Pada 11-13 Mei 2017, di Desa Gintangan, Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi, diadakan Gintangan Bamboo Festival yang menjadi bagian dari Banyuwangi Festival (B-Fest). Bermacam kostum berbahan bambu digelar dalam fashion show di jalan desa. Selain itu, juga digelar pelatihan menganyam bambu untuk para pelajar.
Dalam sambutan yang disebarluaskan ke media, Bupati Abdullah Azwar Anas menjelaskan bahwa dalam festival ini ditampilkan beragam ornamen dan atraksi berbasis bambu. Warga Gintangan mendesain dan menjadikan bambu sebagai atraksi seni. Menurutnya, kerajinan tersebut sangat sesuai dipadukan dengan pariwisata. Kreativitas mereka keren, luar biasa.
Ini tidak hanya mendukung perekonomian daerah lewat kerajinan bambunya, tapi juga bersemangat memunculkan ide-ide kreatif dengan mengemas potensi desa lewat ajang menarik semacam ini. Semua persiapannya dilakukan secara bergotong-royong. Semangat gotong royong seperti ini yang akan menjadikan Banyuwangi menjadi besar (www.pikiran-rakyat.com).
Pilihan untuk menggelar Festival Bambu tidak bisa dilepaskan dari kemampuan kreatif warga Gintangan untuk memanfaatkan bambu di Banyuwangi sebagai bahan kerajinan bermacam benda fungsional-artistik, dari wadah untuk keperluan sehari-hari, hingga kap lampu dan kopyah berbahan bambu.
Dalam perkembangan awal, sebelum era 1980-an, para perajin bambu hanya memroduksi wakul dan kukusan. Pada masa lalu, sebelum dikenalkannya alat-alat dapur modern, warga Gintangan memilih untuk membuat keperluan rumah tangga, karena peminatnya sangat banyak. Ini menunjukkan bahwa sejak dulu, bambu telah menjadi pendukung aktivitas rumah tangga, khususnya yang berkaitan dengan dapur, sekaligus menghasilkan keuntungan ekonomis bagi para pengrajinnya.
Bahkan, untuk memperkuat posisi geo-kultural Gintangan sebagai pusat kerajinan bambu di Banyuwangi, masyarakat secara turun-temurun memelihara cerita tentang asal-usul desa ini. Menurut Kepala Desa Gintangan, Rusdianah, nama Gintangan berasal dari kata “Gontangan” yaitu alat untuk membawa air yang terbuat dari bambu dan memiliki keterkaitan dengan peristiwa historis masa lalu, meskipun masih bersifat dongeng (travel.kompas.com).
Gontangan dari bambu dianyam oleh Patih Suluh Agung, seorang punggawa kerajaan Blambangan yang melarikan diri dari perang di Rawa Bayu, Songgon. Patih dan prajuritnya kalah perang melawan tentara Belanda, sehingga mereka harus melarikan diri. Karena banyak prajurit yang terluka dan sudah tidak kuat berjalan, Patih memerintahkan mereka beristirahat.
Demi melihat kondisi prajurit yang menyedihkan, Patih memerintahkan dua prajurit yang masih sehat untuk mencari air. Akhirnya, mereka menemukan “Banyu Panguripan” atau air kehidupan yang kemudian mereka masukkan ke dalam gontangan. Selanjutnya, tempat beristirahat prajurit tersebut akhirnya disebut Gontangan yang kemudian dikenal dengan Gintangan.
Fungsi tuturan bernuansa historis-mitis tersebut bukan tanpa kepentingan. Para pengrajin di Gintangan ingin terus-menerus memroduksi dan menyebarlauskan wacana tentang keunggulan dan keutamaan hasil kerajinan desa ini. Ke dalam wacana tersebut akan memperkuat keyakinan dan semangat para pengrajin untuk terus berkarya sehingga akan terus menghasilkan terobosan-terobosan kreatif dalam hal desain maupun bentuk.
Sementara, untuk keluar, wacana historis-mitis ini berkontribusi terhadap pengakuan akan pernik-pernik indah dalam kriya fungsional-artistik yang dihasilkan warga Gintangan, sehingga para pengrajin akan mendapatkan legitimasi kultural sekaligus mendapatkan rezeki ekonomi ketika banyak pemesanan.
Bahkan, dalam Gintangan Bamboo Festival 2018 diciptakan dan digelar pertunjukan sendratari yang berkaitan dengan bambu, Jajang Sebyarong. Shulhan Hadi menggambarkan sendratari tersebut sebagai berikut.
Sebuah fragmentasi seni dibuka dengan penampilan tari gandrung. Setelah menyajikan gerakan tari, para penari kemudian bersimpuh di sepanjang karpet yang memanjang di depan pentas. Selanjutnya, dua penari dengan karakter Betara Kala datang dan bersemayam pada sebuah rimbunan bambu.
Setelah itu, empat pria berpakaian merah menari-nari, mereka ini digambarkan sebagai masyarakat desa yang berniat menebang bambu untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, rencana itu tidak berjalan mulus. penebangan bambu baru bisa dilakukan setelah mereka mendapat petunjuk dari sesepuh desa.
Adegan tersebut digambarkan dengan seorang berkumis putih dan berjubah putih, bersila lalu bertapa. Selanjutnya, rimbunan bambu bergoyang tidak karuan. Penghuni bambu pun kemudian keluar bersama seorang putri cantik jelita. (radarbanyuwangi.jawapos.com)