Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjadi (Bangsa) Ngepop: Budaya Pop dan Transformasi Masyarakat

4 April 2022   06:00 Diperbarui: 5 April 2022   09:00 994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pergelaran maestro Keroncong Indonesia, Endah Laras dan Danis Sugiyanto, serta grup Keroncong Rumput asal University of Richmond, Virginia, AS, pimpinan Profesor Andy McGraw, yang semua personilnya merupakan warga AS. (DOKUMENTASI KBRI WASHINGTON DC) 

Transformasi mensyaratkan kemampuan masyarakat untuk meng-apropriasi kekuatan-kekuatan kultural dari luar, termasuk modernitas yang dibawa budaya pop, dan mempergunakannya untuk kepentingan-kepentingan penguatan dan pemberdayaan masyarakat dan budaya lokal.

Sebagai contoh, para aktor kultural di masyarakat Using Banyuwangi menciptakan karya-karya musikal yang memadukan unsur musik tradisional dan modern untuk kemudian diproduksi secara modern dan diedarkan dalam bentuk VCD serta mampu menjadi budaya pop-berbasis-etnis yang terus menegosiasikan karakteristik budaya Using (Setiawan, 2007, 2009a; Sariono, dkk, 2010). 

Para seniman jaranan di Balung, Jember, memasukkan lagu-lagu populer—dangdut, pop, campursari, maupun kendang kempul—ke dalam struktur pertunjukan mereka untuk menarik minat penonton, sehingga mereka terus bisa menegosiasikan keunikan estetik jaranan (Setiawan, 2009b). 

Dalam ranah ritual, masyarakat lokal masih menjalankan sebagian tradisi yang diwarisi dari para leluhur. Tengger bisa dijadikan contoh menarik dari proses apropriasi tersebut. 

Masyarakat Tengger, misalnya, saat ini memang tidak bisa lagi menghindar dari pengaruh budaya pop beserta nilai dan praktik modernitas yang menyebar beriringan dengan kemajuan ekonomi pertanian, tetapi mereka masih meyakini dan menjalankan ritual sesuai warisan leluhur (Sutarto, 2001, 2003, 2006, 2008; Nurudin, dkk (ed), 2003). 

Aspek-aspek kemajuan ekonomi mereka gunakan, tidak hanya untuk membangun rumah ala kota ataupun membeli produk-produk industri budaya, tetapi juga digunakan untuk mensukseskan ritual-ritual besar seperti Entas-entas, Unan-unan, maupun Kasada (Setiawan, 2008; Subaharianto & Setiawan, 2011). 

Dalam konteks masyarakat lain yang lebih terbuka dalam memandang budaya pop dan modernitas, seperti masyarakat Madura, mereka masih setia menjalankan upacara-upacara terkait dengan tradisi keagamaan. Demikian pula, sebagian besar masyarakat Jawa Mataraman yang masih melangsungkan tradisi 1 Suro dengan meriah. 

Dalam konteks pendidikan, budaya pop juga bisa menjadi medium dan piranti yang mempermudah generasi muda dalam memberdayakan diri dengan cara mengakses dan mendalami pengetahuan-pengetahuan terbaru. Contoh menarik dari kasus ini adalah penggunaan internet dan seni pop di sekolah alternatif Qoriyah Toyyibah, Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah (Setiawan, 2009c). 

Sekolah yang berada di tengah alam pedesaan ini menerapkan kurikulum “bebas-pemerintah”, dalam artian tidak mengikuti aturan kurikulum yang dikembangkan oleh pemerintah. 

Para siswa didik, dari tingkat SD hingga SMP, dibebaskan untuk mencari materi pelajaran dari sumber internet. Selain itu, mereka juga dibebaskan untuk mengembangkan bakat pendidikan mereka. Para siswa yang gemar bermain musik, menulis cerita pop, ataupun membuat film diberi kebebasan untuk berekspresi dan berkarya.

Kehadiran massif budaya pop (global) dan proses tranformasi di ruang lokal, dalam kajian sosiologi menghasilkan apa yang disebut lokalisme baru. Schuerkens (2003) menjelaskan bahwa masuknya budaya global ke dalam masyarakat lokal ditransformasikan untuk mewujud dalam lingkungan lokal baru. Budaya global ditafsir dalam hubungannya dengan budaya lokal dan pengalaman khusus warga lokal. Budaya global disesuaikan dengan prasyarat lokal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun