Selain itu, para penggiat juga harus mendapatkan dukungan publik dari tokoh adat dan warga masyarakat, kalau tokoh dan warga etnis lain, sehingga sebagai sebuah gerakan, keinginan untuk memiliki Perda tersebut bisa menjadi pandangan dunia kolektif.Â
Kesamaan pandangan memang bukan persoalan mudah melihat realitas keragaman yang ada di masyarakat adat itu sendiri. Namun, itu bukan tidak mungkin ketika apa yang diwacanakan adalah kepentingan urgen untuk memperkuat eksistensi komunal.
Keempat, dimensi pemetaan strategis yang harus dilakukan untuk meneliti, mengkaji, dan menetapkan hak-hak adat seperti apakah yang masih bisa diperjuangkan untuk masyarakat adat di sebuah daerah. Tentu saja, kawan-kawan penggiat adat lebih paham dari saya terkait persoalan tersebut.Â
Apa yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah pemetaan akan menghasilkan rekomendasi strategis terkait hak-hak dan juga komunitas-komunitas lokal di sebuah daerah yang bisa menjadi bagian masyarakat adat yang hak-hak mereka perlu diperjuangkan.Â
Meskipun masing-masing komunitas memiliki partikularitas, mereka juga memiliki kesamaan-kesamaan yang bisa diidentifikasi sebagai bagian dari masyarakat adat tertentu. Â
Hal ini perlu dilakukan agar tidak memunculkan kesan dominasi masyarakat dari beberapa desa tertentu yang layak diposisikan sebagai bagian masyarakat adat. Pembesaran kesan tersebut bisa menjadi 'energi negatif' yang bersifat kontra-produktif bagi setiap usaha para penggiat untuk mengajukan Perda.
BERPIKIR DAN BERTINDAK STRATEGIS: CATATAN PENUTUPÂ
Berkaitan dengan semua usaha dan perjuangan untuk melahirkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat, saya jadi ingat sebah konsep yang ditawarkan Gayatri C. Spivak, salah satu pemikir kritis dari India.Â
Spivak, dalam kajiannya tentang subjektivitas gender yang dikonstruksi dalam masyarakat, menjelaskan bahwa meskipun bersifat esensial, subjektivitas tersebut bisa dimanfaatkan untuk memperkuat komitmen, solidaritas, dan kekuatan komunal untuk melawan kekuatan-kekuatan dominan yang hendak melakukan opresi (Morton, 2007: 126).Â
Pemikiran itulah yang dikenal dengan esensialisme strategis, artinya kelompok yang didefinisikan secara esensial seperti perempuan, komunitas adat, komunitas diaspora, dan yang lain, bisa menggunakan kesamaan karakteristik dan identitas kultural untuk melakukan tindakan dan gerakan strategis guna memberdayakan kehidupan mereka, termasuk melawan kekuatan-kekuatan dominan yang berpotensi merugikan dan mengeksploitasi mereka secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Esensialisme strategis, menurut saya, bisa diadopsi untuk mengerangkai gerakan para penggiat adat di daerah, termasuk dalam memperjuangkan Perda. Adalah kenyataan bahwa tidak mungkin lagi kita mengatakan budaya Osing sebagai budaya yang murni seperti dipraktikkan para leluhur. Mengapa demikian?Â