Bagaimana dengan pembelajaran ritual dan adat-istiadat, regenerasi kesenian rakyat, perawatan makam leluhur, transfer pengetahuan pertanian, batik, dan arsitektur lokal, pengenalan etnofarmasi, Â dan, secara umum, keberlanjutan budaya mereka? Apakah hanya akan menjadi "perayaan penanda ketradisionalan" dalam gemerlap industri pariwisata?
Selama melakukan penelitian di beberapa daerah, saya menjumpai banyak seniman, tokoh adat, dan warga yang benar-benar mendedikasikan pikiran dan perjuangan mereka untuk menjadikan adat dan budaya lokal tetap ada dalam kehidupan masa kini.Â
Kawan-kawan muda penggiat adat juga melakukan pendidikan adat-istiadat, regenerasi kesenian berbasis religi, dan aktivitas-aktivitas lain yang cukup strategis untuk pengembangan adat.Â
Selain itu, saya juga berdiskusi dengan para pejuang ekologis yang berani bersuara dan bergerak untuk mengadvokasi komunitas warga yang dirugikan oleh kebijakan Negara dan kehadiran investasi yang berpotensi merusak lingkungan dan ruang hidup.Â
Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dibutuhkan, karena semua proses di tengah-tengah masyarakat membutuhkan jaminan konstitusional agar memudahkan tindakan strategis dan operasional.Â
Bagaimanapun juga, masyarakat adat telah, sedang, dan akan berkontribusi kepada pengembangan budaya lokal di daerah. Bermacam atraksi seni pertunjukan, tembang, dan ritual menjadi kekayaan dan karakteristik lokal yang tidak hanya menyemaikan dan menyuburkan identitas, tetapi juga menjadi kekuatan diplomasi untuk mengurangi stigmatisasi terhadap masyarakat adat. Â
Sebagai tambahan, sebagaimana keinginan para penggiat adat di tingkat nasional, hak perempuan, anak-anak, dan para penyandang disabilitas di wilayah adat juga harus dihormati dan difasilitasi agar mendapatkan kesetaraan. Saya meyakini, masyarakat lokal memiliki mekanisme adat untuk menjamin persoalan tersebut.Â
Namun, tidak menutup kemungkinan masih berkembangnya stigmatisasi dan marjinalisasi terhadap eksistensi mereka. Itulah mengapa jaminan pengakuan dan perlindungan dibutuhkan, karena kerja-kerja advokasi terhadap para perempuan, anak-anak, dan para penyandang disabilitas seringkali berhadapan dengan permasalahan kompleks. Â
BEBERAPA DIMENSI YANG (MUNGKIN) PERLU DIPERTIMBANGKANÂ
Tahun 2017, DPRD dan Pemkab Banyuwangi mengesahkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 14 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Adat Istiadat di Banyuwangi. Perda ini memfokuskan kepada usaha-usaha pelestarian, pengembangan dan pemajuan budaya lokal yang ada di Banyuwangi, tidak secara spesifik berbicara budaya Osing.
Porsi terkait Osing lebih banyak ditekankan kepada usaha pelestarian sastra dan bahasa. Tidak mengherankan kalau Pengurus Daerah Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara (PD AMAN) Osing sejak awal menyatakan menolak rancangan Perda tersebut, karena tidak secara spesifik mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat Osing (Wiyana, 2016). Keragaman budaya dan etnisitas di Banyuwangi menjadi alasan DPRD untuk membuat Perda yang tidak mengkhususkan kepada masyarakat dan budaya Osing.Â