Selama puluhan tahun pascakemerdekaan, khususnya selama rezim Orde Baru berkuasa, masyarakat adat dikalahkan oleh Negara atas nama investasi dan pembangunan yang memaksa, menindas, dan merampas hak-hak ekonomi, sosial, politik, dan budaya mereka (Henley & Davidson, 2010: 13-18).Â
Bagaimanapun juga, sampai saat ini, Negara tetaplah Negara yang memiliki kehendak dan kebijakan yang seringkali berbeda dengan kehendak dan kebajikan masyarakat adat.Â
Pemenuhan hak atas pengelolaan wilayah dan lingkungan yang memungkinkan masyarakat adat menolak proyek dan investasi yang mengancam kelestarian ekologis dan ruang hidup mereka, misalnya, jelas dianggap mengganggu bermacam proyek investasi di bidang pertambangan, perkebunan, kelautan, pariwisata dan yang lain.
Tentu, saya tidak bermaksud mengendurkan keinginan kawan-kawan penggiat adat untuk mengusulkan Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat di daerah. Namun, menyadari potensi permasalahan dan tantangan sejak dini memungkinkan kawan-kawan bisa berpikir dan bertindak secara kritis, konstruktif, dan komprehensif dalam menghadapi kehendak dan kuasa Negara.Â
Kita tentu harus belajar dari molornya pengesahan RUU Masyarakat Adat ketika hendak memperjuangkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat . Hal-hal bersifat administratif-politis yang bisa dimainkan oleh rezim pemerintah tentu harus diwaspadai.Â
Para penggiat adat harus lebih kritis dalam memahami hak-hak seperti apakah yang bisa diselaraskan dengan kepentingan masyarakat adat secara nasional dan internasional, khususnya yang berkaitan dengan dengan ketidakadilan dan eksploitasi ruang hidup, krisis ekologis dan iklim, dan pemberdayaan budaya lokal.Â
Selain itu, para penggiat adat harus memahami posisi masyarakat dan budaya dalam konstalasi kebijakan pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten di bawah rezim penguasa, khususnya bagaimana mereka menginkoporasi dan mentransformasi kekayaan adat ke dalam beragam even budaya (Setiawan, Tallapessy, Subaharianto, 2017a, 2017b; Setiawan & Subaharianto, 2020a, 2020b) serta eksploitasi ruang hidup untuk kepentingan pengembangan resort, pertambangan, dan yang lain.Â
Bagaimanapun juga, memperjuangkan hak-hak masyarakat adat bukanlah praktik di ruang kosong dan beku, sehingga konteks kebijakan rezim dan kemungkinan keberlanjutannya di era kepemimpinan berikutnya perlu dibaca karena implikasi ekonomi, sosial, politik dan budaya yang akan mempengaruhi perjuangan masyarakat adat. Â
HAK-HAK MASYARAKAT ADAT & KONTEKSTUALISASINYAÂ
Sebagaimana saya singgung di atas, para penggiat adat memandang bahwa Negara harus mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya, hak atas status kewarganegaraan, hak atas penyelenggaraan pemerintahan, hak atas identitas budaya dan spiritualitasnya, hak atas pembangunan, hak atas lingkungan, hak atas persetujuan dini tanpa paksaan, serta hak-hak perempuan adat.Â