Teras rumah, bagi banyak orang, bukan sekedar bagian depan rumah yang mudah dilihat orang lain yang sedang lewat.Â
Teras merupakan bagian rumah yang berfungsi sebagai ruang peralihan; dari bagian luar ke bagian dalam, begitu pula sebaliknya.Â
Selain itu, teras rumah juga menjadi area di mana sirkulasi udara dan cahaya matahari bisa hadir, menciptakan proses alamiah bagi kesehatan penghuni rumah.
Seiring dengan berkembangnya budaya arsitektur dari waktu ke waktu, teras rumah tidak sekedar menjadi ruang peralihan dan area sirkulasi.Â
Lebih dari itu, para arsitek mendesain teras rumah yang selain memenuhi kedua fungsi tersebut juga bisa menghadirkan keindahan estetik.Â
Tidak hanya teras yang berada di bagian depan, para aristek juga berlomba-lomba untuk menciptakan desain untuk teras yang berada di bagian belakang rumah.Â
Keindahan aristektur teras menjadi bagian penting untuk memberikan makna estetik mendalam yang sekaligus bisa mengalirkan energi positif, sehingga siapapun yang berada di situ, baik penghuni/pemilik rumah maupun tamu, bisa menikmati kenyamanan.Â
Itulah mengapa saya memberi judul tulisan ini "budaya teras rumah". Budaya merupakan nilai dan tindakan tertentu yang dimaksudkan untuk makna dan tujuan baik dalam kehidupan.Â
Para arsitek ataupun para desainer eksterior yang mendesain teras rumah sejatinya mengonstruksi makna-makna estetik tertentu yang dilekatkan pada bangunan fungsional.Â
Proses tersebut tentu membutuhkan pengetahuan dan kreativitas yang tidak serta-merta hadir dalam waktu semalam. Para mereka butuh belajar hingga bisa menghasilkan karya yang indah dan bermanfaat. Â
Hasil karya desain teras yang ditawarkan ke publik pun sangat beragam berdasarkan keinginan pemilik rumah dengan menimbang trend yang sedang berkembang.Â
Selain nilai-nilai keindahan yang berasal dari bentuk dan model teras, karya para profesional tersebut juga mengandung makna-makna tertentu yang diharapkan bisa memperkuat kehangatan dan kenyamanan para penghuni ataupun para tamu.
Bagi pemilik rumah dengan kemampuan ekonomi tinggi, membeli desain dan membuat teras rumah yang indah dan nyaman menjadikan mereka harus relas mengeluarkan biaya tidak sedikit. Hal itu tentu sebanding dengan kebahagiaan yang akan mereka peroleh.Â
Selain itu, model teras rumah yang tidak umum atau tidak sama dengan teras rumah lain tentu bisa menjadi faktor pembeda antara si pemilik rumah dengan pemilik rumah lainnya, meskipun sama-sama di kawasan elit.Â
Faktor pembeda menjadi penting ketika masing-masing individu ingin memiliki partikularitas gaya atau model karya kultural yang memungkinkan mereka mendapatkan apresiasi dari individu-individu lain karena teras yang berbeda.
Namun, apakah teras rumah hanya bisa dimaknai terkait prestis dan sesuatu yang bersifat elit? Tentu tidak. Masih banyak makna dan praktik budaya yang berlangsung di dan berasal dari teras rumah. Dan, itu bisa juga hadir di teras rumah biasa yang biaya pembuatannya tidak harus mahal.Â
Apa yang terpenting adalah bagaimana peristiwa kultural bisa berlangsung di atau berasal dari teras. Apa yang saya maksudkan dengan peristiwa kultural adalah tindakan-tindakan bermakna, baik dilakukan sendiri atau bersama/komunal, yang menghadirkan keindahan dan kebahagiaan.
Contoh sederhana peristiwa kultural yang dilakukan secara individual di teras rumah adalah ngopi di pagi atau malam hari.Â
Bagi para penikmat kopi, ngopi di pagi hari di teras memberikan sensasi tersendiri. Apalagi kalau di pekarangan atau halaman terdapat banyak tanaman atau bunga.Â
Harum aroma kopi berpadu segarnya oksigen dan pesona embun menjadikan pikiran dan batin damai. Sruput demi sruput kopi yang diseduh sepenuh hati bisa menjernihkan pikiran dan menyiapkan semangat untuk menjalankan pekerjaan.Â
Sembari menikmati kopi, singkong goreng, talas rebus atau jajanan tradisional, kita bisa mengimajinasikan kemungkinan ataupun ide-ide bernas terkait pekerjaan, apapun bentuknya. Â
Selain ngopi, saya juga sering menikmati sarapan di teras. Mungkin bagi individu yang terbiasa makan di ruang makan, kebiasaan tersebut kurang atau tidak asyik. Namun, itu semua tergantung selera kultural kita. Kalau kita bisa menikmati sarapan di teras dengan bermacam keindahan melimpah, ya tidak menjadi masalah.Â
Bagi saya, sarapan di teras bisa melipatgandakan kenikmatan, meskipun menu yang kita makan sederhana, seperti nasi jagung. Hal itu bisa jadi dipengaruhi aroma makanan yang berpadu dengan suasana segar dari tanaman dan sinar matahari pagi yang mencerahkan hidup.Â
Hal lain yang bisa kita lakukan adalah menyiapkan proses untuk menanam bunga di pot. Mungkin ada yang menganggap itu sepele. Namun, menyiapkan proses penanaman bunga hias di teras merupakan peristiwa budaya yang membutuhkan kesabaran, pengetahuan, dan harapan baik agar mereka bisa tumbuh dan menciptakan komposisi estetik di halaman rumah.Â
Ini merupakan tindakan kecil yang bisa berdampak positif bagi kehidupan keluarga. Ketika bunga-bunga yang kita tanam tumbuh dengan baik, tentu akan menghadirkan keindahan dan kesegaran setiap hari. Â
Apa yang terkadang menjadi hadiah luar biasa adalah ketika sedang asyik ngopi atau sarapan di teras lalu datang makhluk ciptaan Tuhan yang ikut merasakan keindahan waktu.Â
Pernah suatu ketika saya ngopi ditemani seekor capung hijau yang tiba-tiba ia bertandang dan diam di sendok kopi. Ini tentu menjadi peristiwa langkah yang tak pernah terpikirkan akan terjadi sebelumnya.
Kehadiran kucing tetangga atau kucing kita yang menemani di teras ketika kita sedang bersantai juga memunculkan kebahagiaan kecil karena binatang pun bisa merasakan kenyamanan. Kehadirannya juga bisa terus melatih kepekaan dan kecintaan kita terhadap sesama makhluk hidup yang bisa saling memberi.Â
Ketika sedang sarapan, misalnya, kita bisa memberikan sebagian lauk untuk kucing. Tentu ia akan bahagia karena bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.Â
Sebaliknya kita juga bisa menangkap keindahan visual dari keberadaan kucing dan bisa membaginya dengan kawan-kawan melalui grup WA atau media sosial lainnya.Â
Ketika malam, sepulang dari kerja, setelah bertemu dan berbincang bersama keluarga, kita bisa nyruput kopi untuk merelaksasi pikiran dan batin. Semua permasalahan di tempat kerja kita luruhkan bersama kepulan asap tipis yang berasal dari seduhan kopi. Tentu, kita bisa membaca berita di media online ataupun informasi yang lagi hangat di media sosial.Â
Namun, jangan sampai larut dalam isu-isu yang memancing emosi di media sosial karena bisa menyebabkan ketidaknyamanan dan ketidaktenangan serta bisa berdampak kurang baik bagi kesehatan. Sewajarnya saja menyikapi sebuah isu. Kalaupun harus mengkritisi, lakukan dengan santai dan berbasis perspektif tertentu.Â
Syukur-syukur kalau ada anggota keluarga, suami, istri atau anak-anak, yang menemani di teras. Kita bisa berbincang santai tentang keluarga, seperti pendidikan anak-anak dan rencana rekreasi.Â
Ketika rekreasi bisa diwujudkan, kita bisa mengatakan, teras menjadi 'situs kecil' untuk menjalankan aktivitas kultural bersama keluarga di luar rumah.
Perbincangan santai di teras bisa menyegarkan-kembali energi untuk menjalankan fungsi dan aktivitas keluarga secara baik.Â
Seringkali masalah-masalah serius bisa didiskusikan secara baik-baik di teras sembari menikmati kopi atau teh dilengkapi cemilan, sehingga bisa menghasilkan solusi yang bernas dan bisa diterima semua pihak.
Selain bersama keluarga, teras rumah juga bisa menjadi ruang pertemuan yang asyik dan cair bersama kawan atau kolega.Â
Saya sering menjamu mereka di teras rumah, alih-alih ruang tamu. Selain lebih bebas berdiskusi tanpa mengganggu anggota keluarga, di teras saya dan kawan-kawan bisa berbincang secara santai.Â
Kopi, teh, dan jahe menjadi minuman favorit untuk berbincang. Camilan seperti tempe dan tahu goreng, kedelai edamame rebus, pisang goreng, buah-buahan atau talas rebus menjadikan diskusi berlangsung gayeng. Diskusi yang mengalir tentu bisa memunculkan ragam alternatif pemecahan masalah bersama. Â
Dari diskusi di teras sering juga muncul gagasan untuk membuat kegiatan budaya bersama para seniman. Ini menjadi bukti bahwa banyak aktivitas kultural yang berasal dari teras rumah.Â
Menariknya, kegiatan-kegiatan budaya berskala sedang dan besar seringkali muncul dan dimatangkan dalam perbincangan santai di teras rumah. Suasana kekeluargaan yang guyub dan rukun, memungkinkan keluarnya ide-ide kreatif dari perbincangan di teras.Â
Artinya, aktivitas kultural di teras rumah berupa perbincangan dengan kawan/kolega bisa menghasilkan even budaya yang berasal dari teras rumah.Â
Sebuah ruang peralihan dari luar menuju dalam rumah atau sebaliknya mampu memroduksi banyak aktivitas kultural, asalkan kita mau memanfaatkannya dengan baik.Â
Bukan mewah atau sederhananya teras yang akan menentukan tumbuhnya aktivitas kultural, tetapi kemauan dan kemampuan kita untuk memaknai teras sebagai situs/ruang memiliki dan menghasilkan bermacam makna dan peristiwa.Â
Semewah apapun sebuah teras, kalau kita hanya menjadikannya sebagai material semata, tidak akan tumbuh makna-makna kultural yang membahagiakan.
Dari penjelasan sederhana di atas, tidak terlalu salah kiranya kalau saya mengatakan bahwa kesempatan untuk melakukan aktivitas kultural di teras rumah merupakan kemewahan. Mengapa demikian? Tidak semua individu bisa memiliki waktu cukup untuk sekedar ngopi di teras, baik seorang diri, bersama anggota keluarga ataupun kawan.Â
Manusia masa kini yang harus mengikuti jadwal pekerjaan yang cukup ketat atau harus mengejar waktu di transportasi umum seringkali tidak berkesempatan untuk menikmati suasana santai di teras rumah yang mereka bangun dengan uang hasil dari pekerjaan.Â
Kesempatan untuk berbudaya di dan dari teras rumah, bagi saya, tidak bisa diukur dengan nominal uang. Memang, untuk membuat teras rumah atau sekedar membeli kopi dan camilan, kita bisa menghitung jumlah uang yang kita keluarkan. Namun, keindahan, kebahagiaan, dan kreativitas yang berkembang di dan dari teras rumah jelas tidak bisa dinilai dengan nominal tertentu.Â
Lebih dari itu, di teras rumah kita bisa merasakan waktu jeda dari rutinitas yang bisa menciptakan keterasingan. Kita bisa menghayati pikiran dan batin melalui asupan keindahan dan kebahagiaan dari bermacam peristiwa kultural yang berlangsung. Di situlah kita bisa menemukan betapa berharganya menikmati hal-hal kecil yang mampu terus menjaga jati diri kita sebagai manusia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H