Entah berapa puluh atau ratus tahun usia pohon soka (sokoo) di belakang SDN Karangsambigalih 1, ketika saya dan kawan-kawan sebaya menikmati masa-masa sekolah tingkat dasar pada  awal hingga akhir 1980-an. Pohon berdiameter lebih dari 1 meter itu terletak persis di pinggir jalan utama Dusun Sambiroto, Desa Karangsambigalih, Kecamatan Sugio, Lamongan.
Batangnya "doyong" (miring), mengarah ke halaman rumah warga. Pohon itu mengarah ke sumur  tua yang terletak di depan rumah warga tersebut. Kalau dilihat dari kejauhan, pohon soka itu seperti mengayomi sumur tua yang kami sendiri tidak tahu sudah berapa lama usianya. Sumur itu dimanfaatkan warga untuk kebutuhan sehari-hari. Â
Yang selalu menyenangkan buat kami  adalah ketika waktu "ngasoh" (istirahat dari aktivitas belajar), sekira jam 11.00 WIB. Kebanyakan dari kami akan pulang ke rumah masing-masing untuk sarapan nasi dan lauk karena pagi sebelum berangkat, biasanya kami hanya makan jajan seperti "puli", "serabi", "gembrung", dan yang lain.Â
Sekembalinya ke sekolah, itulah kami akan bermain di bawah pohon soka. Kami sering naik dan melompat ke bawah karena jarak batang atas dengan tanah hanya 1,5 hingga 2 meter. Posisinya yang "doyong" menyebabkan batang itu tidak jauh dari tanah. Lompat dari pohon menjadi semacam uji keberanian para siswa lelaki.
Selain bermain di pohon, kami juga main "slodoran" (gopak  sodor), "benthik" (patelele), "benteng-bentengan", "pal-palan", "bal-balan"/"tembung" (sepakbola), dan "nekeran" (kelereng). Setelah lelah, kami menikmati aneka jajanan yang dijual pedagang kecil. Kalau merasa haus, kami akan menikmati es-nya Cak Dul yang cukup manis dan segar.Â
Uang logam Rp. 25 hingga Rp. 50 menjadi sangat berharga di masa itu. Kami jarang diberi "sangu" (uang saku) Rp. 100, kecuali kawan yang anaknya orang kaya di dusun. Bersama Sunandar, Â Suwono, Sehato, Suparman, dan yang lain, saya menikmati jajan dan es dalam keadaan "nyeker" (tanpa sepatu) dengan kaki penuh debu.Â
Adapun kawan-kawan perempuan biasanya bermain "bekel" atau "lompat tali" di halaman atau teras kelas. Setelah bel masuk pun kami akan segera membersihkan kaki dengan air sumur tua dan kembali mengenakan sepatu berbahan karet yang cukup awet dan murah.
Pohon soka seolah mengerti bahwa kehadirannya menjadi sangat penting untuk kebahagiaan anak-anak SD di waktu istirahat. Daunya yang teduh menyegarkan hari-hari  panas di musim kemarau. Merah bunganya menjadi warna indah yang menyemangati kami untuk kembali masuk kelas setelah puas bermain.Â
Di ruang kelas, kami kembali bertemu dengan Pak Tomo, Pak Tony, Pak Sukiman, Bu Kartini, Pak Imam, dan yang lain. Bersama para guru tercinta, kami kembali belajar baca tulis dan berhitung; kembali ke dalam narasi-narasi tentang pentingnya pendidikan buat kemajuan hidup kami kelak di masa depan.
Kebahagiaan bersama pohon soka akan berubah 360 derajat ketika malam memeluk desa. Setelah "ngaji" (belajar membaca Al Quran) di langgar (musholla), kami akan bermain "jumpritan"/"sengedan-sengedanan" (petak umpet). Terkadang malam minggu  kami ikut menonton video di rumah kepala dusun (senden) atau menonton bermacam acara televisi di rumah salah satu warga kaya.Â