Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ngais Gunung: Pengetahuan dan Teknologi Terasering di Jawa Barat

2 Juli 2022   05:46 Diperbarui: 2 Juli 2022   11:42 2604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sawah dengan terasering di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Sumber: Disparbud Jabar via Kompas.com

AWALAN

Ngais pasir/ngais gunung (Sunda) atau nyabuk gunung (Jawa) merupakan sistem pengelolaan lahan persawasan di kawasan pegunungan dengan model terasering. Di banyak wilayah pegunungan di Indonesia, kita bisa menjumpai sistem terasering. Karakteristik utama terasering adalah tanah yang dijadikan berundak-undak atau bertingkat-tingkat (sengkedan) mengikuti kontur kemiringan tanah gunung. 

Model teras, dalam ranah konservasi, bisa bermanfaat untuk mengurangi panjang lereng yang berfungsi untuk menahan air atau mengurangi kecepatan dan jumlah air di permukaan tanah, serta memperbesar peluang penyerapan air oleh tanah (Arsyad, 2006). Selain itu, lain terasering yang tidak kalah pentingnya adalah mengendalikan aliran air menuju daerah yang lebih rendah dengan menampung dan menahan air pada lahan miring. 

Dalam konteks Jawa Barat, model terasering yang banyak terdapat di kawasan Panyaweuyan, Majalengka, diyakini menjadi salah satu formula untuk mengatasi permasalahan pertanian di lahan miring serta dampaknya bagi kehidupan masyarakat. Data tahun 2019, misalnya, menyebutkan bahwa di sektor pertanian di kawasan Bandung utara terdapat 14.600 ha lahan kritis. Bergesernya pertanian ke lereng gunung yang tidak diimbangi dengan teknik pengelolaan tanah di lahan miring pegunungan menimbulkan permasalahan pelik. 

Teknik terasering ngais gunung/ngais pasir bisa menjadi alternatif permasalahan lahan pertanian, meskipun untuk memulainya membutuhkan biaya besar. Itulah mengapa, banyak petani di Bandung utara yang enggan menggunakan teknik terasering (Pamungkas, 2019). Tentu saja persoalan itu bisa dihindari ketika sejak awal para petani di kawasan lereng gunung menggunakan sistem ngais pasir. 

Apa yang menarik adalah perbedaan perspektif antara para petani di Panyaweuyan Majalengka dan Bandung utara terkait praktik ngais gunung. Para petani Panyaweuyan Majalengka yang secara turun-temurun bertani sayur-mayur dengan model terasering bisa kita posisikan sebagai subjek yang memahami pengetahuan lokal terkait bagaimana memuliakan lingkungan agar bisa mendapatkan manfaat sebesar-besarnya. 

Pemahaman tersebut sekaligus menjadi kesadaran filosofis dalam mensinergiskan makna-makna ekologis dengan teknik-teknik pengelolaan tanah di lereng gunung. Artinya, makna-makna filosofis terkait gunung, air, dan tanah, tidak hanya berhenti sebagai mantra atau petuah-petuah tertentu, tetapi dibawa ke dalam pengalaman praksis yang memungkinkan manusia-manusia lokal menemukan laku sinergi dengan potensi, tantangan, dan permasalahan dalam kehidupan mereka.

Terasering Panyaweuyan Majalengka. Dok. jabar.tribunnews.com 
Terasering Panyaweuyan Majalengka. Dok. jabar.tribunnews.com 

Pengetahuan yang berasal dari proses mengamati peristiwa dan permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di sebuah lingkungan, tidak berhenti pada tahapan ontologis dan epistemologis, tetapi berlanjut ke tahapan aksiologis berupa teknik-teknik tertentu untuk mengatur dan mengolah tanah di lahan miring dengan metode ngais pasir. 

Itulah mengapa, ngais pasir di Jawa Barat dan nyabuk gunung di Jawa Tengah, bisa dikatakan sebagai teknologi ekologis-agraris tradisional yang membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kecakapan teknologis berbasis pengetahuan yang menekankan relasi harmonis manusia-Tuhan-alam.

Menjadi wajar kalau UNESCO memandang penting keberadaan sistem terasering yang memadukan dimensi agraris-ekonomis dan ekologis di wilayah pegunungan yang rentan dieksploitasi dan mengalami kerusakan. Demi kepentingan perlindungan dan pemanfaatannya untuk kehidupan masyarakat, PBB menetapkan beberapa sistem terasering di dunia sebagai warisan dunia. 

Menurut catatan Edison (2019), pada tahun 1995, UNESCO menetapkan terasering Ifugao, Cordillera, Filipina, sebagai warisan dunia. Di lahan terasering Ifugao, masyarakat menanam padi selama hampir 2000 tahun. Masyarakat tidak hanya menggunakan sistem irigasi dan pemanenan air hujan, tetapi juga pengetahuan lokal terkait keragaman hayati, konservasi dan agro-ekosistem. 

Terasering Jatiluwih. Dok. www.baitoursclub.net
Terasering Jatiluwih. Dok. www.baitoursclub.net

Tahun 2012, sistem subak Bali ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia. Persawahan terasering yang menggunakan subak mencapai 19.500 hektar luasnya. Menariknya, subak menggunakan keyakinan religius Tri Hita Kirana yang berisi Parahyangan (relasi harmonis antara manusia dengan Tuhan), Pawongan (relasi harmonis sesama manusia), dan Palemahan (relasi antara manusia dengan alam dan lingkungannya). Praktik subak di lahan terasering berhasil menjadikan Bali sebagai salah satu produsen padi di Indonesia. 

Sementara, pada tahun 2013, bentang sawah seluas 16.630 ha di kawasan selatan Yunnan, Tiongkok, di kaki Gunung Ailao, ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Di kawasan ini, terdapat kurang lebih 3000 teras yang membentuk gugusan sawah terasering Honghe Hani. Untuk memaksimalkan aktivitas bercocok tanam di lahan terasering, masyarakat Hani juga menciptakan sistem irigasi yang kompleks.

Terasering Yunnan. Dok. www.bbc.com
Terasering Yunnan. Dok. www.bbc.com

Pengakuan internasional merupakan wujud apresiasi dunia terhadap kemampuan leluhur masa lalu yang dilanjutkan di masa kini dalam hal memformulasi dan mempraktikkan pengetahuan dan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan. Selain itu, pengakuan tersebut sejalan dengan usaha para intelektual di tingkat global yang berusaha secara serius untuk menemukan alternatif bagi krisis ekologis yang belum mampu sepenuhnya diredam oleh pengetahuan dan teknologi modern. 

Untuk itu, keberadaan terasering Panyaweuyan Majalengka dan terasiring lain di Jawa Barat memang cukup menarik untuk dipromosikan sebagai destinasi wisata yang cukup indah, sepertihalnya kawasan terasering Jatiluwih, Bali. Di era media sosial dengan beragam bentuknya, keindahan terasering tentu dengan cepat bisa mengundang wisatawan yang ingin menemukan spot selfie terbaik. 

Namun, kalau pemerintah, akademisi, dan masyarakat hanya berkutat kepada maksimalisasi potensi wisata terasering, terdapat beberapa permasalahan yang kalau tidak diantisipasi bisa menimbulkan dampak negatif. Pertama, kurangnya kajian dan pemahaman terkait makna filosofis ngais pasir dan posisinya sebagai pengetahuan dan teknologi tradisional yang diyakini sekaligus dilakoni. 

Ketika terasering tidak lagi diperbincangkan dalam ketiga pemahaman tersebut, masyarakat hanya akan mengetahuinya sebagai tempat bercocok tanam yang menguntungkan secara ekonomis serta sebagai destinasi wisata yang banyak dikunjungi wisatawan. 

Kedua, sepertihalnya kasus di Jatiluwih, tingginya kunjungan wisatawan mendorong investor membangun tempat usaha di sana. Memang itu sah-sah saja, tetapi kalau tidak diatur bisa mengurangi lahan terasering secara signifikan.

Maka, bagi saya, apa yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat dengan menyiapkan kajian terkait ngais gunung merupakan langkah tepat. Setidaknya, Dinas akan mendapatkan modal kultural untuk mendesain kebijakan-kebijakan strategis terkait bagaimana semestinya pemerintah, akademisi, dan masyarakat menempatkan ngais pasir sebagai pengetahuan dan teknologi tradisional di tengah-tengah modernitas dengan beragam varian eksploitatifnya. 

Artinya, keinginan untuk menjadikan ngais pasir sebagai bagian warisan budaya tak benda Jawa Barat tidak berhenti pada kebahagiaan dan kebanggaan ketika pemerintah menetapkannya. Lebih dari itu, pemerintah Jawa Barat, para akademisi, dan masyarakat bisa bersama-sama memformulasi upaya-upaya strategis dan praksis untuk terus menyebarluaskan kesadaran dan signfikansi ngais pasir sebagai pengetahuan dan teknologi tradisional. 

NGAIS GUNUNG/NGAIS PASIR: PENGETAHUAN EKOLOGIS DAN TEKNOLOGI TRADISIONAL

Diakui atau tidak, manusia adalah subjek yang ingin terus memanfaatkan lingkungan alam untuk memenuhi kebutuhan mereka. Namun, bagi mereka yang menekankan relasi harmonis antara manusia dengan alam, sesama manusia, sesama makhluk, dan Tuhan, kebutuhan untuk mendapatkan manfaat maksimal akan dibarengi upaya serius untuk memformulasi dan mempraktikkan aktivitas yang menimbulkan permasalahan ekologis serius. 

Terasering Panyaweuyan. Dok. Wikipedia.org
Terasering Panyaweuyan. Dok. Wikipedia.org

Memang, di tengah-tengah praktik modernitas dan praktik revolusi hijau yang sangat massif, semakin sulit menemukan praktik pertanian yang benar-benar pro-keberlanjutan alam. Ekspansi lahan pegunungan yang dulunya merupakan ekosistem hutan untuk lahan pertanian merupakan salah satu bukti betapa hasrat dan kehendak manusia untuk menikmati kemajuan hidup bisa berdampak serius terhadap lingkungan. 

Yang lebih mengerikan adalah ketika proses bertani di lahan dengan kemiringan berbahaya tidak mengindahkan kaidah ekologis yang tepat. Dalam konteks demikian, pilihan para petani untuk mempertahankan dan menjalankan ngais pasir sebagai warisan nenek moyang merupakan wujud nyata bagaimana mereka berusaha untuk mencegah berlangsungnya permasalahan lingkungan yang merugikan diri mereka sendiri dan membahayakan warga lain di tempat yang lebih rendah. 

Itulah mengapa saya lebih suka menyebut ngais pasir sebagai pengetahuan ekologis tradisional (selanjutnya disingkat PET) yang menghasilkan rekayasa teknologi. PET merupakan tubuh pengetahuan yang dibangun berdasarkan keyakinan kosmologis dalam masyarakat lokal atau masyarakat non-industrial yang menekankan relasi manusia dengan  lingkungan dan makhluk hidup lain. 

PET berfungsi sebagai (a) sumber sistem pengaturan pertanian, hewan ternak, sumberdaya alam, konservasi dan perubahan iklim yang digunakan di masa lalu dan ditransfer ke masa kini; (b) nilai dan etika yang mendasari tindakan manusia terkait lingkungan dan semua makhluknya; dan (c) aspek penting yang berkontribusi untuk membentuk identitas budaya (Houde 2007; Menzies and Butler 2006, 2; Berkes 2008; Shackerrof & Campbell 2007; Whyte 2013; Vinyeta & Lynn 2013; Brosius 1997; da Cunha and de Almaida 2000).

Terasering Panyaweuyan dan tanaman sayur-mayur. Dok. IG terasering_panyaweuyan 
Terasering Panyaweuyan dan tanaman sayur-mayur. Dok. IG terasering_panyaweuyan 

Senada, Berkes (1993: 4) menjelaskan bahwa PET bersifat kualitatif, memiliki komponen intuitif, menyeluruh, menyatu antara apa yang ada di dalam pikiran dan di dalam material, berkaitan dengan nilai dan moral, spiritual, berdasarkan observasi empiris dan akumulasi fakta, berbasis data yang berasal dari penggunaan langsung, dan data diakronis (dari masa lalu ke masa kini dan konteksnya). 

Karakteristik tersebut memosisikan PET pada dimensi welas asih dalam ruang ideal di mana pengetahuan masyarakat tentang alam sekaligus menjadi visi komunal untuk tidak menghancurkan lingkungan dan segala isinya. PET bukan semata-mata sistem pengetahuan dan tindakan, tetapi sistem pengetahuan, tindakan, dan keyakinan terintegrasi yang ditujukan tidak untuk mengeksploitasi dan mengendalikan alam lingkungan mereka sebebas-bebasnya (Berkes, 1993: 5).

Integrasi tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial PET yang menimbang beberapa dimensi penting seperti: (1) makna simbolik melalui sejarah lisan, nama tempat, dan hubungan spiritiual; (2) kosmologi atau pandangan dunia yang berbeda dengan ilmu modern di mana ekologi menjadi bagiannya; dan, (3) hubungan berbasis prinsip timbal-balik dan obligasi baik buat anggota komunitas maupun makhluk hidup lainnya serta lembaga manajemen sumber daya alam komunal berbasis pengetahuan dan makna bersama (Berkes, 1993: 5). 

Itulah mengapa PET tidak hanya berkaitan dengan kumpulan pengetahuan tetapi juga bisa dioperasionalkan untuk kepentingan-kepentingan ekologis seperti manajemen sumber daya alam, konservasi, dan yang lain (Menzies & Butler, 2006: 2).

Mengikuti kerangka berpikir di atas, ngais gunung bisa kita tempatkan sebagai PET karena masyarakat menerapkannya berdasarkan cara pandang hubungan yang tidak eksploitatif antara manusia dan alam. Memang, para petani membutuhkan manfaat ekonomis dari tanah dan air yang ada di kawasan pegunungan, tetapi mereka memahami bagaimana mengatur sumberdaya alam untuk keperluan hidup yang sekaligus bertujuan untuk mengkonservasi kawasan pegunungan. 

Pemahaman berdasarkan pengamatan sehari-hari serta keluhuran makna filosofis tentang gunung sebagai tempat sakral, kebaikan air dari gunung, dan kontribusi penting ibu bumi/ibu pertiwi menjadikan mereka memformulasi konsep yang masuk akal tentang sistem pertanian di kawasan lereng.

Tentu kita semua mengerti bagaimana masyarakat memahami makna filosofis gunung sebagai tempat sakral yang di dalamnya terdapat bermacam flora, fauna, sumber air, sungai, serta sebagai kawasan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Tidak mengherankan kalau kita menemukan bermacam bentuk simbolik gunung, dari kuliner, kesenian, hingga bangunan. 

Semua itu merupakan upaya manusia untuk memuliakan dan menghormati gunung sebagai entitas yang sangat penting bagi kehidupan. Menjadi wajar kalau dalam praktik pertanian mereka juga tidak ingin sepenuhnya melupakan makna filosofis yang mereka pahami tentang gunung. Itulah etika dan nilai komunal yang harus dirawat dan diwujudkan melalui kerja-kerja pertanian yang tidak merusak karena kerusakan akan kembali kepada mereka dalam wujud kerugian akibat rusaknya ekosistem.

Wujud dari upaya untuk menghormati gunung adalah memformulasi pengetahuan komunal berbasis pengematan bagaimana pergerakan air di lahan dengan kemiringan tertentu di lereng-lereng gunung. Dipilihnya teknik terasering merupakan wujud ketidakinginan untuk melihat melorotnya tanah gunung yang bisa berdampak destruktif. Di sinilah kita bisa menemukan bagaimana makna filosofis “menjaga kehormatan dan kemuliaan gunung” yang sejatinya kembali kepada kehormatan dan kebahagiaan manusia. 

Kaum muda menikmati terasering Panyaweuyan. Dok. IG eksploremajalengka
Kaum muda menikmati terasering Panyaweuyan. Dok. IG eksploremajalengka

Kita bisa membandingkannya dengan cara kerja sabuk yang menjadikan celana kita tidak mudah melorot (Suprihati, 2019). Maka, nama ngais pasir dalam bahasa Jawa adalah nyabuk gunung yang secara harafiah bermakna “memberi gunung sabuk.” Keinginan untuk tetap memperkuat dan memperkokoh posisi tanah gunung diwujudkan dalam teknologi terasering yang disesuaikan dengan kemiringan tanah di masing-masing wilayah. 

Dampak positifnya adalah aliran air bisa diatur sedemikian rupa sehingga tidak memelorotkan tanah dalam bentuk erosi. Dengan tidak terjadinya erosi, maka masyarakat tidak akan merasa malu karena terjadinya bencana dan krisis ekologis menunjukkan tingkah manusia yang tidak mampu lagi menjaga relasi harmonis dengan alam sehingga mereka akan mendapatkan penderitaan.

Kemampuan untuk membuat terasering seperti ngais pasir juga menunjukkan kemampuan masyarakat untuk melakukan laku adaptasi terhadap lingkungan dengan kondisi kemiringan yang sejatinya sulit untuk dijadikan pemukiman dan pertanian. Namun, karena mereka perlu untuk melanjutkan kehidupan, rekayasa bentang alam pun dilakukan dengan tetap mematahui petuah-petuah leluhur yang melarang warga merusak lingkungan dan memanfaatkan lingkungan sesuai kebutuhan. 

Artinya, mereka memilih laku hidup bersama alam alih-alih mengeksploitasi secara massif (Hermawan, 2015). Maka, ketika makna filosofis dan PET masih diyakini dan diwujudkan dalam bentuk teknologi ngais pasir secara komunal, di situlah sejatinya kita bisa menaruh harapan akan pemertahanan dan pengembangan identitas budaya. 

Apa yang dimaksud dengan identitas budaya adalah nilai dan praktik bersama yang mengikat sebuah komunitas dalam prinsip integrasi antara keyakinan, pengetahuan, dan teknik tertentu sebagai acuan konsensual serta bergerak dinamis dari masa lalu ke masa kini. Prinsip dinamis ini memberikan peluang untuk tidak membekukan PET dan teknologi terasering, tetapi menggerakannya dalam mekanisme transformatif kebijakan pertanian serta terus menyosialisasikannya dalam ragam media dan bentuk.

TRANSFORMASI DINAMIS TERASERING 

Sebagai teknologi, sistem terasering bersifat kontekstual karena menyesuaikan dengan tingkat kemiringan dan kondisi tanah. Manfaat untuk kepentingan konservasi tanah yang sekaligus menunjang pertanian yang aman dan ramah lingkungan menjadikan sistem terasering dikembangkan dengan pendekatan dinamis. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya beberapa bentuk terasering yang di kembangkan di Indonesia, seperti teras datar, teras kredit, teras gulud, teras bangku, teras individu, teras kebun, teras saluran, dan teras batu.

Terasering Panyaweuyan. Dok. Disparbud Jabar
Terasering Panyaweuyan. Dok. Disparbud Jabar
Menurut Dariah et al (2004), teras datar yang biasanya dibuat petani di lahan dengan kemiringan kurang 3 % dengan tujuan memperbaiki pengaliran air dan pembasahan tanah. Teras kredit dibuat pada tanah yang landai dengan kemiringan 3-10 % dengan tujuan mempertahankan kesuburan tanah. Teras gulud yang dibuat pada tanah dengan kemiringan 10-50 % dengan tujuan mencegah hilangnya lapisan tanah. 

Kemudian teras bangku yang dibuat pada lahan dengan kelerengan 10-30 persen. Tujuannya untuk mencegah erosi pada lereng yang ditanami palawija. Selain itu terdapat teras individu yang biasa dibuat pada lahan dengan kemiringan 30-50 %. Teras jenis ini biasanya terdapat di kawasan tanaman perkebunan dengan curah hujan terbatas dan penutupan tanahnya cukup baik sehingga memungkinkan pembuatan teras individu.

Teras kebun dibuat untuk lahan dengan kemiringan 30-50 %. Teras ini hanya dilakukan pada jalur tanaman sehingga area tersebut terdapat lahan yang tidak diteras dan biasanya ditutup oleh vegetasi penutup tanah. Sementara, teras saluran atau dikenal istilah rorak atau parit buntu dibuat dengan teknik konservasi tanah dan air berupa pembuatan lubang-lubang buntu untuk meresapkan air ke dalam tanah serta menampung sedimen-sedimen dari bidang olah. Adapun teras batu menggunakan batu untuk membuat dinding dengan jarak yang sesuai di sepanjang garis kontur pada lahan miring.

Penerapan teknologi terasering dengan bermacam bentuknya untuk kawasan pertanian di wilayah pegunungan dan pengakuan pentingnya ngais pasir dalam mencegah laju kerusakan lahan pertanian di kawasan pegunungan membuktikan bahwa sistem pertanian yang diciptakan leluhur kita bisa berkontribusi bagi kehidupan di tengah-tengah hasrat eksploitatif manusia-manusia modern dengan bermacam kepentingannya.

Lebih jauh lagi, banyaknya kajian ilmiah terkait terasering yang dilakukan para akademisi membuktikan bahwa filosofi dan pengetahuan tradisional tentang alam yang diwujudkan dalam penciptaan teknologi tradisional yang biasanya dimaknai secara tradisional dengan bermacam stigmanya ternyata bisa dikembangkan menjadi entitas saintifik yang melampaui batasan waktu. 

Inilah salah satu kapasitas intelektual leluhur di mana mereka menggunakan pertimbangan dan pemikiran komprehensif berbasis relasi manusia-alam-Tuhan untuk menciptakan pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat untuk kehidupan manusia di masa lalu hingga masa kini yang dilengkapi dengan makna-makna filosofis. 

Ini menegaskan bahwa budaya dalam wujud filosofi, pengetahuan, dan teknologi tradisional dari masa lalu bisa ditransformasikan ke dalam ranah saintifik masa kini dengan tetap mengetahui karakteristik lokalitas dan lingkungan. Itulah mengapa dalam ranah internasional, banyak intelektual yang mulai membuka dan menelaah kembali bermacam pengetahuan dan teknologi tradisional yang oleh rumus modernisme dimarjinalisasikan karena dianggap tidak rasional. 

Eksploitasi besar-besaran alam oleh manusia-manusia rakus yang menyebabkan krisis ekologis di tingkat global menjadikan banyak intelektual mengembangkan kajian transformatif di mana PET dan teknologi tradisional dikaji dan diimplementasikan dalam kerja-kerja keberlanjutan.  

Kesadaran reflektif pejabat pemerintah yang menangani urusan tanah dan pertanian tentang pentingnya terasering, setidaknya, bisa menjadi modal awal untuk mendesain kebijakan transformatif dalam pertanian dan pengolahan lahan. Sebagai pengetahuan dan teknologi tradisional, terasering seperti ngais pasir dan nyabuk gunung bisa terus ditransformasikan ke dalam praktik bertani modern. 

Artinya, terasering sebagai kekuatan dan kekayaan ekologis masyarakat lokal dikembalikan ke dalam pikiran dan praksis masyarakat yang banyak dipengaruni nalar eksploitatif. Tentu ini bukan pekerjaan mudah. Buktinya, masih banyak petani yang enggan menerapkan terasering karena alasan biaya. 

Di sinilah tantangan bagi kaum intelektual, melakukan kajian mendalam lintas-disiplin untuk menciptakan formula dan media yang bisa mentransformasi kesadaran akan pentingnya ngais pasir dalam proses pertanian dan pemukiman di lahan dengan kemiringan tertentu.

Kajian akademis dibutuhkan agar kebijakan yang dibuat oleh pemerintah “tidak sekedar menjadi perayaan,” tetapi mengarah pada penguatan substansial dan praksis berorientasi pada keberlanjutan hidup dan kebudayaan. Bagi kaum muda yang terbiasa menggunakan bermacam media sosial sebagai bagian dari peradaban dan revolusi digital, ketersediaan materi akademis dibutuhkan untuk mentransformasi ngais pasir ke dalam ragam konten yang tidak monoton dan menarik. 

Para seniman dan sineas bisa dilibatkan dalam menciptakan bermacam karya seni dan film yang bisa mengkampanyekan makna-makna filosofis dan pentingnya ngais pasir melalui kerja dan karya estetik yang tidak bersifat doktriner. Begitupula jama’ah pengajian maupun komunitas agama yang lain, bisa diajak terlibat dengan mengkaitkan pengetahuan dan teknologi tradisional sebagai bentuk implementasi ayat-ayat Tuhan. 

Tentu masih banyak bentuk transformatif yang bisa dilakukan dengan kerja-kerja kolaboratif. Dalam konteks demikian, kesadaran akan pentingnya akan ngais pasir akan menjadi gerakan kultural-ekologis yang menjangkau warga secara luas.

Berpose di Terasering Panyaweuyan. Dok. IG Majalengkascenery
Berpose di Terasering Panyaweuyan. Dok. IG Majalengkascenery

Dengan gerakan tersebut, menempatkan terasering sebagai destinasi wisata karena melibatkan komunitas sehingga dampaknya bisa dirasakan untuk kesejahteraan bersama dan pemertahanan identitas budaya yang berasal dari PET dan teknologi tradisional. Apalah arti kemeriahan wisata ketika masyarakat lokal tidak lagi memahami makna filosofis terasering yang menyatu dalam laku hidup mereka. 

Apalah arti kemegahan wisata ketika masyarakat lokal tidak menjadi subjek yang benar-benar bisa terlibat dan menggerakkan keberdayaan mereka berbasis PET dan teknologi tradisional. Tentu saja, Disparbud Jawa Barat, para akademisi, dan masyarakat ingin ngais pasir menjadi warisan budaya tak benda yang memberikan nilai tambah bagi warga masyarakat melalaui aktivitas pariwisata yang tidak mengabaikan keunggulan dan kekuatan filosofis dan teknologisnya.

* Tulisan ini disampaikan dalam Webinar Sistem Tradisional Terasering sebagai Bagian dari Warisan Budaya Tak Benda Jawa Barat, diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 15 Juni 2022.

DAFTAR BACAAN

Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.

Berkes, Fikret. 2008. Sacred Ecology. New York: Routledge.

Berkes, Fikret. 1993. “Traditional Ecological Knowledge in Perspective.” In Traditional Ecological Knowledge: Concepts and Case, edited by  Julian.T. Ingglis, pp. 1-11. Ottawa: International Program on Traditional Ecological Knowledge in association with International Development Research Centre.

Brosius, J. Peter. 1997. “Endangered Forest, Endangered People: Environmentalist Representations of Indigenous Knowledge.” Human Ecology, 25(1): 47-69.

da Cunha, Manuela Carneiro and Mauro W. B. de Almeida. 2000. “Indigenous People, Traditional People, and Conservation in the Amazon.” Daedalus, 129(2): 315-338.

Dariah, Ai, U. Haryati, dan T. Budhyastoro. 2004. “Konservasi Teknologi Tanah Mekanik”. Diakses dari: https://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/berita-terbaru-topmenu-58/618-teknologi-konservasi-tanah-mekanik.

Edison, L. 2019, 17 Juli . “Sawah Terasering, Warisan Peradaban Dunia”. https://kumparan.com/lampu-edison/sawah-terasering-warisan-peradaban-dunia-1rUEnwHcedm/full.

Hermawan, Iwan. 2015. “Sengkedan: Bentuk Rekayasa Lingkungan untuk Pemukiman dan Pertanian.” Patanjala, 7(2): 201-216.

Houde, Nicolas. 2007. “The six faces of traditional ecological knowledge: challenges and opportunities for Canadian co-management arrangement.” Ecology and Society, 12(2): 34. http://www.ecologyandsociety.org/vol12/iss2/art34/.

Menzies, Charles. R.; and Caroline Butler. 2006. “Introduction: Understanding Ecological Knowledge.” In Traditional Ecological Knowledge and Natural Resource Management, edited by Charles R. Menzies, pp. 1-17.  Lincoln (USA): University of Nebraska Press.

Pamungkas, W.W. 2019, 11 Desember. “Bandung Utara Kritis, Pola Tanam Petani Dinilai Jadi Salah Satu Masalah.” https://bandung.bisnis.com/read/20191211/549/1180263/bandung-utara-kritis-pola-tanam-petani-dinilai-jadi-salah-satu-masalah.

Shackeroff, Janna M. and Lisa M. Campbell. 2007. “Traditional Ecological Knowledge in Conservation Research: Problems and Prospects for their Constructive Engagement.” Conservation and Society, 5(3):  343-360.

Suprihati. 2019. “”Nyabuk Gunung,” Budaya Memuliakan Tanah dan Menekan Erosi.” https://www.kompasiana.com/nprih/5df0945fd541df69d204f0d3/nyabuk-gunung-budaya-menekan-erosi-dan-memuliakan-tanah.

Vinyeta, Kirsten and Kathy Lynn. 2013. Exploring the Role of Traditional Ecological Knowledge in Climate Change Initiatives. Washington, D.C: United States Department of Agriculture Forest Service & Pasific Northwest Research Station.

Whyte, Kyle Powys. 2013. “On the role of traditional ecological knowledge as a collaborative concept: a philosophical study.” Ecological Process,  2(7): 1-12.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun