Realitasnya, mereka lebih mengutamakan budaya baru berbasis pasar. Rezim tetap memimpikan (memaksakan?) kuasa-berbasis kultural, tetapi, sebenarnya, mereka sendirilah yang mendekonstruksi kuasa tersebut dengan merekonstruksi budaya nasional baru menuju peradaban pasar.
Pemertahanan untuk kepentingan valorisasi budaya lokal dalam rumus pasar pariwisata tentu sah-sah saja dilakukan. Apalagi peradaban pasar sudah menjadi orientasi hegemonik bagi mekanisme industri budaya dan pariwisata di tingkat global, khususnya dengan menginkorporasi dan mengkomodifikasi etnisitas (Comaroff & Comaroff, 2009).
Bisa dikatakan bahwa pengaruh diskursus dan praksis dari peradaban pasar ikut menggerakkan rezim negara untuk menyandingkan “budaya” dan “pariwisata” dalam Kabinet SBY. Akibatnya, banyak atraksi kultural diarahkan kepada praktik inkorporasi dan komodifikasi yang bisa menjual mereka.
Demikian pula usaha pelestarian yang dilakukan masih belum bisa menyentuh permasalahan yang sebenarnya di lapangan serta hanya untuk menunjukkan bahwa rezim negara peduli. Dimensi pasar tersebut dengan mudah kita temukan dalam promosi besarbesaran yang dilakukan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Kebijakan untuk mengeksploitasi ritual bagi kepentingan pariwisata memang semakin massif selama sepuluh tahun terakhir, meskipun secara genealogis sudah mulai massif sejak zaman Orde Baru. Masyarakat pelaku, perlahan tapi pasti, mulai menikmati proses integrasi mereka ke dalam jejaring pasar pariwisata.
Ritual-ritual yang dulunya tidak masuk agenda pariwisata daerah didaftarkan agar mendapat bantuan publikasi dan pendanaan. Instansi terkait meyakini meningkatnya kesejahteraan dengan bergeraknya transaksi ekonomi yang mengiringi ritual dan aktivitas-aktivita wisata lainnya.
Akibatnya, kapitaliasi dan komersialisasi ritual menjadi semakin biasa. Kondisi inilah yang memunculkan tegangan antara “sakral”dan “profan” di mana makna-makna kultural yang sebenarnya mengikat masyarakat harus berbenturan dengan kenyataan ritual sebagai tontonan yang melenceng dari tujuan-tujuan suci pelaksanannya.
Tegangan tersebut memang tidak begitu tampak hadir dalam gelaran-gelaran ritual yang dilakukan oleh komunitas tertentu. Bagaimanapun juga, mayoritas tokoh adat dan sebagian pakar juga sudah masuk ke dalam formasi diskursif “ritual untuk wisata” yang selalu dikampanyekan oleh rezim negara melalui kementerian atau dinas terkait, seperti Kementerian Pariwisata dan Budaya selama rezim Susilo Bambang Yudhoyono.
Tidak mengherankan kalau semakin banyak pelaku dan komunitas yang menyepakati wacana dan praktik “ritual untuk pariwisata” dengan bermacam rasionalisasi akan keuntungannya. Widi Utaminingsih (Ketua Yayasan Widya Budaya Yogyakarta), pada tahun 2013, misalnya, mengatakan:
“Upacara adat yang masih hidup dan dilestarikan di sejumlah desa di wilayah DIY menjadi potensi untuk menghadirkan wisatawan ke daerah ini, sekaligus memperkuat keberadaan desa wisata setempat...Upacara adat yang beragam jenisnya, yang didukung dan dibina oleh pemerintah setempat, merupakan bagian dari upaya melestarikan serta melindungi aset budaya lokal di daerah ini” (sumber).
Logika pelestarian yang sekaligus mendukung kegiatan pariwisata merupakan rasionalisasi berdimensi ekonomi. Artinya, pelaksanaan ritual yang masih terjaga eksistensinya di tengah-tengah masyarakat bisa menarik wisatawan untuk hadir sekaligus meramaikan desa wisata.
Para wisatawan akan disuguhi ketradisionalan atau keprimitifan yang sudah dikemas sedemikian rupa agar mereka terkesan. Wacana ini juga menyiratkan bahwa dimensi pelestarian akan semakin berdaya kalau dikombinasikan dengan dimensi pariwisata untuk kesejahteraan ekonomi.