Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Sepak Bola, Pascakolonialitas, dan Nasionalisme dalam "Garuda di Dadaku"

18 Januari 2022   15:58 Diperbarui: 10 Februari 2022   18:21 1117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Garuda di Dadaku. Dok. mizanproduction.com

Runtuhnya rezim Soeharto sebagai akibat gerakan Reformasi 1998 memunculkan dinamika kultural, sosial, politik, dan ekonomi dalam masyarakat. Hasrat untuk merasakan kebebasan dari dogma normatif yang dimobilisasi negara serta menikmati keterbukaan di alam demokrasi bertemu dengan menguatnya impian untuk merasakan kemajuan hidup di tengah-tengah ketatnya kompetisi ekonomi. 

Meskipun demikian, endapan-endapan terhadap ketradisionalan, baik berbasis ajaran agama maupun kearifan lokal warisan leluhur, masih eksis di tengah-tengah kehidupan modern masyarakat. Dalam konteks ekonomi-politik negara, kesepakatan dengan lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia telah memasukkan Indonesia ke dalam jejaring neoliberalisme. 

Implikasinya adalah berkurangnya peran negara dalam sektor sosial dan menguatnya mekanisme pasar bebas dalam kehidupan ekonomi yang berimplikasi pada persoalan-persoalan ideologis-kultural (Rachel Turner, 2008). Dalam latar pascakolonialitas kultural yang semakin kompleks itulah industri perfilman di era 2000-an berkembang.

Tulisan ini akan membicarakan produksi pascakolonialitas kultural dalam film Indonesia era 2000-an awal dengan menggunakan pendekatan pascakolonial tanpa meninggalkan pertimbangan ekonomi-politik. Pendekatan pascakolonial bermanfaat untuk membingkai wacana pascakolonialitas dalam narasi film yang tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosio-historis, khususnya terkait bagaimana ekonomi-politik neoliberalisme diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pasca Reformasi 1998. 

Asumsi utama yang saya usung adalah bahwa anggitan pascakolonialitas kultural dalam narasi film menegosiasikan individualisme sebagai pengetahuan ideal di zaman pasar serta berimplikasi pada pemaknaan-ulang nasionalisme. Untuk bisa membuktikan asumsi tersebut, saya akan menggunakan film Garuda di Dadaku (Ifa Isfiansyah, 2009, selanjutnya disingkat GDD) sebagai sumber data utama. 

Untuk melengkapi pembacaan kontekstual dari wacana yang berlangsung dalam narasi, saya akan menggunakan artikel jurnal, buku, dan sumber internet sebagai sumber data skunder. Selain untuk mengkonseptualisasikan budaya pascakolonial dan nasionalisme di tengah-tengah neoliberalisme.

PASCAKOLONIALITAS DALAM NARASI FILM 

Dalam pemikiran pascakolonial, kuatnya kehendak untuk menjadi modern bukan berarti meniadakan kemampuan subversif masyarakat terhadap modernitas. Masyarakat pascakolonial memang mendamba modernitas dengan cara meniru nilai dan praktiknya, tetapi peniruan tersebut tidak berlangsung sepenuhnya. 

Menurut Bhabha (1994: 89, 112-115), ambivalensi dan keberantaraan kultural yang berlangsung menjadikan masyarakat pascakolonial melakukan peniruan sekaligus pengejekan terhadap budaya modern, sehingga menghasilkan hibriditas kultural. 

Hibriditas sebagai penanda pascakolonialitas bukanlah sekedar percampuran dua budaya yang menghasilkan sebuah bentuk budaya baru, tetapi sebuah ‘proyek politik’, di mana masyarakat bisa keluar dari asumsi-asumsi stereotip subjektivitas yang bersifat diskriminatoris yang di masa lampau menjadi siasat kolonial untuk bisa menguasai mereka. 

Selain itu, hibriditas juga menjadi situs untuk mempermainkan tanda-tanda kultural dari kekuasaan melalui peniruan dan percampuran yang tidak sepenuhnya. Dengan cara seperti itu, mereka bisa melakukan pemaknaan-ulang terhadap budaya dominan ataupun kekuasaan yang berorientasi perlawanan karena tidak memahami budaya dan kuasa tersebut secara sepenuhnya/mendalam, meskipun mereka berada dalam medan diskursifnya (Huddart, 2007; Young, 1995: 23-25).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun