Selain permasalahan pembinaan, mencari para seniman muda atau kaum muda yang memiliki kesadaran untuk mau belajar angklung memang tidak mudah. Â Sangat disayangkan apabila kesenian angklung gending dan angklung caruk yang sejatinya menjadi penanda kultural budaya Banyuwangian harus diterlantarkan oleh pemerintah kabupaten.Â
Angklung merupakan penanda nyata bahwa masyarakat Banyuwangi memiliki keterikatan dengan lingkungan dalam mengupayakan kerja-kerja agraris sekaligus mengembangkan budaya lokal. Relasi strategis inilah yang melahirkan banyak ekspresi budaya di Banyuwangi, termasuk angklung hingga hari ini.Â
PENGRAJIN ANGKLUNG: POTENSI & PERMASALAHANÂ
Bisa dikatakan, para seniman pengrajin musik bambu selama ini tidak menjumpai masalah serius. Mengapa? Secara material, kebutuhan akan pasokan bambu masih ada, meskipun, kalau tidak hati-hati, suatu ketika akan menjadi masalah serius. Misalnya, jenis bambu ori dan petung berukuran besar yang sekarang mulai langkah. Penebangan barongan milik warga dan hutan bambu untuk kepentingan proyek secara besar-besaran merupakan penyebab utama kelangkaan tersebut.Â
Untungnya, selama ini, sebagaimana diutarakan Andori, pembuat angklung dari Dusun Jambean, Desa Glagah, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, pesanan yang masuk ke bengkelnya lebih banyak angklung dengan ukuran standar, sehingga kebutuhan bambu ori masih tercukupi. Hal senanda juga disampaikan Ardi, pengrajin angklung dari Desa Tamansuru, Kecamatan Glagah dan Ridwan, pengrajin angklung dan gamelan dari Dusun Watugong, Desa Wonosobo, Kecamatan Srono, Banyuwangi.Â
Menurut mereka, bahan dasar bambu ori untuk membuat angklung masih cukup. Namun, akan menjadi masalah kalau yang dipesan adalah alat musik bambu jenis baru yang membutuhkan bambu-bambu berukuran besar. Mereka harus mencari terlebih dahulu dan tidak bisa dalam waktu sehari atau dua hari.
Bagi pengrajin angklung seperti Andori dan Ardi, pesanan dari para seniman dan warga di Banyuwangi menjadi penopang utama usaha mereka. Kalaupun ada yang dari luar, itu hanya bersifat temporer dan biakami berasal dari warga Banyuwangi yang ada di daerah lain.Â
Harga per paket angklung juga variatif, sesuai dengan pesanan. Untuk paket lengkap dari ukuran kecil dan besar, biasanya Andori memasang harga Rp. 3.000.000 (harga tahun 2017). Untuk pemesanan satu set angklung, harga tidak lebih dari Rp. 1.000.000. Bagi Andori dan Ardi, semakin lancar pemesanan angklung, berarti semakin lancar pula rezeki yang akan mereka peroleh.
Selain seniman, pemesan angklung adalah sanggar-sanggar seni yang berjumlah lebih dari 100 di seluruh Banyuwangi. Selain itu, ada juga sekolah-sekolah SMP dan SMA di Banyuwangi yang membelikan angklung untuk keperluan ekstrakurikuler seni yang dikuti oleh para siswa. Sayangnya, selama ini database untuk pemesan dan pembeli angklung di kedua pengrajin tersebut masih belum bagus. Bagi mereka pencatatan masih dianggap tidak begitu penting, dibandingkan pemesanan itu sendiri.Â
Hal-hal seperti inilah yang ke depannya perlu diperbaiki, sehingga pengrajin bisa memetakan kategori pemesan dan bisa dijadikan sasaran promosi. Selama ini promosi yang mereka lakukan masih dari mulut ke mulut dan sebatas di wilayah Banyuwangi. Ke depannya, penggarapan aspek-aspek manajerial dan promosi bisa diperbaiki dan diperluas cakupannya sehingga pemesanan angklung Banyuwangi bisa lebih meluas ke level nasional maupun internasional.
Terlepas dari permasalahan tersebut, apa yang perlu dipikirkan secara serius ke depan adalah bagaimana menyiapkan jenis-jenis bambu yang bisa digunakan untuk membuat alat musik angklung dan alat musik jenis baru berbasis bambu sesuai dengan permintaan dari pemesan.Â