Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Politik Identitas dan Pedagogi Representasi: Menimbang Pemikiran Giroux

2 Februari 2022   05:00 Diperbarui: 5 Februari 2022   07:52 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Henry Giroux. Dok. www.globaleducationmagazine.com

Memang benar, politik identitas menjadi penting ketika diarahkan bagi perjuangan demokrasi sejati yang memberikan kebebasan kepada semua individu dan komunitas kesempatan bersuara serta perlawanan terhadap homogenitas budaya sehingga individu dalam banyak komunitas marjinal menemukan kesempatan untuk menegaskan kedirian mereka berbasis inti budaya yang mengikat.

Namun demikian, politik identitas memiliki beberapa kelemahan selain keutamaan tersebut. Para pengusung politik identitas sering gagal melampaui gagasan perbedaan yang terstruktur dalam "polarisasi binerisme", seperti konsep "kita vs mereka". Kuatnya konsep tersebut seringkali menjadikan kelompok resisten tidak kritis dan meniadakan evaluasi akan kelemahan dan kekurangan praktik kontra-dominan. 

Ketika para anggota komunitas membangun ikatan dan solidaritas sebagai liyan dalam semangat esensial, tetap, oposisional, dan kokoh, kemungkinan munculnya kritik internal melemah. Pada saat itulah, penguatan wacana dan praktik pembedaan biner dengan komunitas yang dijadikan sasaran semakin menguat. 

Memang, mereka yang pada awalnya terdiam dan terlantar bisa menarasikan dan menegaskan warisan, kepentingan, dan pengalaman tertekan sekaligus merebut-kembali identitas. Namun, yang seringkali terjadi adalah mereka hanya berusaha mengganti satu narasi dominan dengan narasi lain versi mereka, mengusulkan pemisahan, serta berusaha keras meniadakan perbedaan dalam narasi pembebasan. 

Ketunggalan dan kemenyatuan semua elemen yang sebenarnya memiliki aspek-aspek berbeda menjadi kekuatan penopang bagi keberlangsungan politik identitas. Dan, yang lebih berbahaya lagi adalah munculnya "politik paling benar" yang akan mendorong lahirnya dominasi baru dan pemeliharaan kontradiksi biner atas nama penguatan komunitas. Bagi kelompok dominan, kecenderungan tersebut malah akan mempermudah desain dan strategi untuk menghadapi kelompok subordinat.

Karena berbahayanya politik identitas yang seringkali tidak bisa lagi dikendalikan dengan nalar dan praksis secara konstruktif, keutamaannya mulai dikritisi pada era 1990-an. Banyak pakar mengkritisi politik identitas dengan mengatakan bahwa keyakinan untuk membongkar dan melawan dominasi dalam hubungan antara kelompok sosial yang berlangsung secara sistematis dan terstruktur malah menimbulkan logika dan praktik yang membatasi gerakan radikal serta berakhir dengan mendukung dominasi. 

Dalam konteks yang lebih luas, terdapat hal yang lebih riskan terkait bagaimana relasi mobilisasi perbedaan budaya dan kehidupan demokrasi. Kita bisa melihat bagaimana kelompok dominan dengan menggunakan piranti demokrasi seperti undang-undang dan peraturan pemerintah untuk membatasi dan semakin memarjinalkan komunitas yang secara esensial menentangnya. 

Tentu saja, hal itu berlangsung melalui penalaran wacana dan representasional yang memberikan pembenaran umum. Artinya, kelompok dominan pun bisa memainkan strategi dan siasat dalam kehidupan demokrasi yang memungkinkannya memperkuat identitas dan secara legal memperkuat wacana dan praktik baru yang mendukung dominasi.

Terlepas dari kritik tersebut, politik identitas menjadi perhatian di lingkaran akademis karena munculnya kekhawatiran terkait budaya, perbedaan, dan pembaruan demokrasi. Apa yang mesti dipahami, politik identitas tidak lagi sekadar bersitaf satu dimensi, yakni menjadi bentuk diskursif teori dan praktik sayap-kiri. 

Pada saat yang sama, kemungkinan radikal terkait dengan hubungan antara demokrasi dan politik perbedaan budaya belum hilang pada kelompok Kanan Baru di Amerika Serikat. Kelompok Kanan Baru yang dipelopori oleh Ronald Reagan dan George Bush secara terus-menerus mengupas ruang hukum, institusional, dan ideologis yang diperlukan bagi keberadaan masyarakat demokratis. 

Selama beberapa dekade terakhir, kaum konservatif baru menggulirkan undang-undang hak-hak sipil, melancarkan kampanye antipornografi terhadap seni untuk menghilangkan pendanaan publik bagi kelompok "yang secara politis menyerang". Mereka juga mengganti ketentuan negara dan layanan publik dengan program privatisasi untuk memperluas kekuatan modal, daya saing individu dan kebebasan perusahaan. Logika pasar semakin kuat sehingga terjadi pengurangan dana sekolah negeri dan perawastan kesehatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun