Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Dari Bukit Bedegil Aku Menatapmu

22 September 2022   04:05 Diperbarui: 22 September 2022   05:20 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menatap perbukitan kapur dan pabrik semen di Puger dari Bukit Bedegil, Sebanen, Wuluhan. Dok. penulis

SENJA DI HUTAN JATI

Kalau kita berjalan dalam hitungan nominal, ada lelah menyertai setiap langkah, ada takut siap menyergap sejauh pandang. Kalau kita bergerak dalam hitungan angka, ada ketakberdayaan menguat di sepanjang waktu, ada kekalahan memeluk sejauh cerita bisa terucap. Namun, kita berjalan bersama harapan yang selalu dibisikkan tembang bumi: ada cerita mesti dikabarkan bersama senja di hutan jati. 

Hutan jati di bagian bawah Gunung Watangan, Lojejer. Dok. penulis
Hutan jati di bagian bawah Gunung Watangan, Lojejer. Dok. penulis

Batang-batang jati berdiri dalam hitung-hitungan masa depan yang dipertaruhkan dalam lembar demi lembar perjanjian. Ranting-ranting melepas dedaunan demi kehidupan yang mengikuti irama gendang menuju rumah-rumah mewah. Tak ada kemerdekaan untuk perjuangan yang dilalui dari waktu ke waktu. 

Hutan jati menuju Bukit Bedigil. Dok. penulis
Hutan jati menuju Bukit Bedigil. Dok. penulis

Bersama senyum yang kita rangkai dalam degup jantung semakin cepat, tumpukan daun meranggas di atas tanah kering menyenandungkan pengabdian yang terus berlanjut atas nama cinta kepada Republik. Tak ada serapah dalam malam-malam yang mengantarkan mereka kepada orkestra serangga hutan. 

Kita berjalan di hutan jati bersama harapan dari tumpukan-tumpukan daun segera membusuk demi melepaskan kebahagiaan untuk semak-semak dan rerumputan yang terus menawarkan senyum kepada orang-orang dusun. 

Pabrik semen di kawasan Sadeng Puger dilihat dari Bukit Bedegil. Dok. penulis
Pabrik semen di kawasan Sadeng Puger dilihat dari Bukit Bedegil. Dok. penulis

DARI BUKIT BEDEGIL AKU MENATAPMU

Bukan gambar indah yang hendak aku lukis dalam ingatan ketika pada sebuah senja menatapmu dari Bukit Bedegil. Angin samudra yang mecumbu lembut rerantingan savanah menghadapkanku pada kesedihan dari sujud panjang perbukitan kapur. Kesetiaan sepanjang waktu, untuk mereka yang juga berhak hidup, akan segera berakhir. 

Aku menatap monster-monster yang dilahirkan dari perut-perut manusia rakus. Perlahan, mereka mengunyah hidangan yang dipersembahkan penguasa-penguasa yang tak pernah kenyang. Monster-monster itu dipuja dalam ritual-ritual agung di kamar temaram demi misi penghabisan atas nama pembangunan. 

Pohon meranggas di Bukit Bedegil. Dok. penulis
Pohon meranggas di Bukit Bedegil. Dok. penulis

Senja berarak awan, bukan tanda kehancuran. Alih-alih, jiwa-jiwa rakus yang disucikan oleh kalimat-kalimat untuk Tuhan, menggema dalam untaian doa yang terus mengalir. Alih-alih, peradaban yang begitu luhur dalam gugusan nalar mengabdi pada persembahan-persembahan yang mengkhianati para leluhur. 

Para ksatria gagah berani bersemayam dalam cerita demi cerita yang begitu hebat. Perlawanan demi perlawanan adalah masa lalu yang semakin sulit menggetarkan kalbu manusia-manusia yang dijadikan takut. Apakah kita harus membunuh keberanian ketika monster-monster itu semakin leluasa melahap sejengkal demi sejengkal tanah leluhur? 

Lahan pertanian dan perbukitan dilihat dari atas Bukit Bedegil. Dok. penulis
Lahan pertanian dan perbukitan dilihat dari atas Bukit Bedegil. Dok. penulis

Tentu tidak. Ada bentang hijau begitu subur yang mengharuskan kita menyiapkan senyum untuk perjuangan yang masih panjang. Ada anak-anak yang masih ingin menikmati segarnya air dari bumi mereka. Ada orang tua yang masih ingin menyaksikan cucu-cucu mereka mandi dengan berbahagia, tanpa rasa takut air akan menyakiti. Maka, kita tidak boleh diam. 

Sebanen, Jember, 18 September 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun