Dengan pola pikir demikian, kesuksesan bagi seorang anak diasumsikan sebagai cita-cita kultural yang harus selalu diperjuangkan berbasis kemampuan dan kebebasan individual serta diekspresikan dengan segala kesenangan seperti yang dilakukan Bayu dengan dukungan Heri dan sopirnya, meskipun harus berbeda pandangan dengan generasi tua.
Walaupun tampak melawan mekanisme kesuksesan ala generasi tua, pada impian Bayu tetap saja dilekatkan subjektivitas yang harus selalu berada dalam pusaran hukum pasar yang semakin lentur saat ini. Artinya, tidak hanya pendidikan dan selera kultural bercita-rasa tinggi yang bisa membuat orang sukses, tetapi bakat dan skill yang berselera rakyat, seperti sepak bola, ternyata bisa terterima oleh kompetisi profesional, seperti seleksi Timnas U-13.
Kesuksesan yang sama-sama menjadi pengetahuan ideologis hegemonik di tengah-tengah masyarakat Indonesia pascakolonial saat ini, dalam film ini dihadirkan melalui perbedaan cara pandang antara generasi tua dan anak-anak, tanpa menghilangkan endapan-endapan ideologis untuk menjadi sukses.
Meskipun cita-cita menjadi anggota Timnas U-13 sekilas menampakkan ketulusan dalam memaknai kesuksesan, seolah tanpa kepentingan ekonomis dan dilekatkan dengan simbol nasionalisme (Garuda), keberhasilan masuk tim bisa menjadi modal yang meninggikan tingkat kompetisi seorang individu dalam “pasar sepak bola” yang, tentu saja, bermakna ekonomis.
Kesuksesan sebagai rezim kebenaran yang mempengaruhi pemikiran generasi tua dan generasi muda dalam film ini berjalin-kelindan dengan endapan ideologis dalam masyarakat Indonesia yang berlangsung sejak awal kemerdekaan, ‘disemaikan’ dan ‘dibudayakan’ pada masa Orde Baru, serta semakin menguat pasca Reformasi ketika orientasi pasar menjadi hegemonik.
Maka, perbedaan cara pandang antara anak-anak dan generasi tua terkait kesuksesan yang berlangsung dalam film ini merupakan kompleksitas pemaknaan yang tidak menghancurkan kebenaran nilai-nilai idealnya, tetapi menghadirkannya sebagai orientasi individual dan kolektif yang harus diperebutkan.
Kesuksesan untuk masuk Timnas U-13 yang sudah di depan mata karena Bayu bersama dua temannya di SSI Arsenal terpilih untuk mengikuti seleksi, ternyata harus tertunda oleh sebuah permasalahan keluarga. Karena mengetahui kebohongan-kebohongan Bayu, Kakek terkena serangan jantung ketika menyusulnya ke SSI Arsenal.
Menyadari kondisi Kakeknya, Bayu merasa bersalah dan memutuskan untuk mengakhiri semua impiannya menjadi pemain Timnas U-13. Nilai penting institusi keluarga bagi kehidupan anak kembali dihadirkan dan dibiarkan menunda cita-cita ideal yang telah diperjuangkan seorang anak dengan mengganggu kemapanan keluarga dan figur yang telah mengasuhnya.
Namun, sineas film ini mengidealisasi kekuatan keluarga seyogyanya bisa mendukung hasrat individual anak. Kakek akhirnya menyadari semua kekeliruannya karena telah mengekang impian cucunya. Sembari tersenyum ia menyuruh Bayu untuk mengikuti seleksi Timnas U-13.
Peristiwa tersebut merupakan “momen pembalikan” dari dominasi generasi tua kepada generasi muda. Setelah mengikuti seleksi yang cukup ketat, Bayu akhirnya lolos menjadi anggota Timnas U-13. Untuk memperkuat negosiasi dukungan institusi keluarga kepada impian sukses generasi muda, dalam adegan di Gelora Bung Karno ketika Bayu mengikuti proses seleksi Timnas U-13, Kakek dan Ibu Bayu serta kawan-kawannya ikut dihadirkan di tribun penonton, meneriakkan semangat agar Bayu terus berjuang.
Heroisme perjuangan Bayu dan teriakan dukungan keluarga merupakan praktik diskursif yang menghancurkan segala bentuk pengekangan generasi tua terhadao generasi muda, karena toh mereka ikut berteriak, memberi dukungan, dan merayakan kegembiraan ketika Bayu berhasil di lapangan. Dominasi generasi tua adalah cerita masa lampau yang tidak harus diingat karena hanya akan menghambat perjuangan anak-anak. Apa yang terpenting, kemudian, adalah dukungan keluarga dan generasi tua terhadap perjuangan anak-anak dalam meraih impian.