SENJA DI HUTAN JATI
Kalau kita berjalan dalam hitungan nominal, ada lelah menyertai setiap langkah, ada takut siap menyergap sejauh pandang. Kalau kita bergerak dalam hitungan angka, ada ketakberdayaan menguat di sepanjang waktu, ada kekalahan memeluk sejauh cerita bisa terucap. Namun, kita berjalan bersama harapan yang selalu dibisikkan tembang bumi: ada cerita mesti dikabarkan bersama senja di hutan jati.Â
Batang-batang jati berdiri dalam hitung-hitungan masa depan yang dipertaruhkan dalam lembar demi lembar perjanjian. Ranting-ranting melepas dedaunan demi kehidupan yang mengikuti irama gendang menuju rumah-rumah mewah. Tak ada kemerdekaan untuk perjuangan yang dilalui dari waktu ke waktu.Â
Bersama senyum yang kita rangkai dalam degup jantung semakin cepat, tumpukan daun meranggas di atas tanah kering menyenandungkan pengabdian yang terus berlanjut atas nama cinta kepada Republik. Tak ada serapah dalam malam-malam yang mengantarkan mereka kepada orkestra serangga hutan.Â
Kita berjalan di hutan jati bersama harapan dari tumpukan-tumpukan daun segera membusuk demi melepaskan kebahagiaan untuk semak-semak dan rerumputan yang terus menawarkan senyum kepada orang-orang dusun.Â
DARI BUKIT BEDEGIL AKU MENATAPMU
Bukan gambar indah yang hendak aku lukis dalam ingatan ketika pada sebuah senja menatapmu dari Bukit Bedegil. Angin samudra yang mecumbu lembut rerantingan savanah menghadapkanku pada kesedihan dari sujud panjang perbukitan kapur. Kesetiaan sepanjang waktu, untuk mereka yang juga berhak hidup, akan segera berakhir.Â
Aku menatap monster-monster yang dilahirkan dari perut-perut manusia rakus. Perlahan, mereka mengunyah hidangan yang dipersembahkan penguasa-penguasa yang tak pernah kenyang. Monster-monster itu dipuja dalam ritual-ritual agung di kamar temaram demi misi penghabisan atas nama pembangunan.Â
Senja berarak awan, bukan tanda kehancuran. Alih-alih, jiwa-jiwa rakus yang disucikan oleh kalimat-kalimat untuk Tuhan, menggema dalam untaian doa yang terus mengalir. Alih-alih, peradaban yang begitu luhur dalam gugusan nalar mengabdi pada persembahan-persembahan yang mengkhianati para leluhur.Â
Para ksatria gagah berani bersemayam dalam cerita demi cerita yang begitu hebat. Perlawanan demi perlawanan adalah masa lalu yang semakin sulit menggetarkan kalbu manusia-manusia yang dijadikan takut. Apakah kita harus membunuh keberanian ketika monster-monster itu semakin leluasa melahap sejengkal demi sejengkal tanah leluhur?Â
Tentu tidak. Ada bentang hijau begitu subur yang mengharuskan kita menyiapkan senyum untuk perjuangan yang masih panjang. Ada anak-anak yang masih ingin menikmati segarnya air dari bumi mereka. Ada orang tua yang masih ingin menyaksikan cucu-cucu mereka mandi dengan berbahagia, tanpa rasa takut air akan menyakiti. Maka, kita tidak boleh diam.Â
Sebanen, Jember, 18 September 2022
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI