Sistem politik neoliberal menjadi hegemonik karena globalisasi yang ditandai oleh banyaknya negara yang mereoperasikan praktik pemerintahan, khususnya dalam bidang ekonomi-politik, dengan sistem demokrasi dan model ekonomi neoliberal yang mengutamakan kemajuan dan stabilitas ekonomi sekaligus sebagai kolaborator utama dari TNCs dan lembaga keuangan, serta menjadikan mereka sebagai aktor penggerak globalisasi (Kien, 2004: 473-477).
Karakteristik lainnya adalah munculnya “tatanan dunia baru” malalui kerjasama internasional dengan bumbu demokrasi pemerintahan sebagai akibat “globalisasi demokratisasi” dan “demokratisasi globalisasi” untuk menyelesaikan masalah di masing-masing negara (Gills, 2002: 164-171). Selain itu, tumbuhnya kekaisaran ekonomi politik dunia yang sekaligus menegaskan pengaruh hegemonik AS dan negara-negara maju lainnya (Pieterse, 2004).
Di samping itu, tekanan internasional, utamanya dari negara-negara maju, untuk membatasi kuasa negara dengan alasan perbaikan kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia di negara-negara pascakolonial, telah menjadi penyemai baru bagi neoliberalisme yang memproyeksikan pencerahan bagi warga negara yang bisa memainkan peran dan kemampuannya, baik modal maupun pengetahuan, sesuai dengan selera dan tuntutan pasar (Hindess, 2005; 2004).
Pernyataan itu tentu tidak dimaksudkan sebagai serangan balik terhadap penguatan hak asasi manusia dan demokrasi, tetapi lebih sebagai semacam peringatan bahwa neoliberalisme bisa dengan mudah memasukkan agenda ideologis-politiknya untuk melakukan hegemoni melalui kedua proyek tersebut.
Superioritas proyek pemberadaban dan peradaban neoliberal ala Barat yang diadopsi dan diterapkan di negara-negara pascakolonial bisa menghadirkan imperialisme modern di mana “sang pusat” tidak lagi membutuhkan institusi kultural di wilayah periperal karena keseluruhan sektor dari elit dan intelektual lokal yang mewarisi tradisi kolonial mengidentifikasi hasrat kosmopolitan mereka dengan pusat imperial, sang Barat (Brennan, 2008: 48).
Dalam pandangan Foucault (dikutip dalam Danaher, Schirato, & Webb, 2000: 91-94), penghargaan tinggi terhadap prinsip kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan yang dihubungkan dengan hukum pasar (bentuk-bentuk usaha bebas lebih produktif) menjadikan (neo)liberalisme telah menjadi formasi diskursif yang lebih disukai karena bisa menghentikan campurtangan dan kekerasan oleh negara dan praktik kepemerintahannya, serta lebih bisa menjamin otonomi relatif masyarakat sipil.
Konsepsi itulah yang menghadirkan tesis standardisasi peradaban dan pemberadaban neoliberal ala Barat, yang menurut Fidler (dikutip dalam Bowden, 2006: 29-30) meliputi beberapa aspek. Pertama, penghormatan pada hak asasi sipil dan politik manusia. Kedua, penghormatan terhadap masyarakat sipil dalam politik domestik maupun internasional.
Ketiga, komitmen pada peran hukum, baik dalam ranah domestik maupun internasional. Keempat, komitmen pada ekonomi pasar bebas secara domestik maupun perdagangan dan investasi bebas secara internasional. Kelima, komitmen untuk mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam ranah hukum, politik, ekonomi, dan tantangan-tantangan sosial lainnya.
Untuk menjadikan dunia bergerak sesuai keinginannya, negara-negara Barat tidak perlu hadir, tetapi ketika negara-negara pascakolonial berada dalam posisi ketergantungan terhadap formasi diskursif dan praktik neoliberal-global, maka hegemoni mereka sebenarnya tetap berjalan (Hoogvelt, 2001). Kondisi inilah yang melahirkan konsep dan praktik “Kekaisaran Baru”.
Hardt dan Negri (dikutip dalam Venn, 2006: 136) menjelaskan karakteristik “Kekaisaran Baru.” Pertama, bentuk baru kedaulatan, berbeda dari imperialisme sebelumnya. Kedua, terdensentralisasi dan menggunakan mesin sebagai moda operasinya. Ketiga, dijalankan oleh beragam saling-lintas dan memperlemah negara-bangsa. Keempat, mampu mengatur identitas-identitas hibrid dan hirarki yang fleksibel. Kelima, memapankan model baru produksi instrumen yuridis dan normatif guna memapankan ‘kedamaian’ dan tatanan universal. Keenam, kekuasaanya berasal dari klaim tentang kapasitasnya untuk membawa tatanan yang adil.
Penterjemahan ekonomi-politik neoliberal ke dalam praktik kehidupan negara pascakolonial telah menghadirkan kecenderungan baru munculnya elit-elit pemodal dalam industri budaya yang berideologi neoliberal dalam proses produksi dan distribusinya, sehingga budaya saat ini lebih banyak terkonsentrasi pada media hiburan yang mengandalkan teknologi seperti film, majalah, iklan ataupun program televisi (Hall, 2000).