Yang lebih menyedihkan lagi adalah realitas bahwa kawasan gudang PG Gunungsari dijadikan pembuangan dan penampungan limbah sisa hasil proses produksi gula (blothong) dari PG Semboro. Memang, tindakan tersebut dilakukan karena mereka berada dalam satu manajemen di bawah PTPN XI.Â
Namun, kalau kita berpikir historis, tentu tindakan tersebut bisa dikatakan tidak lagi memedulikan atau menghargai bangunan-bangunan bersejarah yang tentu sangat penting bagi perjalanan bangsa ini, dari era kolonial hingga pascakolonial. Banyak hal yang bisa dipelajari oleh para pelajar, mahasiswa, dan peneliti dari keberadaan bangunan PG Gunungsari.
Sekali lagi, kalau dibandingkan dengan banyak negara yang ingin melindungi dan melestarikan bangunan-bangunan bersejarah sebagai situs ingatan masa lalu dan atraksi pariwisata untuk menarik kedatangan wisatawan nusantara dan mancenegara, tindakan membuang limbah tersebut bisa dikatakan tidak etis.
Sebagai bangsa yang memiliki perjalanan panjang dari kolonial hingga pascakolonial, lenyapnya banyak benda atau bangunan dari masa kolonial dibiarkan begitu saja, tanpa usaha serius untuk melakukan tindakan konkrit, bisa dibaca sebagai pembiaran oleh pemerintah terhadap hilangnya bukti-bukti sejarah yang berarti pula mengabaikan pula perjalanan panjang bangsa dan negara ini.Â
Maka, rasa-rasanya, harusnya pemerintah ini malu dengan slogan "jangan sekali-kali meninggalkan sejarah" (jasmerah) sebagaimana dikumandangkan Bung Karno. Atau, jangan-jangan bagi pemerintah slogan tersebut hanya menjadi senandung kosong yang dinyanyikan untuk sekedar hiburan di saat lelah? Mari kita menjadi penyaksi yang kritis.
RUJUKAN
Knight, G. Roger.2013. Commodities and Colonialism: The Story of Big Sugar in Indonesia, 1880-1942. Leiden: Brill