Ancaman ekologis yang tak kalah seriusnya berasal dari kemajuan sektor pariwisata Banyuwangi selama hampir 1 dekade terakhir. Selain klaim kemajuan ekonomi sebagai dampak positif aktivitas pariwisata, Pemkab juga mengkampanyekan investasi di wilayah-wilayah yang memiliki potensi dikunjungi wisatawan.
Akibatnya, wilayah-wilayah yang produktif dalam pertanian mulai dibeli oleh para investor yang hendak membangun usaha penginapan ataupun restoran. Ekspansi usaha penginapan dan restoran tentu akan mengurangi lahan-lahan subur dan mengurangi debet air tanah yang bisa berdampak serius pada ketersediaan air untuk publik.
Dari aspek ekonomi, memang selalu diwacanakan adanya peningkatan kesejahteraan, meskipun bisa digugat kesejahteraan untuk siapa. Sementara, kerugian ekologis jarang sekali di-ekspos. Kalaupun di-ekspos pasti sudah ada pembelaan birokratis yang diarahkan untuk mempengaruhi publik, sehingga mereka tidak akan melakukan resistensi secara terbuka terkait ekspansi pariwisata di lahan subur pertanian.
Sayangnya, kurang ada respons kreatif dari para seniman angklung, juga para seniman lain, terhadap ancaman ekologis yang nyata adanya. Purwadi mengingatkan para seniman dan sesepuh adat Using bahwa dalam lagu Umbul-umbul Blambangan, semacam ‘lagu wajib’-nya warga Banyuwangi ada lirik, “hang sopo-sopo baen arep nyacak ngerusak, sun belani sun depani sun labuhi.” Maksudnya, siapapun orangnya yang mencoba untuk merusak Banyuwangi akan dihadapi oleh warganya, meskipun bertaruh nyawa.
Sayangnya, ideologi patriotisme yang dihadirkan dalam lirik tersebut sudah semakin kehilangan maknanya karena semakin langka pencipta lagu, musisi modern, ataupun seniman angklung yang menyuarakan resistensi secara simbolik atau diskursif terhadap potensi kerusakan alam yang dihadirkan massifnya pertambangan dan industri yang mengancam lingkungan alam Banyuwangi.
Maka, Purwadi mengingatkan bahwa di lagu tersebut sudah jelas posisi warga Banyuwangi terhadap kekuatan-kekuatan destruktif. Sudah semestinya, para seniman mulai memikirkan secara serius agar kesenian mereka tidak hanya menjadi perayaan terhadap eksotisme dan ketradisionalan yang masih terjaga di Banywangi, tanpa bisa menjadi medium untuk menyampaikan pesan-pesan sosial, kultural, dan ekologis kepada masyarakat.
Melihat kenyataan tersebut kita tentu tidak boleh serta-merta menyalahkn para seniman. Saya mengidenfikasi beberapa faktor yang menjadikan mereka tidak membuat lagu atau komposisi musikal terkait dengan isu-isu ekologis. Pertama, selama ini mereka hanya berproses kreatif dan berkarya untuk memenuhi undangan pemerintah, swasta, atau institusi yang ingin melihat keunikan garapan angklung yang biasanya sudah dicampur dengan instrumen lain, seperti gamelan, biola, dan lain-lain.
Demi memenuhi permintaan, mereka biasanya tidak akan bersusah-payah menggarap lagu baru, tetapi lagu-lagu yang sudah ada sebelumnya. Jadi, jangankan menggarap lagu tentang isu ekologis, menggarap lagu baru pun jarang dilakukan. Kondisi ini merupakan warisan dari kebiasaan di era Orde Baru di mana seniman tradisional diposisikan sebagai objek yang bisa ditanggap untuk menghibur tamu-tamu kabupaten, berpartisipasi dalam festival regional, maupun nasional.
Kedua, selama ini tidak ada pihak pemerintah atau LSM yang mengajak mereka berdiskusi atau ngobrol tentang pentingnya isu-isu lingkungan dalam karya komposisi musik angklung. Apalagi isu lingkungan didesain tidak menjadi isu umum dalam media mainstream dan online yang memberitakan tentang Banyuwangi yang lebih banyak diisi dengan oleh ramainya B-Fest atau keindahan alam dan keragaman budayanya.
Ketiga, banyak seniman dan komunitas seni yang menggantungkan eksistensi mereka kepada kegiatan-kegiatan yang didanai oleh Pemkab sehingga seperti ada rasa malu ketika mereka harus melakukan ikut melakukan protes secara kreatif melalui kesenian. Kenyataan ini menjadikan para seniman santai-santai saja, apalagi mereka juga tidak memiliki keberanian untuk melakukan resistensi terhadap kehendak pemerintah, sebagai warisan dari era Orde Baru.
CATATAN SIMPULAN