Ketiga, setelah semua para peserta menempati tempat duduk, pinisepuh  memberikan air suci dari dalam kendi (wadah air dari tanah liat) yang dituangkan ke dalam wadah dari daun pisang yang dipegang oleh para peserta. Setelah menerima air kendi itu, para waranggono yunior dan senior meminumnya.Â
Keempat, para pinisepuh menyematkan cunduk kembang khantil ke konde para waranggono. Sebelumnya, para waranggono sungkem kepada para pinisepuh dan diiringi gending subokastowo. Maknanya, agar para waranggono disukai oleh penonton dan warga masyarakat, sehingga mereka akan banyak mendapat job tanggapan.Â
Kelima, para waranggono yunior dan senior diantar para pinisepuh mengelilingi sumur tua bernama Mbah Ageng dengan iringan sepuluh gending antara lain eleng-eleng, bandungan, teplak, gonggomino, astreokoro, ijo-ijo, gondorio, ono ini dan kembang jeruk.Â
Keenam, pengucapan ikrar waranggono (Tri Prasetya Waranggono). Ketujuh, pengukuhan sebagai waranggono oleh sesepuh dan pengalungan sampur oleh Bupati. Ketujuh, selesai upacara prosesi dilanjutkan dengan peragaan langen tayub oleh waranggono yang baru ikut gembyangan setelah sebelumnya didahului oleh beberapa waranggono senior. Berikut ini adalah isi dari  Tri Prasetya Waranggono.
(1) tansah ngluhuraken kebudayaan nasional mliginipun ing babagan langen bekso utawi tayub (selalu meluhurkan Kebudayaan Nasional khususnya kesenian langen bekso atau tayub)Â
(2) tansah angudi indahing kaweruh saha kualitas minangka ingkang sae, saha ngugemi jejering wanita utami (selalu meningkatkan pengetahuan dan kualitas yang baik, serta meyakini dan menjalankan aturan sebagai perempuan utama) Â
(3) sudi aleladi dumateng bebrayan ingkang tumuju ing reh lestari ngrembaka luhuring budaya bangsa (mau melayani sesama manusia biar lestari dan terus berkembang luhurnya budaya bangsa).
Sumpah (prasetya) tersebut sangat khas Orde Baru, tetapi masih dipakai hingga saat ini. Kita bisa melihat adanya usaha untuk memasukkan makna-makna luhur terkait kesenian tradisional, kemanusiaan, ke-perempuan-an, dan kebudayaan nasional. Tayub adalah salah satu elemen budaya daerah yang akan menunjang kebudayaan nasional sebagai jaitidiri dan filter bangsa dalam menghadapi gempuran budaya asing yang dianggap membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.Â
Tugas mulia waranggono dalam perspektif negara, dengan demikian, tidak seperti ketika para pinisepuh Ngrajek menciptakan Gembyangan. Pepunden itu ditransformasikan sebagai bangsa dan negara yang mengharuskan adanya kekuatan kultural penopang. Tandhak sebagai pelaku utama kesenian tayub harus mau mengembangkan sikap melayani sesama manusia yang membutuhkan, khususnya membutuhkan keindahan estetik tari dan tembang yang mereka mainkan.Â
Dengan memberikan pelayanan estetik kepada sesama manusia, para waranggono juga berkontribusi terhadap terus berkembangnya nilai-nilai moralitas yang menjadi identitas bangsa ini. Yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa para waranggono harus mampu dan mau menjaga laku dan perilaku sebagai perempuan penari yang mentaati aturan-aturan serta tidak akan terjerumus ke dalam perilaku yang bisa merusak derajat dan nilai estetika kesenian tayub di mata masyarakat.Â
Tentang peran ini, tampak sekali bagaimana rezim negara berusaha mengatur sedemikian rupa terhadap kehidupan waranggono dan juga eksistensi kesenian tayub yang seringkali distigmatisasi secara negatif.
MEMAKNAI WISATA BUDAYA
Meskipun para penari tayub muda sudah terbiasa dengan budaya pop-industrial dan aspek-aspek kehidupan ala metropolitan, mereka tetap dibebani dengan keinginan-keinginan adiluhung ala rezim Orde Baru yang masih diteruskan hingga era pascareformasi. Tentu saja, hal ini terjadi karena rezim negara tetap tidak ingin memberikan kebebasan secara mutlak kepada para pelaku tayub, khususnya terkait perilaku-perilaku seksual ketika sedang atau sesudah pertunjukan.Â
Apalagi pascareformasi gerakan dakwah begitu gencar, sehingga rezim negara tidak ingin mendapatkan masalah yang berkaitan dengan susila dan moralitas ketika tidak mengendalikan para tandhak. Dari aspek tersebut, tampak jelas bahwa para waranggono masih dikonstruksi sebagai subjek yang harus manut dan nurut (mematuhi) kepada kehendak negara kalau mereka ingin mendapatkan Surat Izin untuk pentas.Â