Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Membaca-kembali Film Horor Indonesia Era 2000-an

19 April 2022   05:49 Diperbarui: 21 April 2022   19:34 3741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Bangsal 13. Dok. Rexinema

Pada era 2000-an awal, industri film Indonesia mencatat booming dua jenre film, yakni: (a) film cerita remaja dan (b) horor. Booming Ada Apa Dengan Cinta? ternyata menjadi inspirasi bagi para sineas untuk membuat film-film dengan tema serupa, semisal Eiffel I’m in Love, Bintang Jatuh, Brownies, Buruan Cium Gue, Virgin, Tentang Dia, Ungu Violet, Heart, Cinta Pertama, hingga Ekskul. 

Sementara, kebangkitan film horor dimulai ketika Jelangkung memperoleh respons yang cukup positif dari para penonton film Indonesia. Kesuksesan film tersebut diikuti dengan dibuatnya film horor lain seperti Mirror, Tusuk Jelangkung, The Soul, Missing, Bangsal 13, Gotcha, 12:AM, Di Sini Ada Setan, Bangku Kosong, Rumah Pondok Indah, Kuntilanak, Hantu Jeruk Purut, KM 14, dan Pocong

Apa yang menarik untuk dicermati adalah perkembangan film horor yang cukup signifikan, baik dari segi kuantitas naratif maupun tema cerita yang disuguhkan. Dengan menggunakan teknik-teknik pengambilan gambar yang menyerupai film horor Hollywood, film horor Indonesia ternyata mampu menjadi ‘tuan rumah’ di tengah-tengah serbuan film-film Hollywood, Hongkong, India, maupun Korea. 

Meskipun sering dianggap sebagai tontonan yang mengumbar dan menjual “ketakutan”, para sineas ternyata tidak gentar dan tetap melanjutkan kesenangan mereka dalam mengeksplorasi tema-tema hantu dalam film-film mereka. Beberapa nama sutradara yang ‘ahli’ dalam menggarap film horor antara lain: Rizal Matovani, Rudy Sujarwo, Joko Anwar, dan Koya Pagato. Dalam konteks industri, apa yang dilakukan oleh para sineas tersebut merupakan prestasi meskipun dalam hal penggarapan masih banyak mendapat kritik. 

Tulisan ini berusaha membaca dan mendiskusikan-kembali perkembangan film horor Indonesia pada era 2000-an awal. Asumsi dasar dari kajian ini adalah perubahan dalam hal narasi, teknik penggarapan, dan tema horor era 2000-an mampu menjadikannya selalu digemari oleh masyarakat. 

IDEALISME POPULIS DAN KOMODIFIKASI HANTU-HANTU LOKAL

Adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri bahwa film-film horor selalu saja menarik minat penonton, dari era Suzzana hingga masa kini. Tentu ketenaran film-film hantu itu tidak semata-mata karena citra-citra yang menakutkan, tetapi ada faktor-faktor yang menyebabkannya.

Bisa dibilang eksploitasi rasa takut yang dimiliki oleh setiap individu merupakan faktor penting yang mendukung popularitas film-film horor selama ini, baik yang berasal dari Hollywood maupun produksi dalam negeri. Setiap manusia pasti menyimpan rasa takut yang itu berada dalam alam bawah sadar. Dan, rasa takut itu perlu diekspresikan dengan menyaksikan sesuatu yang menakutkan pula sehingga menonton film-film yang menakutkan merupakan pilihan yang cukup masuk akal. 

Rizal Matovani, sutradara Kuntilanak (2006), dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa horor harus berhasil membuat penonton ketakutan. Kerangka sederhana tersebut bisa disambungkan dengan prinsip bahwa film itu pada dasarnya harus mempunyai nilai hiburan. Maka, film horor itu harus menyeramkan, tapi juga asyik untuk dinikmati. 

Ada unsur seru, tegang, tetapi menyenangkan. Ibaratnya orang naik rollercoaster. Semuanya, tahu bahwa permainan itu itu mengerikan, tapi tetap saja banyak yang mengantri untuk menaikinya. Kenapa? Karena manusia senang merasakan ketegangannya, lantas teriakteriak dengan puas.  

Faktor kedua adalah setiap manusia pasti mempunyai memori kolektif (collective memory) tentang hantu, meskipun tidak setiap orang bisa melihat dengan mata telanjang makhluk yang sudah ada sebelum Nabi Adam AS diciptakan ini. Dan, kita di Indonesia sudah sangat biasa dengan cerita-cerita hantu yang bergentayangan di seputar alam manusia, mulai kuntilanak, pocong, suster ngesot, wewe gombel, hingga hantu si muka rata. 

Mulai kecil hingga dewasa kita sudah sangat familiar dengan cerita-cerita menyeramkan seputar eksistensi mereka yang suka menakut-nakuti manusia sehingga ketika certia-cerita itu diangkat ke dalam layar perak, maka rasa penasaran membawa penonton untuk menyaksikannya. 

Adegan dalam film Jelangkung. Dok. Rexinema
Adegan dalam film Jelangkung. Dok. Rexinema
Maka, sangat masuk akal kalau para sutradara muda seperti Rudy Sujarwo membuat film Pocong 2 (2006) yang merupakan kelanjutan Pocong 1 yang tidak sempat beredar karena dilarang oleh Lembaga Sensor Film. Begitu juga dengan Rizal Matovani yang membuat Jelangkung (2001) dan Kuntilanak (2006). 

Rupa-rupanya para sineas sadar betul tentang faktor rasa takut dan memori kolektif tentang eksistensi hantu dalam kehidupan manusia. Komodifikasi rasa takut dan rupa-rupa hantu lokal menjadi sumber inspirasi kreativitas yang sepertinya tidak pernah habis. Menariknya, dari beberapa cerita yang diangkat, ternyata pernah menjadi perbincangan ramai di masayrakat, bahkan dianggap sebagai kisah yang benar-benar ada atau nyata, terlepas benar atau tidaknya. 

Salah satu film yang diklaim berasal dari kisah nyata adalah Hantu Pondok Indah (Siregar, 2006), meskipun belakangan dikatakan bahwa keangkeran tersebut hanya mitos. Hantu Bangku Kosong (Kardit, 2006) dan Hantu Jeruk Purut (Pagayo, 2006) merupakan film lain yang diangkat dari cerita mistis di masyarakat. Keterkenalan cerita mistis tersebutlah yang mendorong produksi film itu, karena diharapkan penonton akan berbondong-bondong menonton. 

Dan dalam iklim industri budaya, popularitas menjadi hal yang penting karena motivasi utama dalam produksi sebuah karya memang untuk memperoleh keuntangan sebanyak-banyaknya. Adorno (1997: 25) menjelaskan bahwa komoditas kultural dari industri dikendalikan oleh prinsip perwujudannya sebagai nilai, dan bukan oleh muatan-muatan spesifiknya ataupun formasi harmonisnya. Keseluruhan praktik industri budaya mentransfer motif keuntungan secara telanjang dalam bentuk-bentuk kulturalnya. 

Dalam rangka untuk memperoleh keuntungan maka pilihan untuk melakukan komodifikasi terhadap cerita-cerita populis yang berkembang di masyarakat merupakan pilihan yang tepat. Tentu saja diangkatnya cerita tentang hantu-hantu lokal ke dalam layar perak merupakan sebuah strategi populis dari para sineasnya. 

Karena dengan mengusung cerita yang begitu terkenal di masyarakat, maka mereka sebenarnya sudah mendapatkan modal untuk popularitas film yang dibuat. Meskipun kebenaran kisahnya bisa jadi hanya menjadi cerita lisan yang menakutkan karena sering diperbincangkan. Ketika film semakin populer maka bisa dipastikan penghasilan yang akan didapatkan dari pemutaran di bioskop semakin meningkat. 

Motivasi untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya inilah yang kemudian dianggap menjadikan industri budaya kurang bermutu, remeh-temeh, dan hanya mengajak penonton menjadi subjek passif. Film, misalnya, dianggap hanya menghadirkan komodifikasi kehidupan yang tidak memberikan apa-apa selain kesenangan sesaat ataupun sekedar menggiring penonton menjadi subjek yang malas untuk berpikir secara mendalam karena semua sudah ditampilkan dengan sederhana dan mudah dalam film. 

Poster film Hantu Bangku Kosong. Dok. Kharisma StarVision Plus
Poster film Hantu Bangku Kosong. Dok. Kharisma StarVision Plus

Subjek menjadi terbelenggu dalam ruang-ruang sempit kultural yang hanya bersifat superfisial. Strinati (2004: 61) mengatakan bahwa Adorno menganggap keterbelengguan sebagai individu ini menjadi penghalang utama bagi lahirnya pencerahan pribadi sehingga individu-individu tidak memiliki kebebasan dalam menilai dan memutuskan secara sadar pilihan-pilihan bagi diri mereka sendiri. Kondisi inilah yang kemudian melahirkan penipuan massal. 

Merujuk pada pandangan di atas, maka bisa dikatakan bahwa film horor dan juga genre-genre film lain yang bergerak dalam lingkaran industri budaya pada hakekatnya hanya menghadirkan kedangkalan pemikiran bagi penikmat. Namun, ketika kita hanya berhenti pada pandangan tersebut, maka kajian ilmiah terkait film sebagai bentuk budaya yang nyata-nyata sangat populer dewasa ini kurang berkembang. 

Memang benar, semua produk industri budaya pada dasarnya bersifat artifisial, namun kita juga tidak harus berhenti sampai di situ. Masih ada sisi-sisi lain dari film yang bisa kita kritisi. Kita bisa saja melakukan kajian struktur cerita maupun muatan-muatan ideologis yang ada di dalam sebuah film. 

Di samping itu kita juga bisa menemukan konstruksi makna dan negosiasi gagasan yang ada dalam narasi horor. Sementara, untuk tingkat konsumsi penonton kita juga bisa melakukan kajian resepsi yang bersifat etnografis. Artinya, dari film horor, misalnya, kita bisa menemukan banyak hal yang tetap kontekstual untuk dikaji. 

HOROR ERA 2000-AN AWAL: TEKNIK, VISUALITAS & LOGIKA NARATIF BARU 

Hal lain yang menarik dari perkembangan film horor adalah penggunaan teknik-teknik baru penggarapan, baik dalam sudut pengambilan gambar (shooting), pensuasanaan, setting, maupun ilustrasi musik. Dari judul-judul film yang disebutkan di atas, bisa dikatakan bahwa semuanya bergaya meniru model horor Hollywood, meskipun tidak sepenuhnya.

Teknik pengambilan gambar hantu dimunculkan sekilas-sekilas dengan unsur-unsur kejut yang berlangsung sepanjang cerita. Ditambah musik suasana bernuansa seram yang mengiringi munculnya hantu-hantu menjadikan suasana semakin seram. Masuknya gaya baru ini bisa dilihat sebagai usaha para sineas untuk lebih mendekatkan garapan mereka ke dalam selera generasi muda yang sudah biasa menikmati film-film Hollywood, tetapi tetap berbasis tema-tema lokal. 

Poster film Pocong 2. Dok. SinemArt
Poster film Pocong 2. Dok. SinemArt

Di samping itu, dalam film horor era 2000-an terdapat kecenderungan untuk menggarap tema yang tetap berkaitan dengan hantu-hantu lokal tetapi dengan alur cerita yang berbeda dengan film-film horor sebelumnya. Pada era Suzzana, film horor selalu diwarnai dengan hantu-hantu gentayangan yang balas dendam terhadap orang-orang yang melukainya ketika mereka masih hidup (masih menjadi manusia), tetapi kemudian mereka dikalahkan oleh kekuatan sakti para pemuka agama (ulama maupun pendeta). 

Para ulama atau pendeta itu dengan kekuatan relijius ayat-ayat suci dan juga benda-benda suci (seperti tasbih, sorban, maupun salib) mampu mengalahkan para hantu dan mengembalikannya ke alam mereka. Pada film horor era 2000-an awal, peran pemuka agama ditiadakan. 

Para hantu dalam horor era 2000-an awal memang hampir sama dengan hantu pada film horor sebelumnya, meskipun visualitasnya lebih menyeramkan, tetapi kehadiran mereka digambarkan ‘lebih merdeka’ di mana mereka tidak diusik oleh kekuatan sakti para pemuka agama yang mampu mengalahkan atau membinasakannya. 

Para sineas horor rupa-rupanya ingin memberikan alternatif tentang eksistensi hantu yang selama ini digambarkan selalu kalah oleh pemuka agama. Satu tawaran menarik dari alur cerita horor era 2000-an awal adalah bahwa hantu tidak selamanya harus dikalahkan oleh pemuka agama dan tidak harus menghuni rumah-rumah angker. 

Para hantu itu bisa saja masuk ke dalam kehidupan manusia biasa dan menjelma sebagai ‘manusia’. Mereka bisa menjadi para siswi atau mahasiswi cantik yang tengah menjalani kuliah. Kadang mereka menjelma sebagai satpam atau ibu kantin sebuah SMA. Mereka juga bisa hadir di sekolah, rumah mewah, bioskop, diskotik, maupun apartemen kelas atas. Film-film horor Indonesia era 2000-an awal mempunyai struktur alur cerita yang cukup tipikal. 

Awal. Para aktor menjalani akitvitas sehari-hari. Ada yang sekolah, kuliah, atau bekerja. Hantu menjelma dalam kehidupan manusia atau mulai menampakkan kehadirannya di tengah-tengah aktivitas tersebut. Dan, awalnya hanya beberapa aktor yang mempercayai kehadiran mereka.

Konflik. Mereka mulai mengalami kejadian-kejadian aneh yang kemudian dianggap sebagai tandatanda adanya hantu di sekitar mereka. Mereka mulai mencari kebenarannya. Sementara para hantu mulai mengganggu kehidupan seharihari para aktor. 

Klimaks. Para hantu secara terbuka mulai beraksi dengan melukai atau menakuti para aktor. Beberapa aktor terbunuh akibat ulah para hantu tersebut. Keadaan semakin panik. Sementara sebagian aktor yang lain berusaha mencari jalan keluar dari masalah tersebut, meskipun masih tetap dihantui rasa takut. 

Resolusi. Datang aktor lain yang mengetahui penyebab kematian dari si hantu semasa hidupnya. Dengan bantuan si aktor tersebut para aktor yang masih hidup berusaha mengembalikan keberadaan hantu tersebut ke dunia mereka. 

Dalam Lentera Merah (Bramantyo2006), misalnya, hantu diceritakan menjadi mahasiswi cantik yang masuk ke dalam kehidupan kampus dengan menjelma sebagai aktivis pers mahasiswa. Dengan menjadi mahasiswi dan aktivis, ia berusaha balas dendam terhadap teman-teman seperjuangannya pada masa awal orde baru yang menyebabkan kematiannya hanya karena si hantu dulunya dianggap “terlalu kiri” dan berbahaya bagi eksistensi terbitan mereka, Lentera Merah. 

Hantu yang menjelma mahasiswa cantik (diperankan Laudya C. Bella) dalam Lentera Merah. Dok. Rapi Films.
Hantu yang menjelma mahasiswa cantik (diperankan Laudya C. Bella) dalam Lentera Merah. Dok. Rapi Films.
Dendam si hantu dilampiaskan juga kepada anak-anak temannya yang aktif di Lentera Merah. Satu per satu para aktivis muda dibunuh dengan cara yang bervariasi. Cerita berakhir ketika salah seorang temannya, yang juga mantan pacarnya waktu ia masih hidup dulu, datang ke kampus dengan membawa artikel yang ditulis si hantu. Artikel itulah yang menyebabkan ia dituduh kiri. 

Si hantu mengira bahwa pacarnya yang memasukkan artikel ke dalam terbitan Lentera Merah. Cerita berakhir ketika si hantu menangis setelah mendengar penjelasan mantan pacarnya, dan saat yang bersamaan para aktivis muda Lentera Merah menemukan tulang-belulang si hantu di sebuah kamar kecil dan mengumpulkannya untuk kemudian dibacakan doa. 

Alur cerita serupa juga bisa ditemukan dalam Jelangkung, Tusuk Jelangkung, Rumah Pondok Indah, Gotcha, 12:00 AM, Di Sini Ada Setan, Bangsal 13, dan film-film lainnya. 

Tentu saja alur cerita tersebut bisa dianggap melawan arus utama cerita hantu yang beredar dalam masyarakat yang mengatakan bahwa hantu tidak akan pernah bisa menyentuh dan menyakiti manusia karena manusia lebih mulia dari pada golongan jin. Meskipun para hantu bisa menjelma dalam kehidupan manusia dan melukai mereka, penyelesaiannya dari masalah yang muncul lebih memprioritaskan pada kemampuan para aktor yang jauh dari kekuatan-kekuatan sakti. 

Ini bisa dibaca bahwa untuk menghadapi masalah-masalah yang muncul dari keberadaan hantu dan bangsanya, kita tidak harus selalu bergantung kepada para pemuka agama maupun mereka yang mengaku mampu menangkap hantu. Dengan menggunakan nalar sebenarnya para hantu itu bisa dikembalikan ke alam mereka, meskipun proses menuju itu harus memakan korban yang tidak sedikit. 

Maka, kita bisa melihat sebuah negosiasi untuk memasukkan pandangan baru tentang eksistensi hantu dalam kehidupan. Seperti dipaparkan di atas, hantu itu bisa berwujud manusia dan bisa masuk ke dalam dimensi manusia serta berperilaku layak seperti manusia. Tentu saja ini merupakan strategi untuk meruntuhkan hegemoni pandangan lama tentang eksistensi hantu. Hantu bisa mencekik bahkan mengalahkan manusia, tentu dengan segala tipu dayanya.

Poster Bangsal 13. Dok. Rexinema
Poster Bangsal 13. Dok. Rexinema

Selanjutnya, melalui cerita hantu yang bisa mencekik dan mencelakai manusia, sineas horor era 2000-an rupa-rupanya juga ingin menegosiasikan satu gagasan besar bahwa tidak selamanya persoalan hantu itu diselesaikan dengan kekuatan-kekuatan supranatural yang dimiliki oleh seorang ustadz, kyai atau pendeta. 

Kekuatan-kekuatan merekalah yang selama ini dianggap mampu menghancurkan fisik hantu untuk kemudian mengirimnya ke ‘alam yang lebih pantas’ atau bahkan menyimpannya di dalam botol. Dengan menampilkan cerita hantu yang mampu mencelakai manusia serta menuntaskan dendam masa lalunya, film-film horor berusaha mengatakan bahwa hantu juga bisa membangun relasi dengan manusia untuk menciptakan logika baru tanpa dicampuri urusan tasbih dan ayat suci ataupun salib. 

Kalau semua digiring pada otoritas ‘orang-orang pintar’, maka persoalan ghaib di dunia ini sepertinya hanya tergantung pada ucapan-ucapan suci mereka. Dengan kata lain hantu dan bangsanya hanya menjadi urusan para ahli rukyah. 

Poster film 12 AM. Dok. Grandiz Media Production
Poster film 12 AM. Dok. Grandiz Media Production

Wacana tentang hantu sebagai pengganggu manusia telah menjadi pengetahuan dalam masyarakat yang diyakini kebenarannya. Sebagaimana kita saksikan saat ini, keahlian menumpas bangsa hantu telah melahirkan praktik-praktik konsultasi dan jasa yang dikelola secara profesional oleh mereka yang mengaku punya keahlian rukyah dengan menggunakan ayat-ayat suci. 

Pengetahuan tersebut bahkan diperkuat dengan program-program di televisi yang semakin memperkuat citra kebenaran dari praktik rukyah sehingga kemampuan menumpas hantu bisa dianggap sebagai rezim kebenaran yang tengah beroperasi dalam masyarakat. Keberanian memunculkan 'hantu-hantu manusiawi' bisa dikatakan mengganggu kuasa hegemonik para ustadz, kyai, pendeta, ataupun para ahli rukyah yang selama ini diyakini sebagai mereka yang mempunyai kelebihan dalam menangani bangsa hantu.

Dengan demikian usaha para sineas merupakan kritik tehadap kuasa pihak-pihak yang pintar menangani hantu. Keberanian mereka untuk membuat visualitas dan cerita hantu yang melawan arus utama merupakan politik representasi yang memberikan alternatif pemahaman baru kepada para penonton.

HANTU-HANTU MODIS

Apa yang sangat khas dalam film horor era 2000-an adalah visualitas atau perwujudan visual hantu yang meskipun masih menyeramkan, dalam banyak narasi digambarkan mirip dengan manusia biasa. Tentu hal itu tidak bisa dilepaskan dari ceirta yang beredar dalam masyarakat urban, semisal tentang hantu-hantu penghuni rumah atau gedung mewah tetapi terkesan angker di wilayah metropolis. 

Banyak tokoh hantu didekatkan dengan ‘perwujudan manusiawi’, mengenakan pakaian modis, gaya rambut yang up to date, bahkan wajah yang menarik. Hantu tidak melulu divisualkan mengenakan rok panjang dan rambut terurai acak-acakkan dengan kedua tangan menjulur ke depan. Mereka digambarkan sebagai makhluk yang juga punya kepribadian seperti manusia. Di samping itu, pakaian mereka juga tidak jauh dengan pakaian orang-orang biasa.

Visualitas hantu yang modis sekaligus seram bisa dilihat sebagai usaha negosiasi dari para seniman film terhadap cerita-cerita seram tentang hantu dan juga terhadap unsur-unsur modernitas yang diwakili dengan tampilan-tampilan modis dari para hantu tersebut. Kesan modis ini mewakili imajinasi-imajinasi tentang hantu yang dipengaruhi oleh lingkungan kultural masyarakat urban. Dengan visualitas tersebut tim kreatif juga ingin mengesankan hantu itu seperti manusia biasa, bisa modern.

Di samping visualitas modis hantu, yang menarik untuk dikaji adalah setting tempat munculnya para hantu itu. Pada era 80-an, tempat munculnya hantu adalah tempat-tempat angker, dengan pohon besar, kepulan asap, dan jalanan sunyi. Dalam film horor era 2000-an, setting ruang kemunculan hantu tidak melulu di tempat-tempat yang dikesan angker yang sepi. 

Hantu-hantu itu muncul di tempat-tempat yang biasa digunakan untuk beraktivitas, misalnya perpustakaan, rumah sakit, taman, gudang sekolah, dan lain-lain. Suasana yang ada juga tidak selalu gelap, tetapi ada juga yang muncul di siang hari. Variasi setting pemunculan hantu-hantu di atas bisa dianggap sebagai usaha para sineas film horor untuk menciptakan keberagaman gaya. 

Di satu sisi mereka tetap mempertahankan atmosfer gelap dan temaram (malam hari dekat pepohonan) sebagai setting munculnya hantu yang merupakan mainstream anggapan yang berkembang dalam masyarakat selama ini. Di sisi lain mereka menciptakan setting alternatif, berupa waktu siang dengan cahaya terang dan tempat-tempat urban.

KESERAGAMAN HOROR

Salah satu realitas yang tidak bisa dihindarkan dari industri budaya adalah munculnya homogenitas dan keseragaman produk. Dalam banyak produk industri budaya kita bisa menemukan banyak kemiripan semisal dalam hal tema, alur cerita, maupun teknik penggarapan. Kondisi tersebut memang tidak bisa dilepaskan dari trend yang sedang berkembang dalam masyarakat. 

Keseragaman tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi perkembangan ke dapan film-film horor Indonesia. Ketika semua judul film horor mengambil tema cerita dan teknik penggarapan yang sama, maka penonton bisa jadi merasa jenuh karena secara psikis mereka tidak mungkin selamanya tertarik dengan hal-hal yang sama. 

Kejenuhan inilah yang akan menimbulkan rasa malas untuk menonton film horor. Yang harus diperhatikan bagi para sineas film horor adalah prinsip kebaruan (novelty) yang menjadi salah satu dasar bagi suksesnya produk industri budaya di pasaran. Masing-masing rumah produksi sebisa mungkin harus menciptakan film horor yang berbeda satu dengan yang lain karena hal itu akan menciptakan kebaruan dalam keberagaman. 

Lebih dari itu, keseragaman bisa dibaca sebagai sebuah stagnansi, kemandegan kreativitas. Dengan hanya membuat film yang serupa satu dan yang lain, maka kita bisa melihat betapa para sineas horor Indonesia saat ini kurang bisa memunculkan ide-ide kreatif yang cerdas dan brilian. 

Kurangnya kreativitas tersebut merupakan pertanda bahwa pada benak para sineas bercokol pragmatisme dengan hanya bisa mengekor kesuksesan film lain. Akan sangat menarik ketika para sineas itu bisa membuat sesuatu yang berbeda sehingga tingkat kreativitas dan kecerdasan mereka bisa selalu terasah dengan kerja dan karya yang mampu memberikan atmosfer dinamis. 

SIMPULAN

Terlepas dari orientasi profit yang menjadi ideologi rumah produksi, para sineas muda Indonesia berani membuat terobosan estetik dan tematik dalam memandang persoalan hantu. Dan terbukti film-film horor masih diproduksi dengan menggunakan teknik-teknik pengambilan gambar yang canggih. Ternyata publik juga memberikan respons positif sehingga film-film horor baru terus diproduksi.

Di masa mendatang bisa jadi trend film horor akan semakin berkembang. Para sineas muda kita mungkin akan terus mengaduk-aduk sisi psikis berupa rasa takut dalam diri setiap manusia sehingga para penonton akan selalu tertarik menyaksikan film-film horor terbaru. 

Karena pada dasarnya dalam diri setiap manusia bersemayam rasa takut yang perlu dilampiaskan dengan teriakan ataupun ekpresi takut lain ketika menonton film horor. Masalahnya, masihkah film horor digemari ketika ia sudah menjadi trend? Apakah tidak mungkin penonton menjadi jenuh?

Mungkin saja itu semua terjadi ketika para sineas hanya mandeg pada visualitas dan tema-tema hantu yang seragam sehingga menjadi sajian monoton yang menjenuhkan. Namun ketika para sineas bisa terus melakukan eksperimen untuk menemukan visualitas dan tema-tema hantu yang selalu baru, sangat mungkin penonton akan terus melihat film-film horor. 

Dan, yang perlu dicatat, cerita-cerita tentang hantu dalam masyarakat tidak akan pernah habis, tergantung bagaimana para sineas membaca cerita-cerita tersebut sebagai inspirasi untuk tetap kreatif sembari terus memperjuangkan pandangan-pandangan baru yang bisa mengganggu pandangan-pandangan hegemonik dari otoritas kuasa dalam masyarakat.

RUJUKAN

Adorno, Theodor W. 1997. “Culture Industry Reconsidered”, dalam Paul Marris and Sue Tornhman (Eds). Media Studies: A Reader.Edinburgh: Edinburgh University Press.hlm.25. 

Chavchay Syaifullah & Eri Anugerah. “Tafsir Baru Rumah Horor Pondok Indah”, dalam Resensi Film Media Indonesia, 26 Pebruari 2006, diakses dari http://www.mediaindonesia.com/resensi/details.asp?id=331

“Film Bangku Kosong Berangkat dari Peristiwa Nyata”, dalam Pikiran Rakyat, 12 November 2006, diakses dari http://pikiran-rakyat.com/cetak/2006/112006/12/0403.htm 

“Hantu Jeruk Purut, Tak Sehoror Cerita Yang Beredar” dalam Info Sinema, 29 Nov 2006, diakses dari http://www.kafegaul.com/sinema/article.php?cat=3&id=27462

“Seperti Naik Roller Coaster”, Interview Rizal Mantovani (Sutradara Kuntilanak), dalam http://filmkuntilanak.com/interview_01_rizal.html.

Strinati, Dominic 2004. Popular Culture Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (alih bahasa Abdul Mukhid). Yogyakarta: Penerbit Bentang.hlm.61.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun