Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Politik Identitas dan Pedagogi Representasi: Menimbang Pemikiran Giroux

2 Februari 2022   05:00 Diperbarui: 5 Februari 2022   07:52 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Henry Giroux. Dok. www.globaleducationmagazine.com

Perbedaan dihapus dari bahasa biologisme rasial dan ditetapkan sebagai konstruksi budaya hanya untuk dikerjakan-ulang dalam proyek hegemonik yang menghubungkan ras dan bangsa. Mereka melakukan itu untuk melawan kampanye penghapusan ketidaksetaraan struktural dan budaya. Bahkan, pendukung gerakan ini tidak segan-tegan mengolok pendukung politik progresif sebagai kerumunan orang anti-homopobia, anti-rasis, dan anti-Kulit Putih. 

Pernyataan tersebut merupakan momok ras sebagai tanda ideologis yang dilekatkan untuk mereka yang menyerang Kulit Putih. Ras dalam konteks tersebut diharapkan untuk tidak mengeliminasi perbedaan rasial terstruktur, tetapi untuk mempertahankannya dalam batas-batas budaya independen yang mencegah baik proses melintasi batas ataupun menyamarkan identitas baru dalam lingkup perbedaan budaya.

Ironisnya, mempertanyakan budaya bisa memunculkan ketegangan karena bisa menjadi pertanyaan identitas yang menyedihkan. Pertarungan yang muncul dari "pertanyaan identitas yang menyedihkan" sejalan dengan "perang budaya" yang berlangsung dalam politik Amerika sejak pemerintahan Reagan/Bush. 

Kehidupan politik Amerika Serikat semakin didominasi oleh politik representasi yang berakar pada wacana populis otoriter yang membentuk-ulang hubungan antara identitas dan budaya. Sayangnya, di tengah menguatnya pembalasan kaum konservatif Kulit Putih terhadap gerakan kaum minoritas, para kritikus kiri sekalipun mulai jenuh dengan isu politik identitas dengan mengerangkainya sebagai bentuk wacana kecemasan, keterasingan dan ketidakcakapan. 

Politik identitas merupakan jalan untuk tidak menyalahkan diri sendiri atas perasaan tidak berdaya yang akarnya dikonstruksi secara politik dan sosial. Tentu saja, pendapat demikian, kurang sesuai karena politik identitas mencakup medan teoritis yang kompleks dan beragam serta dikonstruksi dari bermacam wacana yang berkaitan dengan masalah subjektivitas, budaya, perbedaan, dan perjuangan.

Dalam wujud kerasnya, kita bisa menemukan isu identitas ini dalam gerakan politik budaya kaum kulit hitam, seperti dilakukan oleh Louis Farrakhan. Dalam wujud wacana progresifnya, kita bisa melihat dalam tulisan Stuart Hall dan Homi K. Bhabha terkait dinamika etnisitas dan budaya di tengah-tengah perbedaan dan dominasi Kulit Putih. 

Apa yang menyedihkan, sejatinya, adalah bagaimana bisa mengabaikan politik identitas sebagai sesuatu yang reaksioner sembari membiarkan konservatif sayap Kanan mengambil kembali kritik progresif ras, etnisitas dan identitas serta menggunakannya untuk memromosikan alih-alih menghilangkan politik rasisme budaya.

Ini adalah kesalahan serius. Sementara berakhirnya politik identitas adalah sesuatu yang membuat para kritikus dan pekerja budaya tampaknya terus berdebat tanpa henti, mereka tampaknya tidak sepenuhnya berhasil mengatasi konsekuensi politik dan rasialnya. Alih-alih hanya mengabaikan politik identitas, pekerja budaya Kiri perlu melibatkan isu ini secara lebih dialektis. 

Dalam hal ini, perspektif kritis tentang politik identitas harus dilihat sebagai fundamental bagi setiap wacana dan gerakan sosial yang percaya pada pembaruan radikal masyarakat demokratis. Dengan kualifikasi ini dalam pikiran, hubungan antara identitas dan politik dapat dirumuskan kembali dalam politik representasi yang terbuka untuk kemungkinan ke depannya, perbedaan dan refleksi-diri tetapi masih mampu terlibat dalam proyek hegemonik yang merekonstruksi kehidupan publik melalui politik solidaritas demokratis.

MENGUSAHAKAN PEDAGOGI KRITIS 

Menghadapi kondisi di atas, Giroux mengusulkan agar para pekerja budaya, termasuk pendidik, penggiat komunitas kultural, pekerja media, dan yang lain, bisa memperluas dan memperdalam "politik representasi" melalui aktivitas yang disebut "pedagogi kritis representasi" dan "pedagogi representasional".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun