Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyoal Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat

29 Juli 2022   04:00 Diperbarui: 29 Juli 2022   19:44 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ritual Seren Taun masyarakat Sunda. Dok. infobudaya.net

(e) segala bentuk propaganda yang dirancang untuk mempromosikan atau menghasut diskriminasi ras atau etnis yang ditujukan kepada mereka. 

Bahkan, tindakan relokasi oleh Negara harus tetap mendapatkan persetujuan terlebih dahulu oleh masyarakat adat yang dilakukan tanpa ancaman (bebas) setelah mereka mendapatkan penjelasan secara menyeluruh dan setelah mendapatkan kompensasi yang adil. 

Suku Dayak. (SHUTTERSTOCK/Akmal Luthfi M)
Suku Dayak. (SHUTTERSTOCK/Akmal Luthfi M)

Hal itu berkaitan dengan hak mendasar masyarakat adat untuk mengelola tanah, wilayah, dan sumberdaya secara tradisional serta menkonservasinya di mana Negara diwajibkan untuk memberikan dan memastikan perlindungan hukum.  

Saat ini, memang tidak ada lagi genosida, namun perampasan lahan, pemindahan secara paksa, atau pemaksaan asimilasi yang bisa merusak budaya tidak jarang terjai, sehingga memunculkan perjuangan masyarakat adat untuk melawan kekuatan-kekuatan otoriter yang menindas. 

Meskipun demikian, kehadiran UU Cipta Kerja bisa mengancam hak-hak dan kehidupan masyarakat adat, khususnya terkait potensi perampasan lahan, pengabaian hak ulayat, dan terganggunya ruang hidup karena kerusakan lingkungan.  

Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN, mengatakan bahwa UU Cipta Kerja sebagian besar berkaitan dengan investasi dan nyaris tak memberikan apapun untuk melindungi tanah milik masyarakat adat. UU ini juga diyakini mempermudah perusahan untuk merampas lahan warga adat. 

Menurut Andreas Harsono, peneliti senior Human Rights Watch, UU ini akan merampas hak-hak masyarakat adat (Sumber). Laksanto Utomo, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) mengidentifikasi bahaya berupa rusaknya lingkungan karena melunaknya persyaratan AMDAL untuk pembukaan usaha, termasuk di kawasan adat. 

Selain itu, masyarakat juga terancam karena hak ulayat semakin diabaikan ketika investasi membutuhkan lahan hutan yang selama ini dikelola warga (gatra.com).    

Memang, terdapat masyarakat adat yang tidak memiliki hak ulayat, seperti masyarakat adat Osing di Banyuwangi. Namun, itu bukan berarti keberadaan mereka aman dari ancaman, khususnya yang lahir dari investasi yang berpotensi mengganggu dan menggusur ruang hidup warga. 

Di Banyuwangi, kita tidak boleh lupa perjuangan yang dilakukan warga di kawasan Tumpang Pitu, Wongsorejo, Songgon, dan Pakel. Perjuangan mereka tumbuh dari hadirnya ancaman akan keberlangsungan hidup dan keberlanjutan ekologis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun