Proses kolonial dan pascakolonialitas telah mempertemukan masyarakat pribumi di Banyuwangi dengan bermacam elemen budaya modern dan budaya etnis lain. Hibriditas kultural adalah realitas yang sekaligus menjadi strategis subjektivitas masyarakat lokal, di mana mereka mengapropriasi pengaruh budaya dominan sembari terus menegosiasikan budaya warisan leluhur (Setiawan & Subaharianto, 2016; Setiawan, 2020).Â
Meskipun demikian, dalam ruang dan praktik hibrid tersebut, terdapat kesempatan untuk terus menegosiasikan kekuatan kultural warisan leluhur di tengah-tengah modernitas ataupun pengaruh budaya lain.Â
Kesempatan itulah yang bisa digunakan untuk terus mewacanakan dan mempraktikkan budaya lokal secara esensial, tetapi bukan untuk kepentingan romantik (memosisikan sebuah masyarakat ataupun budaya yang tidak berubah).Â
Penguatan-penguatan strategis di ruang lokal bisa digunakan untuk mengembangkan dan memajukan adat dan budaya lokal sehingga bisa berdampak positif untuk persoalan-persoalan lain. Pemanfaatan teknologi new media seperti Youtube, Facebook, Instagram, dan yang lain tentu akan cukup membantu dalam perluasan gerakan adat.
Ketika Pemkab memasarkan bermacam keunikan lokal dalam bingkai festival dan karnaval, diakui atau tidak, suka atau tidak, ada bermacam nilai dan pengetahuan adat yang digeser demi memenuhi formula yang disukai pasar. Sekuat apapun Negara berargumen bahwa itu semua dilakukan untuk melestarikan budaya lokal, sejatinya itu semua ditujukan untuk meredam kritik dan resistensi.Â
Tujuannya jelas, investasi besar di sektor pariwisata yang selain memberikan keuntungan ekonomi juga politik. Dalam menyikapi konteks demikian, para penggiat adat bisa memanfaatkan kerangka esensialisme strategis adat untuk menegaskan bahwa ada ruang dan praktik komunal yang juga harus dipertahankan demi menjaga identitas adat yang memperkuat budaya lokal.Â
Kemungkinkan berbeda pandangan dengan pemerintah daerah merupakan hal yang wajar karena perbedaan ruang dan dimensi kepentingan. Sejatinya, apa-apa yang sudah dilakukan oleh para pejuang adat dengan pelatihan dan pembelajaran adat, sesederhana apapun merupakan perwujuan esensialisme strategis yang bisa terus dikembangkan sebagai gerakan yang lebih massif.Â
Kalaupun harus terlibat dalam aktivitas pariwisata, maka masyarakat harus menjadi subjek yang berhak memberdayakan dan mengelola budaya mereka, tanpa harus membiarkan substansi pengetahunnya menguap.
Apa yang tidak kalah pentingnya adalah membawa pikiran dan tindakan strategsi berbasis ke-adat-an untuk terlibat dalam isu-isu ekploitasi kawasan dan lingkungan. Sebagaimana saya singgung di atas, masyarakat adat memiliki hak eksklusif untuk mengelola, memanfaatkan, dan mengkonservasi tanah dan wilayah untuk kepentingan mereka.Â
Sekali lagi, mungkin akan ada sanggahan bahwa di beberapa kabupaten terentu, masyarakat tidak ada kawasan hutan ulayat. Namun, eksploitasi kawasan lokal untuk kepentingan pertambangan, perkebunan, dan resort wisata, misalnya, bisa berdampak pada rusaknya ekosistem yang menyebabkan bencana dan mengancam eksistensi masyarakat dan adat.Â
Edukasi terhadap warga tentang pentingnya untuk tidak menjual lahan produktif mereka kepada investor juga perlu dilakukan karena hal itu penting untuk menjaga akses ekonomi dan budaya masyarakat. Maka, mobilisasi ke-adat-an untuk memperkuat solidaritas komunal bisa bermanfaat untuk kepentingan ekologis dan ekonomi yang memberikan keuntungan kepada masyarakat.Â