Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Pohon Soka dan Para Penunggunya

11 Juli 2022   10:58 Diperbarui: 11 Juli 2022   11:01 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Proses menonton TVRI memperkenalkan kami dengan dunia modern kota, bermacam cerita film dan para bintangnya (Rano Karno, Lydia Kandouw,  Roy Marten, Yesi Gusmanm , Yati Octavia, dan yang lain), musik pop, musik dangdut, dan, tentunya, sosok presiden yang murah senyum, Bapak Pembangunan, Soeharto, yang namanya sering muncul di ulangan (tes) di sekolah. Dari menonton video kami berkenalan dengan Rambo, juga sosok Suzanna yang menakutkan itu.

Selama main jumpritan atau setelah menonton, kami selalu dilanda ketakutan setiap melewati pohon soka itu. Padahal siangnya kami cukup bergembira bersamanya. Penyebabnya, warga desa, termasuk Mbah Lanang (Kakek) dan Mbah Wedok (Nenek) saya, sering bercerita bahwa pohon itu ada penungguhnya, sosok tua berpakaian putih bersama para pengikutnya. 

Pada malam tertentu, ketika warga sudah lelap, ia dan para pengikutnya akan berkeliling desa. Kalau mereka sudah berkeliling berarti pertanda akan terjadi sesuatu di desa atau mereka sedang melindungi desa dari sebuah bahaya yang mengancam. Meskipun demikian, saya dan kawan-kawan belum pernah bertemu dengan mereka. 

Cerita-cerita tentang para penunggu yang disampaikan dengan begitu meyakinkan oleh warga itulah yang membuat kami takut setiap akan melewati pohon soka. Ketalutan kami juga tidak bisa dilepaskan dari bermacam cerita hantu yang cukup biasa beredar di dusun. Begitupula pengaru film-film Suzanna. Maka, lari sekencang-kencangnya adalah pilihan yang cukup masuk akal setiap kami melewati pohon itu.

Kami dihadapkan pada dua dunia terkait pohon soka: dunia siang yang membahagiakan dan dunia malam yang menakutkan. Siang hari kami begitu bahagia bermain di bawah pohon soka. Mungkin itu juga berkaitan dengan cerita warga  bahwa sosok tua itu hanya muncul di malam hari. Itupun malam tertentu. 

Dua dunia itu juga seperti menggambarkan alam pikir kami yang berusaha menjadi modern melalui sekolah dan bermacam cerita di televisi, tetapi tetap tidak bisa lepas dari "pesona dunia desa" yang seringkali masih menghadirkan rasa takut ketika berhadapan dengan seluk-beluk hantu.

Semua kegembiraan dan keanehan bersama pohon soka itu harus berakhir ketika beberapa warga desa atas perintah seorang guru ngaji menebangnya. Saya tidak ingat persis waktu itu kelas berapa, kemungkinan kelas 5 atau 6. Alasan utamanya adalah pohon itu menyuburkan sikap dan perilaku syirik  dan keyakinan terhadap tahayul yang bisa mengganggu keimanan warga desa. 

Warga yang menolak pun tidak berdaya karena yang memerintahkan adalah seorang guru ngaji yang cukup dihormati. Cuma, saya mendengar dari omongan beberapa warga  bahwa ditebangnya pohon itu akan menghadirkan bencana atau peristiwa yang menakutkan. "Awas looo nek Mbah e ngamuk," begitu omongan yang berkembang.

Yang pasti, beberapa hari setelah pohon soka itu ditebang salah satu warga dusun yang ikut memegang  pecok (kapak) yang digunakan menebang sakit keras dan akhirnya  meninggal. Beberapa warga yang ikut menebang pun sakit parah dan harus dilarikan ke rumah sakit. Warga desa pun ramai membincangkan peristiwa itu dan mengaitkannya  dengan kemarahan para penunggu  pohon soka. Beberapa warga sepuh mengatakan para penunggu itu pindah "dowayah", tempat makam pendiri dusun di selatan pemukiman warga.

Terlepas benar dan tidaknya anggapan warga,  yang pasti pohon soka itu telah ditebang dan kegembiraan kami pun harus berakhir. Ketakutan di malam hari pun perlahan hilang. Dan, pada akhirnya di dekat bekas pohon itu didirikan warung oleh salah satu warga. Warung itu pun menjadi tempat nongkrong para lelaki, dari usia muda hingga tua. 

Di warung itu mereka bisa menikmati kopi, teh, es, aneka jajan, nasi goreng, mie goreng dan tidak lupa indomie dan 'kerabatnya' seperti Sarimi dan Mie Sedap.  Pembicaraan tentang pohon soka pun perlahan menghilang dari ruang dusun, seiring semakin meriahnya kehidupan warga dengan banyaknya televisi berwarna yang dibeli karena hasil panen yang melimpah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun