Dari beberapa wilayah yang saya kunjungi, seperti Glenmore dan Sempu, krisis rumpun bambu di sempadan sungai benar-benar nyata dan membutuhkan penanganan serius. Memang masih ada sebagian kecil wilayah sempadan yang ditumbuhi rumpun bambu, namun mayoritas sempadan sudah tidak memiliki rumpun bambu.Â
Alasan utama adalah bambu akan menghalangi sinar matahari menuju tanaman di sawah atau di tegalan. Akibatnya, tanaman tidak bisa tumbuh subur karena tidak mendapatkan cukup sinar yang mendukung proses fotosintesis. Alasan ini memang ada benarnya. Namun, lahan yang terhalangi sinar matahari hanya sebagian kecil yang mengalami pertumbuhan tanaman kurang baik.
Selain ditebang karena menghalangi sinar matahari, rumpun-rumpun bambu di sempadan kali juga banyak ditebang secara sembarangan untuk kepentingan proyek bangunan. Biasanya digunakan untuk menyanggga strutkur cor bangunan. Proyek-proyek pemerintah atau swasta berskala besar biasanya membutuhkan bambu yang cukup banyak. Akibatnya, pihak pemborong akan mencari bambu ke warga yang biasanya memiliki rumpun bambu di belakang rumah atau di sempadan kali.Â
Inilah yang menyebabkan rusaknya rumpun bambu di sempadan kali. Apalagi, masyarakat kurang memperhatikan regenerasi pohon bambu. Pembangunan proyek-proyek fisik di Banyuwangi, dengan demikian, menjadi tantangan dan permasalahan tersendiri karena menjadi ancaman serius bagi keberadaan ekosistem bambu.Â
EKONOMISASI & KULTURALISASI BAMBU: DARI KERAJINAN HINGGA KESENIAN
Pemanfaatan bambu di Banyuwangi memang tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan sehari-hari warga, seperti rumah, gubuk, dan wadah makanan. Rumah berbahan bambu merupakan kreasi kultural masyarakat yang memanfaatkan banyaknya bambu di sekitar mereka.Â
Begitupula ketika mereka menggunakan bambu untuk membuat wadah-wadah yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari seperti besek pindang, wakul (tempat nasi), dan kukusan (tempat menanak nasi). Belum lagi perabot-perabot rumah tangga berbahan bambu seperti kursi dan meja.Â
Dalam praksis demikian, relasi erat antara manusia dan alam lingkungan sulit untuk dipisahkan. Mengikuti logika ekologi kultural, manusia dan kebudayaan selalu bergantung kepada kondisi alam lingkungan di sekitar mereka. Sebaliknya, keberlangsungan alam juga bergantung kepada manusia.
Bisa diduga, jauh sebelum mengenal rumah berbahan batu-bata, nenek moyang masyarakat Banyuwangi menggunakan bambu untuk membangun rumah dan membuat peralatan dapur. Bahkan, capaian mereka tidak lagi sebatas kepada produk-produk fungsional, tetapi juga produk estetik-seni, seperti musik angklung. Meskipun zaman dan masyarakat sudah berubah akibat proses pembangunan dan modernisasi, kita masih bisa melihat bagaimana relasi ekologis-kultural yang dibangun masyarakat Banyuwangi.
a. Kerajinan Bambu di Banyuwangi: Karya Seni Fungsional Berdimensi Ekonomi