Ini menegaskan bahwa budaya dalam wujud filosofi, pengetahuan, dan teknologi tradisional dari masa lalu bisa ditransformasikan ke dalam ranah saintifik masa kini dengan tetap mengetahui karakteristik lokalitas dan lingkungan. Itulah mengapa dalam ranah internasional, banyak intelektual yang mulai membuka dan menelaah kembali bermacam pengetahuan dan teknologi tradisional yang oleh rumus modernisme dimarjinalisasikan karena dianggap tidak rasional.
Eksploitasi besar-besaran alam oleh manusia-manusia rakus yang menyebabkan krisis ekologis di tingkat global menjadikan banyak intelektual mengembangkan kajian transformatif di mana PET dan teknologi tradisional dikaji dan diimplementasikan dalam kerja-kerja keberlanjutan.
Kesadaran reflektif pejabat pemerintah yang menangani urusan tanah dan pertanian tentang pentingnya terasering, setidaknya, bisa menjadi modal awal untuk mendesain kebijakan transformatif dalam pertanian dan pengolahan lahan. Sebagai pengetahuan dan teknologi tradisional, terasering seperti ngais pasir dan nyabuk gunung bisa terus ditransformasikan ke dalam praktik bertani modern.
Artinya, terasering sebagai kekuatan dan kekayaan ekologis masyarakat lokal dikembalikan ke dalam pikiran dan praksis masyarakat yang banyak dipengaruni nalar eksploitatif. Tentu ini bukan pekerjaan mudah. Buktinya, masih banyak petani yang enggan menerapkan terasering karena alasan biaya.
Di sinilah tantangan bagi kaum intelektual, melakukan kajian mendalam lintas-disiplin untuk menciptakan formula dan media yang bisa mentransformasi kesadaran akan pentingnya ngais pasir dalam proses pertanian dan pemukiman di lahan dengan kemiringan tertentu.
Kajian akademis dibutuhkan agar kebijakan yang dibuat oleh pemerintah “tidak sekedar menjadi perayaan,” tetapi mengarah pada penguatan substansial dan praksis berorientasi pada keberlanjutan hidup dan kebudayaan. Bagi kaum muda yang terbiasa menggunakan bermacam media sosial sebagai bagian dari peradaban dan revolusi digital, ketersediaan materi akademis dibutuhkan untuk mentransformasi ngais pasir ke dalam ragam konten yang tidak monoton dan menarik.
Para seniman dan sineas bisa dilibatkan dalam menciptakan bermacam karya seni dan film yang bisa mengkampanyekan makna-makna filosofis dan pentingnya ngais pasir melalui kerja dan karya estetik yang tidak bersifat doktriner. Begitupula jama’ah pengajian maupun komunitas agama yang lain, bisa diajak terlibat dengan mengkaitkan pengetahuan dan teknologi tradisional sebagai bentuk implementasi ayat-ayat Tuhan.
Tentu masih banyak bentuk transformatif yang bisa dilakukan dengan kerja-kerja kolaboratif. Dalam konteks demikian, kesadaran akan pentingnya akan ngais pasir akan menjadi gerakan kultural-ekologis yang menjangkau warga secara luas.
Dengan gerakan tersebut, menempatkan terasering sebagai destinasi wisata karena melibatkan komunitas sehingga dampaknya bisa dirasakan untuk kesejahteraan bersama dan pemertahanan identitas budaya yang berasal dari PET dan teknologi tradisional. Apalah arti kemeriahan wisata ketika masyarakat lokal tidak lagi memahami makna filosofis terasering yang menyatu dalam laku hidup mereka.
Apalah arti kemegahan wisata ketika masyarakat lokal tidak menjadi subjek yang benar-benar bisa terlibat dan menggerakkan keberdayaan mereka berbasis PET dan teknologi tradisional. Tentu saja, Disparbud Jawa Barat, para akademisi, dan masyarakat ingin ngais pasir menjadi warisan budaya tak benda yang memberikan nilai tambah bagi warga masyarakat melalaui aktivitas pariwisata yang tidak mengabaikan keunggulan dan kekuatan filosofis dan teknologisnya.