Namun, retorika nasionalisme rezim negara nyatanya tidak didukung dengan kejelasan kebijakan yang bisa memfasilitasi capaian-capaian prestasi yang bisa diperjuangkan masing-masing individual. Fasilitas pendidikan, olah raga, maupun kesenian masih sangat terbatas, terutama di daerah-daerah terpencil yang sebenarnya terpendam bakat-bakat istimewa.
Dalam konteks tersebut, kehadiran SSI Arsenal dalam GDD bisa menjadi contoh menarik bagaimana kehadiran institusi olah raga internasional ternyata memberikan kontribusi bagi berseminya nilai-nilai nasionalisme. Perjuangan individual bersama dengan kehadiran individu-individu lain dengan semangat untuk bisa mengenakan kostum merah putih dengan gambar Garuda di dada memang bisa dibaca sebagai representasi perjuangan nasionalisme yang tulus dan murni.
Perjuangan itu, seolah tanpa kepentingan politik sebagaimana dilakukan oleh rezim negara dan elit-elit politik, karena Bayu dalam benaknya yang terdalam memang hanya ingin mengenakan “Garuda di dadanya”. Bayu memang berhasil mewujudkan cita-cita individualnya sekaligus berhasil mewujudkan cita-cita komunal keluarga dan bangsanya di lapangan hijau; sebuah kebanggaan nasional.
Ia sekaligus mejadi “figur pahlawan olah raga” yang menjadi ikon prestasi dan nasionalisme di tengah-tengah banyaknya permasalahan yang tidak bisa diselesaikan oleh rezim negara.
Masuknya SSI Arsenal ke dalam struktur naratif film menarik untuk dikritisi lebih lanjut. Saya tidak akan membahas apakah SSI Arsenal menjadi sponsor atau tidak dalam film yang menghadirkan semangat nasionalisme sebagai ‘sajian utamanya’ ini. Alih-alih, persoalan yang menarik dicermati adalah masuknya kekuatan modal internasional/global ke dalam persoalan nasionalisme pascakolonial Indonesia.
Gairah untuk bermain dan menonton bola yang meningkat pada era 2000-an yang melibatkan tidak hanya generasi muda, tetapi juga anak-anak, baik sebagai suporter maupun pemain merupakan peluang investasi yang cukup terbuka bagi institusi olah raga internasional seperti Arsenal dan klub-klub lain seperti Real Madrid dan AC Milan.
Mereka bisa mendapatkan keuntungan modal dengan mendirikan sekolah sepak bola di Jakarta. Selain itu, keterpesonaan para penggila bola kepada klub-klub besar dari Liga Inggris, Liga Spanyol, maupun Liga Italia, semakin melapangkan jalan bagi masuknya institusi modal internasional berbasis olah raga ke dalam wilayah geo-politiko-kultural Indonesia.
Dalam konteks tersebut, film ini secara sadar memasukkan makna kekuatan modal internasional ke dalam narasi kebangsaan yang tengah mengalami pemaknaan-ulang oleh masyarakat. Nasionalisme Indonesia yang selama Orde Baru dikerangkai dalam otoritarianisme rezim membutuhkan cara pandang baru selepas gerakan Reformasi.
Teknologi media, industri budaya, dan globalisasi informasi-komunikasi memberikan solusi-solusi instan bagi masyarakat, khususnya generasi muda, untuk bisa menyemaikan nasionalisme, bukan lagi dalam arahan rezim negara. Menjadi wajar ketika peristiwa olah raga, seperti sepak bola, menjadi medan diskursif yang bisa menyemaikan semangat nasionalisme masyarakat yang sudah hampir kehilangan kepercayaan terhadap doktrin nasionalisme oleh rezim negara.
Maka, nasionalisme yang pada awalnya menjadi persoalan domestik masyarakat Indonesia untuk menggelorakan kecintaan dan kebanggaan terhadap Republik, dengan begitu lembut diinkorporasi oleh kekuatan modal internasional yang sekaligus menaturalisasi kepentingan ideologis mereka di negeri ini; “yang Barat” ataupun “yang global” tidak lagi harus dipandang sebagai ancaman karena kehadiran mereka di negeri ini ikut berperan dalam mengembangkan olah raga dan memperkuat nasionalisme.
Kekuatan institusi modal internasional tidak perlu lagi dimaknai sebagai ancaman terhadap kedaulatan ataupun kemampuan ekonomi dan kultural masyarakat, karena kehadiran mereka bisa membimbing dan mengarahkan individu-individu berkemampuan tinggi seperti Bayu untuk bisa berkompetisi di tengah-tengah budaya pasar, tanpa harus meninggalkan idealisme lokal/nasional sebagai bagian sebuah bangsa.