Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jalan Panjang Budaya Bambu di Banyuwangi

21 Januari 2022   05:00 Diperbarui: 9 Maret 2022   00:21 2566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bambu yang akan digunakan sebagai bahan angklung dikeringkan, tidak boleh terpapar sinar matahari secara langsung. Dok. Pribadi

Tidak sekedar besek, tetapi juga karya-karya estetik-fungsional lain yang bernilai ekonomi tinggi. Meriahnya Banyuwangi Festival mendorong sentra kerajinan bambu seperti di Gintangan dan Papring membuat acara yang bernuansa promosi. Tentu pembesaran dan valoriasi melalui bermacam acara bermateri bambu tidak menjadi masalah sejauh diimbangi dengan aktivitas-aktivitas regenerasi kreatif untuk generasi muda. 

Selain itu, yang semestinya tidak boleh diabaikan adalah aktivitas pelestarian bambu, seperti melalui pembibitan dan penanaman jenis-jenis bambu yang mulai langka di Banyuwangi. Ketersediaan bambu yang semakin beragam, tentu bisa membuka peluang-peluang baru untuk pengembangan jenis kerajinan yang semakin beragam serta bisa menjaga eksistensinya agar tidak surut karena minimnya bahan baku. 

Selama ini pihak Pemkab masih sebatas memfasilitasi masuknya agenda festival bambu ke dalam Banyuwangi Festival, tetapi belum memikirkan secara serius program pelestarian bambu-bambu endemik yang bisa bernilai ekologis sekaligus menjamin keberlangsungan aktivitas ekonomi kreatif.

b. Angklung: Musik Agraris Berbahan Bambu

Sebagai masyarakat agraris yang menikmati kesuburan tanah, masyarakat Banyuwangi tidak lupa mengembangkan kesenian yang melengkapi proses bertani mereka. Adalah masyarakat Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, yang secara turun-temurun masih mempertahankan tradisi bermain angklung, alat musik yang terbut dari bilah-bilah bambu, ketika mereka sedang menggarap sawah. 

Angklung yang terkenal di desa ini adalah angklung paglak, karena dimainkan di atas bangunan tinggi menjulang di pinggir sawah yang disangga tiang bambu. Paglak mempunyai tinggi 7-10 meter dan di bagian atas terdapat plonco, tempat duduk seluas 1,5 x 2 m. Di atas plonco itulah para penabuh melakukan atraksi. Sementara, bagian atapnya adalah welit, anyaman bambu.

Menurut, Serat, salah satu sesepuh Kemiren, angklung paglak merupakan kesenian yang paling tua di desa ini. Awalnya, orang-orang dari Desa Cungking pindah ke wilayah baru yang kemudian diberi nama Kemiren. Mereka membabat hutan untuk dijadikan lahan pertanian padi dan tanaman pangan lainnya. 

Sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan menanam padi, orang-orang Kemiren memainkan angklung di atas paglak. Oleh karena itu disebut angklung paglak. Para penabuh angklung terdiri dari 4 orang; 2 penabuh angklung dan 2 penabuh kendang. Mereka mengiringi para petani yang memanen padinya, agar terhibur dan tidak merasa lelah.

Selaras dengan keterangan Serat, Andik, sesepuh Dusun Kedaleman, Desa Kemiren, menduga angklung sebagai kesenian pertama di Bumi Blambangan. Menurutnya, angklung paglak pertama kali diperkenalkan oleh Mbah Kebo alias Mbah Buang sekitar tahun 1880 (http://www.kabarbanyuwangi.info/angklung-paglak-salah-satu-seni-musik-tertua-di-banyuwangi.html.). 

Data ini memang masih perlu diselidiki lebih lanjut, karena bersifat turun-temurun secara lisan, belum ada data tulis. Mbah Kebo berasal Bali yang karena masalah keluarga, dia pindah ke Banyuwangi dan lantas bermukim di wilayah yang saat ini dikenal dengan Kampung Bali, Kelurahan Pengajuran, Kecamatan Banyuwangi.  

    Bangunan untuk memainkan angklung paglak di Desa Kemiren Banyuwangi. Dok. Kompas.com/Ira Rachmawati  
    Bangunan untuk memainkan angklung paglak di Desa Kemiren Banyuwangi. Dok. Kompas.com/Ira Rachmawati  
Gelaran angklung paglak di sawah-sawah ketika panen memiliki gending-gending yang khas, tetapi tidak ada liriknya. Para penabuh hanya menghadirkan alunan nada yang tenang dan terasa damai sesuai dengan jiwa agraris masyarakat Kemiren dan sekitarnya. Menurut Serat ada beberapa gending yang sampai sekarang masih dikenal warga, antara lain: Arum Gandariya, Lebak-lebak, Kembang Jeruk, dan yang lain. Perkembangan kesenian lagu Banyuwangian pada era 60-an hingga 80-an, pada akhirnya, menjadikan penabuh angklung paglak juga memainkan lagu-lagu yang mulai dikenal warga Banyuwangi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun