merasakan rezeki ekonomi dari upah.

Salah satu sudut gudang dengan cerobong asap. Dokumentasi pribadi penulis
Salah satu sudut gudang dengan cerobong asap. Dokumentasi pribadi penulis

Tidak lupa saya membayangkan bagaimana staf PG Gunnungsari yang berasal dari Eropa tinggal di rumah yang berbeda dari para buruh. Rumah-rumah itu bergaya Eropa dan lebih luas sehingga masih tetap mengikat mereka dengan negeri asal dan segala ingatan akan keluarga, bangsa, dan budaya leluhur. 

Pepohonan tumbuh di dalam gudang. Dokumentasi pribadi penulis
Pepohonan tumbuh di dalam gudang. Dokumentasi pribadi penulis

Sayangnya, semua itu peristiwa historis tersebut akan segera kehilangan sebagian besar penanda fisik. Bangunan-bangunan untuk pengelolaan tebu menjadi gula sebagian besar sudah runtuh dan ada yang rata dengan tanah.

TIDAK SERIUS MENGHARGAI SEJARAH DAN WARISAN MASA LALU

Runtuhnya sebagian besar bangunan pabrik merupakan bukti bahwa pemerintah Indonesia, belum begitu serius menangangi bangunan-bangunan bersejarah warisan kolonial. Memang sudah ada UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, tetapi dalam praktiknya masih banyak ketidakjelasan di tingkat daerah terkait upaya pendataan, perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan bangunan warisan kolonial. 

Bagian luar salah satu gudang yang masih berbentuk utuh, meskipun bagian dalam sudah lapuk. Dokumentasi pribadi penulis
Bagian luar salah satu gudang yang masih berbentuk utuh, meskipun bagian dalam sudah lapuk. Dokumentasi pribadi penulis
Banyak bangunan kolonial di Jember yang sudah berusia lebih dari lima puluh tahun dan berkaitan dengan sejarah perkembangan bangsa sehingga bisa diusulkan sebagai cagar budaya sesuai ketentuan UU tersebut. Sayangnya, di Jember sendiri perhatian terhadap perlunya untuk merawat dan melestarikan bangunan-bangunan penting peninggalan Belanda tidak menjadi perhatian serius. 

Salah satu pintu berkarat dari sebuah gudang. Dokumentasi pribadi penulis
Salah satu pintu berkarat dari sebuah gudang. Dokumentasi pribadi penulis

Sementara, para pemilik atau pengelola bangunan-bangunan kolonial lebih memperhatikan bangunan-bangunan yang masih berfungsi atau digunakan untuk kepentingan mereka. Adapun, bangunan-bangunan yang sudah tidak berfungsi, kebanyakan tidak dirawat, sehingga akhirnya terbengkalai, lapuk, dan lenyap alias rata dengan tanah. 

Tembok yang 'dikuasai' pohon dan akar-akarnya. Dokumentasi pribadi penulis
Tembok yang 'dikuasai' pohon dan akar-akarnya. Dokumentasi pribadi penulis
Padahal dalam UU Cagar Budaya secara gamblang dijelaskan tentang tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta warga masyarakat untuk menjaga, merawat, dan melestarikan benda-benda bersejarah karena penting untuk menelusuri sejarah bangsa ini, selain bisa dimanfaatkan untuk kepentingan wisata edukasi. 

Tumpukan limbah
Tumpukan limbah "blothong" di antara pilar yang tersisa. Dokumentasi pribadi penulis
Yang lebih menyedihkan lagi adalah realitas bahwa kawasan gudang PG Gunungsari dijadikan pembuangan dan penampungan limbah sisa hasil proses produksi gula (blothong) dari PG Semboro. Memang, tindakan tersebut dilakukan karena mereka berada dalam satu manajemen di bawah PTPN XI. 

Bagian depan dinding yang masih utuh, tetapi atapnya sudah hilang. Dokumentasi pribadi penulis
Bagian depan dinding yang masih utuh, tetapi atapnya sudah hilang. Dokumentasi pribadi penulis

Namun, kalau kita berpikir historis, tentu tindakan tersebut bisa dikatakan tidak lagi memedulikan atau menghargai bangunan-bangunan bersejarah yang tentu sangat penting bagi perjalanan bangsa ini, dari era kolonial hingga pascakolonial. Banyak hal yang bisa dipelajari oleh para pelajar, mahasiswa, dan peneliti dari keberadaan bangunan PG Gunungsari.

Pintu gudang yang rusak dan ditumbuhi tanaman merambat. Dokumentasi pribadi penulis
Pintu gudang yang rusak dan ditumbuhi tanaman merambat. Dokumentasi pribadi penulis

Sekali lagi, kalau dibandingkan dengan banyak negara yang ingin melindungi dan melestarikan bangunan-bangunan bersejarah sebagai situs ingatan masa lalu dan atraksi pariwisata untuk menarik kedatangan wisatawan nusantara dan mancenegara, tindakan membuang limbah tersebut bisa dikatakan tidak etis.

Pintu salah satu gudang yang digunakan menyimpan pupuk. Dokumentasi pribadi penulis
Pintu salah satu gudang yang digunakan menyimpan pupuk. Dokumentasi pribadi penulis

Sebagai bangsa yang memiliki perjalanan panjang dari kolonial hingga pascakolonial, lenyapnya banyak benda atau bangunan dari masa kolonial dibiarkan begitu saja, tanpa usaha serius untuk melakukan tindakan konkrit, bisa dibaca sebagai pembiaran oleh pemerintah terhadap hilangnya bukti-bukti sejarah yang berarti pula mengabaikan pula perjalanan panjang bangsa dan negara ini. 

Jalan di kawasan perumahan untuk staf Eropa. Dokumentasi pribadi penulis
Jalan di kawasan perumahan untuk staf Eropa. Dokumentasi pribadi penulis

Maka, rasa-rasanya, harusnya pemerintah ini malu dengan slogan "jangan sekali-kali meninggalkan sejarah" (jasmerah) sebagaimana dikumandangkan Bung Karno. Atau, jangan-jangan bagi pemerintah slogan tersebut hanya menjadi senandung kosong yang dinyanyikan untuk sekedar hiburan di saat lelah? Mari kita menjadi penyaksi yang kritis.

RUJUKAN

Knight, G. Roger.2013. Commodities and Colonialism: The Story of Big Sugar in Indonesia, 1880-1942. Leiden: Brill

Prakosajaya, A.A., Hot Marangkup T.S., dan Ayu Nur W.2020. “Pemilihan Lokasi Pabrik Gula Gunungsari oleh Handelsvereeniging Amsterdam (Hva): Analisis Keruangan Salah Satu "Sister Factory" Pabrik Gula Jatiroto”. Kindai Etam, Vol. 6(2): 113-124.

Nurcahyo, Abraha. 2011. "Tata Kelola Industri Gula di Situbondo Masa Kolonial dan Kebijakan Pergulaan di Masa Kini. Agastya, Vol. 1(2): 174-202.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun