AWAL(-AN)
Industri film Indonesia di era 2000-an awal ditandai dengan hadirnya film tentang perempuan dan ke-perempuan-an yang “berdaya”. Saya memaknai kata berdaya sebagai kondisi di mana perempuan mampu memaknai-ulang aspek-aspek ke-perempuan-annya sebagai bentuk perjuangan dan resistensi di tengah-tengah hegemoni patriarki.
Film-film tentang ke-perempuan-an yang berdaya memang masih menggunakan alur naratif dan teknik-teknik film arus utama. Namun demikian, sudah muncul keberanian untuk menghadirkan wacana tandingan melalui struktur dunia naratif yang mampu menawarkan sudut pandang baru untuk memahami permasalahan yang dihadapi perempuan dalam praktik sosio-kultural.
Permasalahan-permasalahan yang muncul dalam struktur dunia naratif film juga tidak jauh berbeda dari permasalahan keseharian, seperti penderitaan perempuan akibat kuasa laki-laki dan kompleksitas ke-ibu-an perempuan.
Artinya, perjuangan dan resistensi perempuan yang disuguhkan tetap mengedepankan “kesadaran populis” yang tidak jauh dari kode-kode kultural dan permasalahan yang ada dalam masyarakat.
Memahami perjuangan dan resistensi sebagai negosiasi yang mengarah kepada pertarungan ideologis melalui representasi perempuan merupakan topik khusus yang akan saya kupas dalam tulisan ini. Titik-berangkat saya adalah membaca representasi perempuan ketika mereka menjadi tokoh utama yang terlibat dalam permasalahan-permasalahan pelik.
Untuk sampai dalam konteks pertarungan ideologis tersebut, saya akan bersandar pada beberapa pertanyaan berikut: (1) bagaimana tokoh perempuan memahami permasalahan yang terjadi, baik berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan atau laki-laki?; (2) mampukah tokoh perempuan menyelesaikan permasalahannya dengan kekuatan sendiri ataukah ada kehadiran tokoh-tokoh lain, baik laki-laki ataupun perempuan?; dan, (3) bagaimana pandangan dan sikapnya dalam memaknai kehadiran tokoh laki-laki?
Salah satu film yang menarik untuk ditelaah dengan cara pandang di atas adalah Biola Tak Berdawai (Ayu Sekar Asmara, 2002, selanjutnya disingkat BTB). Film ini menawarkan teknik filmis dan wacana ke-ibu-an perempuan dengan cara pandang baru.
Sudut pengambilan gambar, simbol dan adegan terkait persoalan seksual, serta teknik narasi yang diwarnai dengan dialog atau kalimat yang mencampur antara aspek populer dan idealis merupakan teknik filmis baru yang menjadi karakteristik dari film ini.
Terkait dengan persoalan tematik, BTB menghadirkan kekuatan perempuan dalam menghadapi permasalahan lampau dengan tidak harus meratapinya, tetapi melalui tindakan yang mampu membuatnya kuat dalam menjalani kehidupan dan juga mampu menghadirkan kehidupan bagi pihak lain yang kalah dan dikalahkan.