Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kawah Wurung Bondowoso di Sebuah Senja

23 Juli 2022   12:35 Diperbarui: 23 Juli 2022   16:50 1366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menuruni Tangga menikmati hamparan rumput dan pegunungan. Dok. penulis

Senin, 18 Juli 2022, sekira pukul 14.00 WIB, saya dan dua kawan dosen dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember meluncur dari Kota Tape, Bondowoso, menuju Kawah Wurung, di kawasan pegunungan Ijen. Untuk menuju destinasi pariwisata yang tengah diusulkan menjadi Geopark Global UNESCO tersebut, kami bertiga menggunakan mobil. 

Tidak sulit mencari jalan menuju Kawah Wurung karena di sepanjang jalan dari Bondowoso ke arah timur, kita dengan mudah menemukan papan penunjuk jalan menuju destinasi pariwisata tersebut. Dari arah Bondowoso, sampai pertigaan Wonosari, kita belok kanan, mengikuti penunjuk jalan sampai di Kawah Wurung. 

Kawah Wurung. Dok. penulis
Kawah Wurung. Dok. penulis

Kualitas aspal jalan di tengah-tengah hutan pinus, hutan hujan tropis dan perkebunan kopi Arabica bisa dibilang cukup baik. Bergantian, sepanjang perjalanan mata kami dimanjakan oleh barisan pinus yang menebarkan aroma cukup khas. Batang-batang pohon endemik di kaki Ijen seperti mengabarkan masih adanya ekosistem tempat bermacam makhluk hidup melanjutkan cerita. Pohon kopi Arabica dengan buah merah ranum terhampar begitu indah.

Dengan kualitas pemandangan tersebut, perjalanan 1,5 jam dari jalan utama Bondowoso-Situbondo, tepatnya di pertigaan Wonosari, menuju Kawah Wurung tidak terasa begitu lama karena mata dimanjakan oleh lanskap hutan dan perkebunan. Rasa bahagia karena masih bisa menikmati pemandangan yang sangat indah bisa jadi menjadikan perjalanan tidak menjadi beban. 

Kawah Wurung. Dok. penulis
Kawah Wurung. Dok. penulis

Jalan pegunungan yang menanjak dan banyak kelokan (tikungan) menghadirkan sensasi tersendiri yang akan selalu kita ingat. Meskipun demikian, kendaraan, baik mobil ataupun motor, harus benar-benar fit, karena jalan yang kita lewati jauh dari kota dan jarang terdapat reparasi motor atau mobil.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur menjadikan Kawah Wurung sebagai salah satu daya tarik wisata provinsi (DTWP) selain Kawah Ijen.  Apalagi, Kawah Wurung dan Kawah Gunung Ijen jaraknya tidak terlalu jauh. Kawah Wurung berada di bawah Kawah Gunung Ijen kalau kita menempuh perjalanan dari Bondowoso, sekira 30 menit dengan sepeda motor atau mobil. 

Kawah Wurung. Dok. penulis
Kawah Wurung. Dok. penulis

Namun, kalau kita lewat jalur Licin Banyuwangi, untuk ke Kawah Wurung kita harus melewati Paltuding, pintu masuk ke Kawah Ijen. Dari arah Banyuwangi, sebelum Paltuding, terdapat beberapa titik kerusakan jalan yang menuntut kehati-hatian pengendara mobil atau motor.

Hamparan rumput yang agak mengering karena kemarau menyergap pandangan mata kami setelah membayar biaya tiket masuk sebesar Rp. 5.000 per orang. Hamparan savannah tersebut mendominasi lanskap di sekitar Kawah Wurung. Di dekat pintu masuk terdapat Tourism Information Center yang disiapkan untuk memberikan informasi kepada para wisatawan, baik Nusantara maupun mancanegara. 

Kawah Wurung. Dok. penulis
Kawah Wurung. Dok. penulis

Lazimnya, kawah, kita pasti akan berpikir tentang proses vulkanologis yang mengeluarkan cairan, asap, hawa panas, dan bau mineral tertentu. Namun, ketika kata "wurung" ditambahkan setelah kata "kawah," pemaknaan berbeda pun hadir. "Wurung" dalam bahasa Jawa ataupun bahasa Using (Banyuwangi) bermakna "batal" atau "tidak jadi." Maka, Kawah Wurung bisa dimaknai "kawah yang batal untuk terus menjadi kawah" atau "kawah yang sudah tidak aktif lagi secara vulkanologis."

Ketika tidak lagi menjadi kawah aktif, maka Kawah Wurung yang berada di Desa Jampit, Kecamatan Ijen (dulu Kecamatan Sempol), Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur ini menghadirkan keindahan yang begitu menakjubkan. Bentang savannah yang begitu luas. Keindahan itulah yang mendorong banyak wisatawan berkunjung, khusus di akhir pekan.

Kawah Wurung. Dok. penulis
Kawah Wurung. Dok. penulis

Untuk mencapai bisa menikmati hamparan savannah nan indah, saya dan kedua kawan harus naik tangga buatan yang sudah disiapkan. Keberadaan lebih dari seratus anak tangga yang terbuat dari bahan campuran semen, pasir, dan yang lain ini memudahkan pengunjung untuk mencapai puncak bukit agar bisa memanjankan mata dengan keindahan savannah.

Bangku untuk istirahat dan menikmati pemandangan. Dok. penulis
Bangku untuk istirahat dan menikmati pemandangan. Dok. penulis

Menariknya, di sepanjang kanan dan kiri tangga disiapkan bangku untuk istirahat bagi mereka yang kelelahan menaiki bukit dengan ketinggian sekira 1500 dmpl ini. Sembari duduk di bangku, mereka bisa menikmati hamparan rumput, menghirup udara segar, dan memotret diri mereka serta pemandangan sekitar. Hamparan rumput yang menguning menghadirkan kesan sebuah "negeri di atas awan" yang benar-benar nyata, bukan sekedar dongeng dan lagu.

Tangga menuju bukit. Dok. penulis
Tangga menuju bukit. Dok. penulis

Setelah melewati plang nama Bondowoso dan Kawah Wurung dalam ukuran besar, sampailah kami pada puncak bukit. Dan, hamparan savanah menyerupai "permadani beludru berwarna hijau yang sangat luas," terhampar di lembah dan perbukitan dengan komposisi yang sangat menakjubkan.

Sejauh mata memandang, hanyalah hamparan rumput yang begitu lembut dan tampak empuk. Saya pun teringat film Teletubis di mana para tokohnya sering berpelukan di padang rumput nan indah. Namun, menurut saya, keindahan Kawah Wurung melebihi itu fiksi, karena ada kualitas ekosistem savannah yang benar-benar nyata.

Imajinasi saya pun mengembara. Tubuh saya seperti terasa ringan karena merasakan sensasi kebahagiaan dari indera penglihatan yang menatap kedahsyatan ekosistem savanah, kulit yang dicumbu angin gunung, kabut yang datang untuk kemudian menghilang, dan batin yang merangkai semua ketakjuban terhadap semesta yang masih terjaga.  

Kawah Wurung. Dok. penulis
Kawah Wurung. Dok. penulis

Suasana senja semakin menyempurnakan ketakjuban saya dan kedua kawan terhadap pesona Kawah Wurung. Cahaya keemasan menjadikan "permadani beludru" tampak semakin sempurna dalam kelembutan dan warna yang begitu hidup. Transisi dari sore menuju malam memberi makna kemisteriusan tetapi cukup menyenangkan, bukan menakutkan. 

Tentu, kemisteriusan tersebut disebabkan temaram cahaya keemasan yang memeluk milyaran rumput. Saya seperti diajak masuk ke dalam misteri yang berasal dari masa lampau ketika rerumputan tersebut mulai tumbuh, menutupi kawah yang sudah tidak aktif lagi.

Kawah Wurung. Dok. penulis
Kawah Wurung. Dok. penulis

Namun, ketika memasuki musim hujan, sebaiknya berangkat ke Kawah Wurung di saat pagi. Di musim hujan, kawasan ini seringkali diguyur hujan ketika siang atau sore hari. Meskipun akan mendapati suasana yang berbeda, pemandangan indah reremputan ketika pagi juga tidak kalah cantiknya.  

Apa yang harus diperhatikan adalah jangan sampai keterpesonaan menjadikan kita lupa diri, karena pinggir jurang tentu menjadi tempat berbahaya. Kehati-hatian tetap menjadi prinsip pertama, terutama ketika para pengunjung tengah asyik memotret ataupun memvideokan keindahan Kawah Wurung. 

Menara untuk pengawasan sekaligus mendapatkan view yang utuh. Dok. penulis
Menara untuk pengawasan sekaligus mendapatkan view yang utuh. Dok. penulis

Ketiadaan pagar pembatas memang menuntut kesadaran para pengunjung untuk selalu hati-hati agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ke depan, pengelola mungkin bisa menempatkan papan peringatan atau pagar pembatas dari kayu, sehingga tidak perlu dibeton. 

Menuruni Tangga menikmati hamparan rumput dan pegunungan. Dok. penulis
Menuruni Tangga menikmati hamparan rumput dan pegunungan. Dok. penulis

Dalam perjalanan turun, kami masih mendapatkan suguhan komposisi alam yang tak kalah menakjubkan. Hamparan savannah dan gunung Ijen di kejauhan tampak seperti memanggil kami bertiga. Menyusuri anak tangga pun tidak lagi melelahkan, karena kebahagiaan setelah menghayati Kawah Wurung dan pemandangan yang begitu indah ketika turun.

MASALAH AIR & KEMUGKINAN PENGEMBANGAN 

Di dekat pintu masuk Kawah Wurung, pengelola dari Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Bondowoso menyediakan mushola dan beberapa homestay yang bisa digunakan oleh para wisatawan yang ingin beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan menuju Kawah Ijen di malam hari atau dini hari. Dengan kata lain, homestay di Kawah Wurung bisa menjadi tempat menginap atau singgah sebelum ke Kawah Ijen.

Kawah Wurung. Dok. penulis
Kawah Wurung. Dok. penulis

Sayangnya, fasilitas air bersih masih belum tersedia. Jadi, kalau ada pengunjung yang ingin menginap, pengelola harus membeli dari warga di desa bawah. Ini menjadikan biaya menginap di homestay menjadi mahal. Akibatnya, pengelola pun tidak bisa maksimal untuk menggarap fasilitas penginapan. Tentu saja, kondisi ini cukup memprihatinkan.

Air, bagaimanapun juga, berperan sangat vital dalam pengembangan pariwisata di kawasan Kawah Wurung. Seandainya fasilitas air tersedia, pihak pengelola dengan melibatkan warga masyarakat bisa menambah bangunan homestay atau cottage. Sekali lagi, para pengunjung yang ingin menikmati paket wisata Kawah Wurung - Kawah Ijen, bisa singgat siang hari atau sore hari di Kawah Wurung. 

Reremputan dalam perjalanan turun. Dok. penulis
Reremputan dalam perjalanan turun. Dok. penulis

Mereka bisa memuaskan pikiran dan batin mereka dengan keindahan savanah dan bentang alam pegunungan. Setelah dirasa cukup, mereka bisa beristirahat di homestay sembari menikmati sajian kuliner khas dan kopi Arabica Ijen yang terkenal hingga mancanegara sejak zaman kolonial.

Bagi wisatawan yang suka camping, pengelola bisa menyediakan lahan khusus. Memang saat ini sudah ada tempat camping, tapi masih terbatas. Apalagi terbatasnya air menjadi kendala utama untuk mengembangkan aktivitas camping. Seandainya ada ketercukupan air, camping bisa diperluas. 

Kawah Wurung. Dok. penulis
Kawah Wurung. Dok. penulis

Sementara, para pengunjung yang menginap di tenda bisa mendapatkan suguhan berupa kesenian khas Bondowoso seperti Singo Ulung, hadrah, dan yang lain. Mereka juga bisa diberikan fasilitas outbond, sehingga bisa benar-benar merasakan kekayaan dan keragaman kultural warga masyarakat di kawasan Kawah Wurung.

Selain itu, para pengunjung juga bisa diajak untuk bekeliling ke perkebunan kopi Arabica. Tentu, harus ada kerjasama dengan pihak PTPN sebagai pemilik dan pengelola perkebunan. Pihak perkebunan bisa dilibatkan untuk memberikan penjelasan kepada para pengunjung yang ingin mengetahui seluk-beluk proses penanaman, perawatan, panen, dan pasca panen. Bagi mereka yang setiap hari menikmati kopi Arabica, perjumpaan dengan pohon kopi dan semua proses yang menyertainya akan menghadirkan ketakjuban yang bisa memberikan kesan positif. 

Kawasan pegunungan tampak dari parkir Kawah Wurung. Dok. penulis
Kawasan pegunungan tampak dari parkir Kawah Wurung. Dok. penulis

Para wisatawan bisa diperkenalkan dengan kehidupan para pekerja kebun yang mayoritas berasal dari etnis Madura dan menempati kawasan perumahan yang disedikan pihak manajemen, memanfaatkan bagunan warisan kolonial. Warga masyarakat bisa bertutur tentang sejarah mereka dari masa lalu kolonial hingga masa kini pascakolonial dengan bermacam cerita dan permasalahannya. 

Ini penting agar para wisatawan bisa mendapatkan pengetahuan sejarah masyarakat perkebunan di kawasan Jampit sehingga mereka bisa membuat refleksi tentang perjalanan panjang warga yang mendedikasikan hidup mereka untuk memberikan kopi terbaik. Dengan demikian, ketika mereka menikmati kopi sudah sepatutnya harus mengucapkan syukur atas perjuangan para pekerja kebun di Jampit.

Papan informasi untuk keperluan Geopark. Dok. penulis
Papan informasi untuk keperluan Geopark. Dok. penulis

Konser musik khusus di atas bukit dengan latar belajang Kawah Wurung juga bisa menjadi altenatif pengembangan. Musik seperti jazz, bossas, blues, keroncong, campursari, dan kendang kempul (Banyuwangi) bisa didesain dalam even musikal di Kawah Wurung. Perpaduan atmosfer musikal yang santai, makanan dan minuman kuliner, dinginnya hawa pegunungan, dan keindahan savannah bisa menjadi daya tarik wisata tersendiri sehingga dengan promosi yang tepat dan menarik, baik melaui media konvensional maupun media baru seperti Instagram, Facebook, Twitter, dan yang lain bisa menarik kedatangan wisatawan.

Bagi saya, keluarbiasaan Kawah Wurung terlalu indah untuk tidak dikembangkan lebih lanjut. Tentu saja paradigma ekowisata (ecological tourism), geowisata (geological tourism), dan wisata berbasis komunitas (community based tourism), bisa diterapkan karena bisa menunjung keberlanjutan kawasan Kawah Wurung untuk generasi masa depan serta memberikan dampak nyata kepada masyarakat pendukung kawasan. 

Kawah Wurung. Dok. penulis
Kawah Wurung. Dok. penulis
Apalah arti industri pariwisata ketika yang menikmati rezekinya hanya para pemodal besar dari kota atau mancanegara. Dengan keberdayaan masyarakat di kawasan Kawah Wurung, mereka juga memiliki empati dan tanggung jawab bersama untuk terus menjaganya.

Ke depan, Pemkab Bondowoso perlu kiranya memikirkan fasilitas untuk warga difabel yang ingin menikmati keindahan Kawah Wurung. Mereka yang menggunakan kursi roda, misalnya, perlu mendapatkan akses jalan yang memudahkan pendamping untuk mendorong kursi roda menuju ke atas dan turun dari bukit. 

Kawah Wurung. Dok. penulis
Kawah Wurung. Dok. penulis
Apa yang cukup menggelisahkan bagi saya adalah keberadaan aktivitas tambang panas bumi  di kawasan sebelum masuk Kawah Wurung. Memang, kehadiran proyek tersebut adalah kebijakan pemerintah pusat yang tidak mungkin ditolak oleh Pemkab Bondowoso. Namun, Pemkab harus tegas dengan melakukan negosiasi kepada pemerintah pusat agar aktivitas pertambangan tersebut tidak sampai menyentuh zona inti kawasan Kawah Wurung. 

Pemandangan dari tempat parkir. Dok. penulis
Pemandangan dari tempat parkir. Dok. penulis

Kalau sampai itu terjadi, keindahan Kawah Wurung hanya akan menjadi dongeng. Selain itu, kalau sampai terdapat aktivitas pertambangan, maka wisatawan pun tidak memiliki keleluasaan untuk menikmati Kawah Wurung. Dampaknya, Pemkab Bondowoso tidak akan mendapatkan pemasukan, begitupula warga masyarakat akan mengalami kerugian akibat tidak bisa meneruskan usaha jasa mereka. 

Selain itu, kalau aktivitas penambangan sampai ke zona inti Kawah Wurung, bisa menganggu proses Ijen Geopark Global UNESCO . Padahal, ketika proses penilaian selesai dan kawasan Kawah Wurung dan sekitarnya menang atau terpilih sebagai geopark, aktivitas kepariwisataan akan meningkat. 

Pemandangan ketika turun. Dok. penulis
Pemandangan ketika turun. Dok. penulis

Dan, itu semua memberikan rezeki ekonomi kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, pengusaha, dan masyarakat. Semoga Pemkab Bondowoso memiliki ketegasan sikap dan pilihan terkait pengembangan Kawah Wurung yang tidak boleh lagi direcoki dengan iming-iming investasi pertambangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun