Hutan bambu yang tidak kalah luas terdapat di wilayah perkebunan Kalibendo, Kecamatan Glagah. Hutan bambu yang dikelola oleh pihak pekebun swasta ini menjadi ‘tandon’ air yang cukup bagus yang menjamin ketersediaan air tanah untuk kawasan di bawahnya. Sama seperti hutan bambu Glenmore, hutan bambu ini juga tidak terbuka untuk umum atau untuk kepentingan pariwisata.Â
Bahkan, untuk bisa observasi di hutan ini, peneliti harus mengajukan izin yang tidak bisa selesai dalam waktu sehari pengurusannya. Ketatnya prosedur ini mengindikasikan bahwa kawasan hutan bambu Kalibendo benar-benar diperlakukan istimewa karena fungsi ekologisnya yang luar biasa.Â
Kebijakan pihak pekebun swasta untuk mengamankan hutan bambu merupakan bentuk investasi masa depan yang menguntungkan secara ekologis dan ekonomis.Â
Secara ekologis, keberadaan hutan bambu akan memperkuat tanah dan menyimpan air yang tentu bermanfaat bagi masyarakat di bawah. Secara ekonomis, pihak perkebunan akan mendapatkan jaminan air yang berlimpah yang tentu saja bermanfaat untuk proses budidaya tanaman komersil dan untuk memenuhi kebutuhan air buat para pekerja.
Selain di alas Purwo, masih ada juga hutan bambu dalam skala yang lebih kecil, seperti di wilayah Rowo Bayu, Songgon. Pohon bambu bercampur dengan pohon-pohon endemik dan pinus yang merupakan peninggalan Belanda. Hutan bambu di Rowo Bayu memiliki fungsi yang sangat penting karena menjadi penahan cadangan air yang menjadi sumber bagi salah satu sungai di Banyuwangi.Â
Kuantitas air yang melimpah di Rowo Bayu dan cerita-cerita seputar lokasinya yang dikatakan sebagai tempat bertapanya Tawangalun, Raja Blambangan, menjadikan tempat ini sering didatangi orang-orang yang ingin berdoa untuk kelancaran usaha atau pekerjaan mereka. Sumber air melimpah itu berada tepat di bawah rumpun-rumpun bambu yang memang sengaja dipelihara.
Penjaga situs Rowo Bayu, Saji, menjelaskan bahwa sebelum tahun 2003, kondisi bambu di tempat ini rusak karena digunakan oleh warga untuk keperluan sehari-hari, tanpa menanam lagi. Ketika perlahan-lahan bambu dirawat dan dilarang untuk ditebang warga, rumpun bambu di Rowo Bayu tumbuh dengan baik.Â
Implikasi dari masih banyaknya rumpun bambu adalah terjaganya pasokan air yang mengalir ke rawa dan ke sungai yang dimanfaatkan untuk pertanian. Selain dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian masyarakat Songgon dan kecamatan-kecamatan di bawanya, keindahan Rowo Bayu juga menjadi tempat wisata alam dan ritual bagi banyak pengunjung.Â
Untuk kepentingan ritual, banyak pengunjung, baik dari Banyuwangi maupun luar Banyuwangi dan luar Jawa Timur, yang datang ke sumber air untuk tujuan-tujuan tertentu. Menurut Jinis, penjaga situs sumber yang diyakini sebagai tempat pertapaan Prabu Tawangalun, banyak pengunjung yang mandi di sumber yang airnya sangat jernih. Sebagian besar dari mereka ada yang sekedar laku batin untuk menyerap energi positif di bekas pertapaan Prabu Tawangalun.Â
Sebagian lagi ingin agar keinginan mereka seperti jadi pimpinan pemerintahan, kepala desa, anggota DPRD, atau mendapatkan jodoh, rezeki, dan sembuh dari penyakit bisa terkabul dengan bantuan energi positif yang ada di sumber. Terlepas benar atau tidaknya, keberadaan sumber air di Rowo Bayu bisa tetap terjaga karena banyak orang yang membutuhkannya.
Selain semakin berkurangnya hutan bambu, di sebagian besar wilayah Banyuwangi keberadaan rumpun-rumpun bambu di sempadan sungai juga semakin berkurang. Semakin menyusut atau hilangnya sumber-sumber kecil di sepanjang sungai merupakan dampak langsung berkurangnya barongan di sempadan sungai, selain menyebabkan mudahnya tanah tergerus air atau longsor ketika hujan deras mengguyur.Â