Peristiwa yang juga masih saya ingat adalah tidak lama setelah pohon soka ditebang, sumur tua yang ada di dekatnya seringkali "nitik" (airnya habis) di musim kemarau. Padahal sebelumnya, meskipun debet airnya berkurang, sumur itu selalu menyediakan air untuk warga ketika kemarau.Â
Pada waktu itu saya belum berpikir bahwa cerita tentang penunggu soka adalah cara warga memelihara sumber air yang bisa jadi terbantu oleh akar pohon tua itu. Apa yang saya pikirkan adalah hilangnya tempat anak-anak bermain, sedikit melepaskan pikiran dan batin dari proses  belajar yang seringkali juga 'menakutkan.'Â
BELAJAR DARI POHON SOKA
Saat ini, setelah mempelajari banyak teori tentang pengetahuan ekologis tradisional, saya jadi mengerti betapa cerdasnya nenek moyang kita untuk merawat dan melestarikan sesuatu yang berkaitan langsung dengan kehidupan manusia. Keberadaan pohon soka yang dikaitkan dengan cerita mitologis para penunggunya adalah cara agar warga desa tidak menebang salah satu penopang sumber air di sumur tua desa.Â
Sebagai kawasan kering, keberadaan sumber air begitu penting bagi warga dusun. Maka, para nenek moyang menggunakan alam pikir mitologis terkait para penunggu ghaib dan pantangan-pantangan khusus, sehingga warga takut untuk menebangnya. Apapaun alasannya, penebangan pohon hanya akan mengganggu makhluk penunggu, sehingga mereka bisa marah kepada mereka yang menebang. Ketakutan itulah yang menjadikan warga menghormati pohon soka tersebut.Â
Masalah muncul ketika nalar agama guru ngaji mulai menabrak apa-apa di dusun yang dianggap menyekutukan Tuhan. Karena warga dianggap menyuburkan kesesatan dan menyekutukan Tuhan dengan menghormati pohon soka dan takut akan para penunggunya, maka si guru ngaji dan para pengikutnya memutuskan menebangnya.Â
Di sinilah, kita bisa menemukan kesalahpahaman cara berpikir si guru ngaji karena ia tidak mau mempelajari lebih lanjut konteks mengapa cerita tentang pohon soka dan para penunggunya itu menjadi begitu populer di masyarakat. Para nenek moyang seringkali menggunakan perlambang tertentu ketika ingin menyampaikan nasehat, pengetahuan, atau ajaran yang sangat penting untuk kehidupan masyarakat.Â
Cerita tentang penunggu dibuat karena nenek moyang sangat memahami keberadaan sumber air di bawah pohon soka tersebut. Bukankah sumber air adalah 'penunggu' yang sangat berharga karena berkaitan dengan keberlanjutan hidup warga dusun? Untuk itulah pohon soka tersebut tidak boleh diapa-apakan karena penunggunya bisa marah, bisa ngamuk, dan berdampak negatif.Â
Apa yang terjadi setelah pohon soka itu ditebang adalah mulai berkurangnya sumber air yang biasa memenuhi sumur tua secara signifikan. Artinya, warga mendapatkan kesulitan untuk mengambil air bersih untuk kehidupan sehari-hari mereka. Ketika akar-akar soka sudah tidak mampu lagi menahan air bawah tanah yang berasal dari hujan, saat itulah warga mendapatkan dampak negatifnya.Â
Di sinilah konteks "kemarahan para penunggu." Sumber air adalah penunggu yang cukup bermanfaat bagi warga dusun. Ketika sumber air itu tak lagi mengeluarkan air karena akar-akar soka sudah mati, kita bisa memahaminya sebagai kemarahan penunggu karena warga tak mampu menjaga pohon yang telah memberikan banyak manfaat untuk kehidupan dan untuk anak-anak yang menemukan kebahagiaan ketika bermain.Â
Ke depan, kita perlu menyebarluaskan pemikiran komprehensif dalam memahami cerita-cerita mitologis tentang pohon tua, telaga keramat, atau tempat-tempat lainnya. Jangan asal tidak sesuai dengan dalil agama secara tekstual, terus dirusak dan dihancurkan. Kita perlu memahami konteks dari hadirnya cerita-cerita penunggu pohon besar dengan melihat lebih jauh lagi bagaimana kondisi geografis dan kultural masyarakat agar tidak mudah menyalahkan serta tidak mudah melakukan tindakan destruktif yang justru merugikan kehidupan manusia.Â