Persoalan ini memang bersifat kompleks karena proses historis dari era kolonial hingga saat ini berkontribusi menjadikan masyarakat Banyuwangi dan banyak masyarakat di kabupaten lain bersifat plural dan sesuai dengan konstitusi, semua warga memang harus mendapatkan kedudukan setara.Â
Walaupun demikian, tuntutan PD AMAN Osing juga bisa dipahami sebagai penegasan atas hak-hak yang semestinya diakui dan dilindungi, apalagi kontribusi masyarakat Osing yang cukup besar dalam mewarnai dan mendinamisasi budaya Banyuwangi.
Berkaca dari permasalahan tersebut, terdapat beberapa dimensi yang menurut saya perlu didiskusikan ataupun dijadikan bahan refleksi oleh para penggiat adat terkait keinginan untuk hadirnya Peraturan Daerah Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat.Â
Pertama, dimensi kesetaraan yang menempatkan perjuangan untuk pengakuan hak-hak adat tidak dalam posisi eksklusif dan me-liyan-kan masyarakat adat lain. Meskipun komunitas adat lain belum memiliki lembaga khusus, tetapi kehadiran dan keberadaan mereka juga perlu diposisikan setara.Â
Artinya, dalam wacana publik yang dikembangkan oleh penggiat adat, keinginan untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak-hak adat harus disuarakan dalam prinsip kesetaraan, sehingga tidak memunculkan resistensi dari pihak-pihak tertentu yang merasa di-liyan-kan.
Kedua, dimensi diskursif dan praksis yang menempatkan pengayaan konstruksi pengetahuan dan praktik adat sebagai kekuatan strategis untuk melakukan negosiasi dengan pemerintah. Saya sangat senang karena para penggiat di banyak daerah sudah memiliki kesadaran diskursif untuk mencatat dan menyebarkan keragaman pengetahuan adat di masyarakat, baik terkait ritual, kesenian, kuliner, dan yang lain.Â
Artinya, para penggiat berani menjawab tantangan zaman, bahwa generasi muda harus berperan aktif dalam menegosiasikan dan menyebarkan kekayaan identitas mereka di tengah-tengah arus besar globalisasi. Yang juga cukup membanggakan, generasi muda terlibat langsung dalam regenerasi adat, baik melalui pelatihan, pertunjukan, maupun edukasi.Â
Selain itu, jejaring di tingkat nasional dan internasional perlu diperkuat untuk menempatkan aktivitas para peggiat adat dalam gerakan bersama untuk mendapatkan masukan, pengetahuan, dan pengalaman strategis yang bisa memperbesar dan memperkuat gerakan di tingkat lokal.Â
Dimensi diskursif dan praksis merupakan modal kultural sekaligus politis untuk menegaskan bahwa keinginan untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak adat bukanlah sesuatu yang tiba-tiba, tetapi karena ada aktivitas-aktivita nyata di tengah-tengah masyarakat. Â
Ketiga, dimensi negosiasi yang menuntut kemampuan untuk meyakinkan pihak-pihak terkait, seperti pemkab dan DPRD, tentang urgensi Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat. Ini bukanlah persoalan mudah. Para penggiat adat harus bisa menemukan formula jitu untuk membuat mereka benar-benar paham bahwa semua kekayaan budaya lokal.Â