Sampai hari ini, kita masih bisa menjumpai aktivitas kultural serupa yang memadukan kesenian, lingkungan, dan rakyat, meskipun keutuhan pemaknaannya mulai bergeser oleh hasrat ber-pariwisata yang digalakkan rezim negara.
Kemeriahan industri pariwisata pascamodern yang mengkomodifikasi ketradisionalan dan ke-primitif-an sebagai barang dagangan menjadikan banyak pemerintah di negara-negara sedang berkembang (di Asia dan Afrika, misalnya) berlomba-lomba membuat paket-paket pariwisata yang di-iklan-kan secara global untuk memikat dan mendatangkan wisatawan mancanegara. Dalam pandangan Huggan (2001), kondisi tersebut dikerangkai dalam perspektif eksotika pascakolonial.
Di satu sisi, budaya lokal yang masih dijalankan oleh masyarakat bisa dijadikan kekuatan resisten untuk mengimbangi hegemoni budaya global. Di sisi lain, rezim negara karena kehendak menambah devisanya, berusaha membawa kekayaan ekspresi tradisional ke dalam industri pariwisata.
Kontradiksi tersebut, sebagaimana terjadi di banyak negara, pada akhirnya, diselesaikan dengan kemenangan rezim negara dan rezim pemodal dengan janji-janji tetap mempertahankan dan melestarikan budaya tradisional.
Dalam pasar pariwisata nasional dan internasional, eksotika pascakolonial dikerangkai dalam bermacam aktivitas yang didesain oleh negara dan swasta untuk mengeruk keuntungan finansial. Ritual adalah salah satu ekspresi kultural yang menjadi objek untuk dikomodifikasi dalam atraksi pariwisata.
Menarik kiranya untuk mengungkap bagaimana wacana “ritual dalam pariwisata” dikonstruksi oleh rezim negara pasca Reformasi melalui media online dan kebijakan serta pengaruhnya kepada aktivitas-aktivitas di komunitas pelaku. Dari wacana itulah kita bisa menemukan kepentingan kuasa yang menyertainya, dan siapa sebenarnya yang diuntungkan dengan menguatnya wacana ritual dalam pariwisata.
Setidaknya, kita bisa memberikan kritik terhadap cara pandang negara serta memberikan masukan-masukan agar para pelaku dan masyarakat sebagai subjek mendapatkan keuntungan kultural sekaligus ekonomis dalam aktivitas wisata berbasis ritual.
RITUAL DI ZAMAN PASAR
Pada masa pascareformasi, beberapa kali pergantian penguasa di Republik ini belum juga menghasilkan rezim yang menelorkan kebijakan budaya yang benar-benar beorientasi pada penguatan para pelaku dan bentuk kultural sebagai fondasi bagi pengembangan lainya.
Setiawan (2011) dalam ulasannya tentang konsep budaya bangsa dalam perspektif rezim SBY memaparkan bahwa tidak jauh berbeda dengan rezim Orba, budaya nasional secara esensialis memang tetap muncul dalam pernyataan rezim negara saat ini. Kerangka esensialis terhadap budaya nasional merupakan pencitraan untuk menutupi ketidakberdayaan menghadapi kuasa ekonomi pasar, sekaligus sebagai penanda untuk memberi kesan positif bahwa mereka masih memperhatikan aspek budaya.