Aku menatap monster-monster yang dilahirkan dari perut-perut manusia rakus. Perlahan, mereka mengunyah hidangan yang dipersembahkan penguasa-penguasa yang tak pernah kenyang. Monster-monster itu dipuja dalam ritual-ritual agung di kamar temaram demi misi penghabisan atas nama pembangunan.Â
Senja berarak awan, bukan tanda kehancuran. Alih-alih, jiwa-jiwa rakus yang disucikan oleh kalimat-kalimat untuk Tuhan, menggema dalam untaian doa yang terus mengalir. Alih-alih, peradaban yang begitu luhur dalam gugusan nalar mengabdi pada persembahan-persembahan yang mengkhianati para leluhur.Â
Para ksatria gagah berani bersemayam dalam cerita demi cerita yang begitu hebat. Perlawanan demi perlawanan adalah masa lalu yang semakin sulit menggetarkan kalbu manusia-manusia yang dijadikan takut. Apakah kita harus membunuh keberanian ketika monster-monster itu semakin leluasa melahap sejengkal demi sejengkal tanah leluhur?Â
Tentu tidak. Ada bentang hijau begitu subur yang mengharuskan kita menyiapkan senyum untuk perjuangan yang masih panjang. Ada anak-anak yang masih ingin menikmati segarnya air dari bumi mereka. Ada orang tua yang masih ingin menyaksikan cucu-cucu mereka mandi dengan berbahagia, tanpa rasa takut air akan menyakiti. Maka, kita tidak boleh diam.Â
Sebanen, Jember, 18 September 2022
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI