Mungkin saja itu semua terjadi ketika para sineas hanya mandeg pada visualitas dan tema-tema hantu yang seragam sehingga menjadi sajian monoton yang menjenuhkan. Namun ketika para sineas bisa terus melakukan eksperimen untuk menemukan visualitas dan tema-tema hantu yang selalu baru, sangat mungkin penonton akan terus melihat film-film horor.
Dan, yang perlu dicatat, cerita-cerita tentang hantu dalam masyarakat tidak akan pernah habis, tergantung bagaimana para sineas membaca cerita-cerita tersebut sebagai inspirasi untuk tetap kreatif sembari terus memperjuangkan pandangan-pandangan baru yang bisa mengganggu pandangan-pandangan hegemonik dari otoritas kuasa dalam masyarakat.
RUJUKAN
Adorno, Theodor W. 1997. “Culture Industry Reconsidered”, dalam Paul Marris and Sue Tornhman (Eds). Media Studies: A Reader.Edinburgh: Edinburgh University Press.hlm.25.
Chavchay Syaifullah & Eri Anugerah. “Tafsir Baru Rumah Horor Pondok Indah”, dalam Resensi Film Media Indonesia, 26 Pebruari 2006, diakses dari http://www.mediaindonesia.com/resensi/details.asp?id=331
“Film Bangku Kosong Berangkat dari Peristiwa Nyata”, dalam Pikiran Rakyat, 12 November 2006, diakses dari http://pikiran-rakyat.com/cetak/2006/112006/12/0403.htm
“Hantu Jeruk Purut, Tak Sehoror Cerita Yang Beredar” dalam Info Sinema, 29 Nov 2006, diakses dari http://www.kafegaul.com/sinema/article.php?cat=3&id=27462
“Seperti Naik Roller Coaster”, Interview Rizal Mantovani (Sutradara Kuntilanak), dalam http://filmkuntilanak.com/interview_01_rizal.html.
Strinati, Dominic 2004. Popular Culture Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (alih bahasa Abdul Mukhid). Yogyakarta: Penerbit Bentang.hlm.61.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H