Kedua, perlindungan terhadap perempuan adat.Â
Ketiga, pengakuan terhadap keberadaan masyaraka adat dan wilayahnya, juga hak-hak lainnya semestinya tak perlu menanti terbitnya Peraturan Daerah, tetapi harus dipermudah untuk mendorong perlindungan terhadap masyarakat adat; dan, (4) perlunya data terpilah berdasar etnis dan jenis kelamin, sehingga identifikasi eksistensi masyarakat adat menjadi jelas.
Lebih jauh lagi, Kartodiharjo (2020) mengidentifikasi lima risiko yang harus diperbaiki dalam draft UU Masyarakat Hukum Adat.Â
Pertama, penetapan masyarakat adat yang memakai cara yang sama dengan perizinan penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak menyelesaikan wilayah adat di area izin bisa memunculkan konflik penggunaan ruang hidup.Â
Kedua, mekanisme tersebut bukan hanya berpotensi memunculkan ketidakberesean tata kelola, tetapi juga berpengaruh terhadap kinerja panitia masyarakat hukum adat. Panitia berpotensi membatasi inisiatif warga melakukan identifikasi masyarakat adat.Â
Ketiga, sentralisasi dan rumitnya rantai birokrasi menempatkan masyarakat adat sebagai subjek tanpa menimbang wilayah adat sebagai objek.Â
Keempat, bisa terjadi konflik norma karena bunyi RUU tidak sejalan dengan kondisi di lapangan. Misalnya, untuk wilayah-wilayah tertentu, penetapan batas wilayah adat justru menjadi penyebab konflik antarmasyarakat adat. Karena itu keberadaan masyarakat tak perlu ditetapkan. Mereka bisa mendeklarasikan diri begitu identifikasi selesai. Negara hanya perlu mengatur hak-haknya saja.Â
Kelima, risiko konflik aturan. RUU Masyarakat Adat masih belum menghadirkan kesatuan cara bagaimana penetapan masyarakat adat. Tidak ada pengaturan, misalnya, terkait penetapan suatu masyarakat adat oleh undang-udang lain yang selama ini telah berjalan.Â
Tentu saja, kita boleh menduga secara kritis bahwa ada banyak hal yang ditimbang-ulang oleh pemerintah dan DPR, khususnya terkait untung-rugi ketika RUU itu disahkan menjadi UU.Â
Aspek ekonomi terkait investasi pertambangan dan perkebunan di wilayah yang dihuni atau dekat dengan komunitas masyarakat adat, misalnya, bisa menjadi reasoning untuk tidak terburu-buru mengesahkan RUU ini.Â
Tuntutan agar pemerintah melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya, hak atas status kewarganegaraan, hak atas penyelenggaraan pemerintahan, hak atas identitas budaya dan spiritualitasnya, hak atas pembangunan, hak atas lingkungan, hak atas persetujuan dini tanpa paksaan, serta hak-hak perempuan adat, memang sangat mendesak.Â