Dinamisasi budaya hibrid pada masyarakat pascakolonial menjadi mungkin ketika mereka secara sadar dan kritis melakukan penyerapan terhadap budaya global dan mensintesakannya dengan kekayaan budaya lokal sehingga menghasilkan budaya glokal (Giulianotti & Robertson, 2007). Di samping itu, penyesuaian dan transformasi budaya modern-global ke dalam praktik kultural masyarakat lokal bisa menghadirkan “lokalisme baru” (Schuerkens, 2003; Hannerz, 2000).
Namun demikian, hibridisasi kultural bisa semakin memperlemah keragaman budaya lokal yang ada pada masyarakat poskolonial serta memperkuat hegemoni budaya global-modern berorientasi Barat, ketika para subjek hanya bisa melakukan proses penterjemahan, peniruan, dan pencampuran bentuk kultural dan gaya hidup global, tanpa bisa melakukan artikulasi dan negosiasi secara ajeg bentuk, praktik, dan nilai kultural yang ada dalam masyarakat.
Alih-alih memberdayakan lokalitas atau semangat baru kebangsaan, hibriditas yang terjadi pada tataran permukaan, cenderung memberi peluang bagi para pemodal industri budaya untuk menginkorporasi realitas keberagaman dan campuraduk selera kultural yang menjadi produk-produk layak jual (Kalra, Kaur, & Hutnyk, 2005: 91-93).
Salah satu contoh dari proses tersebut adalah hibridisasi kultural yang muncul dalam teks naratif maupun format film dan tayangan televisi, baik yang diproduksi di Hollywood, Amerika Latin, Asia, maupun Afrika, sebagai akibat logis dari globalisasi (Kraidy, 2005: 1-12).
Hibriditas kultural, dengan demikian, bisa menjadi bentuk hegemoni baru yang menjadikan masyarakat poskolonial enggan untuk menunjukkan identitas kultural, selain hibriditas mereka (Hogan, 2004: 14). Dalam kondisi tersebut, neoliberalisme akan mudah menyusupkan nilai ideologisnya melalui produk dan narasi hibrid industri budaya di negara-negara poskolonial, tanpa harus menunjukkan identitasnya secara jelas, tetapi meng-eksnominasi-kannya melalui percampuran dengan budaya lokal yang masih berkembang dalam masyarakat.
Merujuk pada paparan di atas, budaya pascakolonial dalam konteks globalisasi bisa dikonseptualisasikan sebagai bentuk, praktik, dan orientasi nilai serta makna kultural yang berlangsung dalam masyarakat sebagai respons terhadap masuknya pengaruh formasi diskursif neoliberalisme melalui sistem ekonomi, politik, dan media yang cenderung berkiblat pada negara-negara maju.
Mengikuti kecenderungan pascakolonialisme, paling tidak, terdapat tiga konsep tentang budaya pascakolonial. Pertama, dalam budaya pascakolonial bisa saja berlangsung hegemoni kultural yang berasal dari negara-negara maju, dalam hal ini Barat, yang masuk ke kehidupan masyarakat melalui formasi diskursif yang disebarluaskan oleh globalisasi industri budaya dan penerapan sistem ekonomi politik neoliberal, seperti maraknya budaya konsumen, gaya hidup ala Barat, marketisasi budaya, maupun semakin kendornya relasi dan nilai tradisional-lokal.
Kedua, sebagai akibat dari keberantaraan, budaya pascakolonial bisa mewujud sebagai budaya-budaya hibrid yang menjadi situs pertarungan untuk (1) menegosiasikan dan mengartikulasikan lokalitas dalam kehidupan kultural yang makin beragam dan (2) memperlemah lokalitas sebagai perekat nilai kebangsaan karena bentuk-bentuk kultural yang dinegosiasikan dan diartikulasikan hanya bersifat permukaan tanpa menekankan kedalaman ideologis.
Namun demikian, industri budaya pascakolonial yang dipengaruhi industri budaya global dengan kepentingan pasar dan komersilnya, selalu siap dan sigap membaca semua potensi politis tersebut. Karena hasrat kapital dan pasar yang begitu kuat dalam neoliberalisme, maka para pemodal industri budaya, baik dalam level global maupun nasional/lokal, bisa saja mentransformasikan kepentingan komersil mereka ke dalam potensi politik, hegemoni dan hibriditas, yang terjadi dalam tegangan-tegangan budaya pascakolonial dengan cara menginkorporasi dan mengartikulasikannya dalam mekanisme industri.
Salah satu konsepsi ideologis yang menggerakkan mekanisme inkorporasi ini adalah bahwa sangat penting bagi kapitalisme neoliberal untuk memperluas akumulasi modal, meskipun harus mengkomodifikasi nilai dan praktik kultural yang makna diskursifnya mempunyai potensi untuk melawan perluasan kepentingan ideologisnya di tengah-tengah masyarakat.
Kemajuan teknologi mendukung inkorporasi tersebut. Implikasinya, apapun bentuk budaya, baik yang ada di wilayah negara maju maupun negara pascakolonial, bisa dimainkan dan dikomodifikasikan dengan teknologi, sehingga teknologi dan produk-produk yang dihasilkannya akan menentukan arah kebudayaan sebuah masyarakat (Youngs, 1997). Kemajuan teknologi industri, transportasi, dan informasi menghadirkan “budaya kecepatan” dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi.