Keberadaan angklung paglak di Kemiren membuktikan bahwa masyarakat pewaris Blambangan ini mampu menciptakan karya kultural yang memanfaatkan kekayaan bambu yang ada untuk mendukung kerja-kerja pertanian. Kemampuan membangun relasi harmonis sekaligus kreatif ini menegaskan bahwa kecerdasan kreatif manusia dalam memahami dan memanfaatkan kekayaan alam secara arif bisa mendorong lahirnya kreativitas-kreativitas lokal yang terus bisa dikembangkan dan diberdayakan.Â
Angklung paglak juga mampu menyemai identitas budaya agraris yang sampai sekarang masih berlangsung dalam kehidupan masyarakat Kemiren. Memang mereka sudah hidup dalam kondisi yang semakin modern, tetapi kesenian agraris seperti angklung masih dipertahankan karena menjadi salah satu penanda keterhubungan ekspresi budaya dengan kekayaan lingkungan, dalam hal ini bambu—dan aktivitas pertanian.Â
Dengan alasan untuk melestarikan angklung paglak, Pemkab Banyuwangi pada tahun 2018 juga membuat Festival Angklung Paglak. Sama dengan festival yang lain, acara ini sebenarnya bertujuan untuk menjual eksotika budaya tradisional demi menarik kedatangan para wisatawan ke Banyuwangi.Â
Kearifan lokal dan gotong-royong dari tradisi angklung paglak disampaikan sebagai keunikan, sehingga kepentingan pariwisata tampak bisa dipadukan dengan kepenitngan pelestarian budaya lokal (www.beritasatu.com).Â
Begitulah logika dan wacana Pemkab Banyuwangi dalam menjadikan budaya lokal untuk mendukung industri pariwisata. Meskipun demikian, kita bisa mengkritisi, karena regenerasi angklung paglak tidak dipikirkan secara serius, utamanya yang ditujukan untuk anak-anak dan kaum remaja.
Selain angklung paglak, pada era 1950-an berkembang angklung caruk, di mana dua grup angklung bertemu di atas panggung. Angklung caruk ini sudah memasukkan instrumen gamelan dalam pertunjukannya, sehingga gelaran angklung semakin rancak. Menurut Slamet, 76 tahun, salah satu saksi sejarah dan pelaku angklung, pertunjukan angklung caruk sangat ramai, masing-masing grup membawa supporter.Â
Bahkan, pertarungan kreatif di atas panggung seringkali dibumbui dengan "pertarungan ghaib" antarpendukung kelompok. Misalnya, kelompok yang satu tiba-tiba tidak bisa bunyi alat musiknya. Slamet juga mengatakan bahwa antarpendukung kadang juga terjadi bentrokan kecil, tapi tidak sampai membesar. Kondisi itu akibat kecintaan kepada masing-masing kelompok yang merepresentasikan identitas desa mereka masing-masing.Â
Selain itu, di Banyuwangi pada era 1950-an juga berkembang angklung gending. Adalah Mochammad Arif yang memulai menciptakan lagu-lagu berbahasa Banyuwangi yang dalam pertunjukannya diiringi angklung, kendang, kluncing, gong, dan suling. Sebelum 1950 Arif sudah aktif menciptakan lagu dengan alat angklung yang ia buat sendiri dari bambu yang juga ia cari sendiri (www.bbc.com).Â
Sebagai mantan pejuang di zaman Jepang yang sangat paham kehidupan sehari-hari masyarakat Banyuwangi, Arif menciptakan lagu Genjer-genjer untuk menggambarkan bagaimana warga memetik dan mengola sayur liar di sawah berair sebagai bahan makanan. Menurut keterangan Syamsi, putra Arif, Genjer-genjer yang ditulis ketika tahun 1943, zaman Jepang, menceritakan penderitaan masyarakat saat itu yang harus makan genjer yang juga dijadikan makanan bebek. Ibunya sering masak daun genjer karena bahan makanan sulit didapat (regional.kompas.com.)
Gairah berkebudayaan pada tahun 1950-an hingga 1960-an melalui kesenian angklung Banyuwangi, baik paglak, caruk, maupun gending, menunjukkan bahwa keterhubungan lingkungan, pertanian, dan kesenian menjadi relasi strategis-kreatif di mana para seniman dan rakyat menjadi pelaku aktif dan penikmat yang sama-sama berperan.Â