Rangkaian arkaik tersebut benar-benar menarik secara visual serta diharapkan mampu mengingatkan para penonton ritual akan kesakralan dari gembyangan ini. Namun, sekali lagi, semua makna ideal tersebut memang diwacanakan dan dipraktikkan untuk mempromosikan kemenarikan wisata yang dibingkai dalam ritual wisuda calon waranggono. Dalam konteks wisata budaya, praktik-praktik tersebut memang menjadi wajar karena kepentingan untuk menarik minat para penonton sebagai wisatawan.
Pertanyaan lebih lanjut yang bisa dimunculkan adalah mengapa para pelaku ritual di Dusun Ngrajek membolehkan aparat negara menginkorporasi ritual mereka dengan mengusung program wisata budaya? Terdapat beberapa jawaban seminal yang bisa dimunculkan untuk menjawaban pertanyaan tersebut.
Pertama, sejak zaman kolonial hingga saat ini, para aparatur negara menempati posisi dominan sebagai subjek yang berhak mengarahkan dan memimpin warga kebanyakan. Maka, ketika mereka datang dan menginkorporasi ritual bersih desa Ngrajek, tokoh adat dan masyarakat tentu tak kuasa menolak.
Kedua, selama puluhan tahun, tidak ada perhatian kepada pelaksanaan ritual, sehingga ketika pada masa pascareformasi pemerintah kabupaten menjadikan Gembyangan Waranggono sebagai ikon wisata budaya Nganjuk, bisa jadi sebagian warga merasa senang karena merasa diperhatikan oleh negara. Meksipun ritualisasi oleh negara menghadirkan stilisasi dan penambahan-penambahan acara, mereka tidak mempermasalahkan karena yang terpenting ritual tetap bisa berjalan.
Bagi warga dan waranggono, hal lain yang bisa ditafsir terkait kehadiran negara dalam ritual Ngrajek adalah adanya kesempatan bagi mereka untuk bersiasat dalam menghadapi stigma-stigma yang dilontarkan oleh pemuka agama. Bagi warga Ngrajek dan banyak warga desa lain, ritual bersih desa merupakan ekspresi kultural untuk menghadapi kekuatan adikodrati tak terjangkau yang menguasai kehidupan mereka.
Ketika stigmatisasi oleh pemuka agama mayoritas berlangsung, sedikit banyak akan mempengaruhi cara pandang masyarakat. Maka, dengan kehadiran aparat pemerintahan Nganjuk akan memberikan legitimasi bahwa ritual tersebut sah menurut negara, sehingga bisa meredam stigmatisasi yang berlangsung.
Sementara, bagi calon waranggono, penobatan mereka sebagai waranggono melalui ritualisasi negara sedikit banyak akan mengurangi pandangan negatif masyarakat terhadap profesi "menari" dan "nembang" (bernyanyi). Artinya, terlepas dari kritik tajam terhadap formalisasi Gembyangan Waranggono, dalam 'ruang sempit' negosiasi masih memungkinkan munculnya siasat liat dari warga dan waranggono untuk mengambil keuntungan politis-kultural.
DAFTAR BACAAN
Juwariyah, Anik. 2002. “Gembyangan Waranggana: Keberadaannya Masa Kini di Kabupaten Nganjuk”. Tesis S2. Denpasar: Prodi Kajian Budaya Univ. Udayana.
Trisnawati, Cindy. 2013. “Kehidupan Waranggana Ditinjau dari Perspektif Sosial-Ekonnomi di Dusun Ngrajek, Desa Sambirejo, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.” Skripsi Sarjana. Belum dipublikasikan. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni UNY.
Utomo, Indra Wahyu & Suparwoto. 2016. “Pendidikan Waranggana di Dusun Ngrajek Desa Sambirejo Kecamatan Tanjunganom Kabupaten Nganjuk Tahun 1987-2013. Dalam AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, Vol. 4, No. 1.