Artinya, sejak dulu, budaya pop telah memberikan kontribusi diskursif terhadap proyek kebangsaan. Masalahnya adalah saat ini narasi-narasi yang ditawarkan teks pop semakin beragam dan sesuai dengan kepentingan-kepentingan komersil dan ideologis rezim pemodal.
Ketiga, kecintaan terhadap budaya bangsa ataupun nasionalisme diinkorporasi oleh pemodal dan ditampilkan dalam narasi dan bahasa yang mudah dipamahi khalayak, dari bahasa iklan hingga narasi sinetron dan film.
Dalam kondisi demikian, masyarakat semakin bebas dan cair dalam memaknai kebangsaan dan kebudayaan di mana mereka tidak hanya terhubung dengan narasi-narasi lokal-nasional, tetapi juga global yang sudah bercampur dengan ideologi pasar/neoliberal.
Budaya pop mampu mengganggu, bahkan, menghancurkan, kebijakan budaya nasional yang, nyatanya, masih larut dalam narasi jati diri bangsa serta gagal dalam memahami keragaman selera dan orientasi kultural di tengah-tengah masyarakat (McGuigan, 1996: 50).
Akibatnya, konstruksi tentang identitas nasional maupun nasionalisme menjadi sangat cair sehingga kekuasaan nasional berbasis budaya bangsa sulit untuk diwujudkan (Edensor, 2002: 17).
Bangkrutnya bangunan gagasan tentang “manusia Indonesia seutuhnya” selepas Soeharto sebagaimana yang diidealisasikan melalui P-4 merupakan contoh konkret dari kegagalan tersebut.
Dengan demikian, para “perantara budaya baru” yang bergerak dalam ranah industri budaya muncul sebagai kelompok sosial yang saat ini menjadi penggerak utama dari formasi kultural dalam masyarakat kontemporer (Featherstone, 2007: 44).
Keempat, dengan kemampuan inkorporasi dan komodifikasi, industri budaya telah melahirkan budaya pop yang berhasil memadukan “kerinduan eksotis/tradisional/etnis” masyarakat kontemporer dengan gerak cepat peradaban pasar dan teknologi.
Realitas menunjukkan bahwa di tengah-tengah kemajuan teknologi dan modernitas, masyarakat masih memendam kerinduan terhadap selera eksotis-lokal-tradisional, dari kesenian, kuliner, hingga bentang alam, sebuah “kondisi pascamodern”.
Kerinduan terhadap sebagian nilai dan praktik bernuansa eksotis/tradisional/etnis merupakan bentuk kondisi pascamodernisme masyarakat kontemporer.